PERTANYAAN
Assalamu’alaikum.
Mohon ijin bertanya ustad. Bagaimana sholatnya orang yang bekerja di kapal selama berbulan-bulan? Apakah seperti musafir yang boleh jamak qosor? Dan apakah diperbolehkan mendirikan sholat jum’at, sholat ied? Jazakallah khair (XXXXXXXX3172)
JAWABAN
Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Wa’alaikumussalam Warohmatullah.
Orang yang bekerja di kapal selama berbulan-bulan dan jarak perjalananya minimal mencapai 4 barid (sekitar 88 Km), maka dia boleh menjamak dan mengqoshor. An-Nawawi berkata,
“Boleh meng-qashar shalat dalam perjalanan air seperti dalam sebuah kapal, karena itu termasuk (definisi) safar yang tercakup dalam nash Alquran dan as-sunnah. Tidak dibedakan apakah dia naik sekali atau beberapa kali. Termasuk juga (boleh mengqoshor) pelaut yang ditemani keluarganya dan hartanya dan terus-menerus melakukan perjalanan di laut. Termasuk juga (boleh mengqoshor) orang yang (berbisnis) menyewakan kendaraan dan selain mereka. Seluruhnya boleh meng-qashar jika mereka mencapai jarak yang seadanya diukur di daratan akan mencapai 48 mil hasyimiyah. Akan tetapi, yang lebih afdal adalah tidak mengqoshor/itmam. Ini yang dinyatakan oleh As Syafii dan disepakati oleh ulama Syafi’iyah mutaqoddimin. ini juga pendapat Malik, Abu Hanifah, Dawud dan selain mereka” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 322)
Terkait apa yang lebih afdal, apakah meng-qoshor ataukah itmam/ tidak meng-qoshor, maka perlu di rinci. Jika waktu safar masih 3 hari, maka masih afdal meng-qoshor. Asy-Syirozi berkata,
“Yang paling afdhol adalah tidak mengqosor kecuali dalam safar yang mencapai perjalanan 3 hari. Jika safarnya mencapai waktu itu maka meng-qashar lebih afdol daripada itmam/tidak mengqosor” (At-Tanbih, hlm 40)
Adapaun jika sudah lebih dari tiga hari, maka yang afdal adalah itmam/tidak meng-qoshor. An-Nawawi berkata,
“Yang paling kuat adalah, siapapun yang safarnya terus-terusan seperti seorang pelaut dan semisalnya, maka tidak mengqoshor adalah afdol selama apapun safar tersebut” (Tash-hih At-Tanbih, hlm 152)
Jika aktivitas melaut itu tidak mencapai jarak qoshor, maka tidak boleh menjamak dan meng-qoshor.
Jika dalam masa kerja itu sempat singgah di sebuah kota dan meniatkan tinggal di sana selema beberapa waktu, maka maksimal boleh menjamak dan meng-qoshor itu hanya 3 hari. Jika sudah lebih dari 3 hari maka salat seperti biasa. An-Nawawi berkata,
أَمَّا إذَا نَوَى الْإِقَامَةَ فِي بَلَدٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَأَقَلُّ فَلَا يَنْقَطِعُ التَّرَخُّصُ بِلَا خِلَافٍ وَإِنْ نَوَى إقَامَةَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ إنْ نَوَى إقَامَةَ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ صَارَ مُقِيمًا وَانْقَطَعَتْ الرُّخَصُ (المجموع شرح المهذب (4/ 361)
“Adapun jika dia berniat mukim di sebuah negeri selama 3 hari atau kurang dari itu, maka rukhshohnya (untuk mengqoshor) tidak terputus tanpa ada perselisihan. Jika dia berniat mukim lebih dari 3 hari, maka Asy-Syafi’i dan ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin mengatakan, ‘Jika dia berniat 4 hari, maka dia dihitung mukim dan terputuslah rukhsahnya” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 361)
Hanya saja, disyaratkan saat safar harus ada niat menempuh perjalanan yang jaraknya minimal membolehkan safar. An-Nawawi berkata,
“Ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin mengatakan, disyaratkan dalam mengqashar itu hendaklah seseorang berniat untuk menempuh jarak qashar di awal safarnya” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 331)
Jika sejak awal tidak jelas niat safarnya ke mana dan tidak tahu akan menempuh jarak berapa jauh, maka tidak boleh menqoshor meski sejauh apapun perjalannya. An-Nawawi berkata,
فَلَوْ خَرَجَ لِطَلَبِ آبِقٍ أَوْ غَرِيمٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَنَوَى أَنَّهُ مَتَى لَقِيَهُ رَجَعَ وَلَا يَعْرِفُ مَوْضِعَهُ لَمْ يَتَرَخَّصْ وَإِنْ طَالَ سَفَرُهُ وَبَلَغَ مَرَاحِلَ (المجموع شرح المهذب (4/ 331)
“Jika dia keluar untuk mencari budak yang melarikan diri, atau (mencari) debiturnya, atau (hajat lain) selain itu, dan dia berniat kapanpun dia sudah bertemu dengan yang ia cari maka dia akan pulang dan tidak mengetahui di mana lokasinya, maka dia tidak boleh mengambil rukhshoh meskipun lama safarnya dan mencapai banyak marhalah -sebab di awal safar dia tidak berniat malakukan safar dengan jarak minimal safar syar’i” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 331)
Ini terkait penjelasan salat qoshor.
Adapun terkait salat jum’at, maka salat jumat tidak wajib bagi musafir. An-Nawawi berkata,
“Tidak wajib salat jum’at bagi seorang musafir. Ini adalah madzhab kami dan tidak ada perselisihan di kalangan kami. Ibnu Al Munzir dan lainnya menghikayatkan hal ini dari mayoritas ulama” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 485).
Jika musafir menyelenggarakan salat jumat sementara pesertanya semua adalah musafir, maka dalam mazhab Asy-Syafi’i itu malah tidak sah. An-Nawawi berkata,
“Apakah salat Jumat itu sah dengan peserta orang-orang mukim tetapi tidak bertempat tinggal permanen, maka ada dua pendapat masyhur. Yang paling kuat adalah tidak sah” (Al-Majmu’, juz 2 hlm 503)
Adapun jika musafir ikut salat jumat di kampung yang penyelenggaranya orang mukim, maka salatnya sah. Untuk salat ied, tidak disyaratkan harus mukim, jadi sah salatnya insya Allah. Wallahua’lam.