PERTANYAAN
Assalamu’alaikum, min.
Saya ingin meminta penjelasan tentang hukum membatalkan sholat. Seperti salah satu contoh jama’ah yang sedang sholat di daerah lombok saat terjadi gempa. Apa saja hal yang membolehkan dan apa saja yang tidak dibolehkan dalam membatalkan sholat? : Terima kasih, wassalamu’alaikum.. ( +62 cxxx-xxxx-7772)
JAWABAN
Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Wa’alaikumussalam Warohmatullah.
Tidak boleh membatalkan ibadah tanpa alasan berdasarkan keumuman ayat ini,
“Janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian” (Muhammad; 33)
Para Fuqoha sepakat tidak boleh memotong salat tanpa alasan syar’i. Dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah” disebutkan,
“Memotong ibadah wajib setelah memulainya tanpa ada alasan pembenar yang syar’i tidak diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para fuqoha, karena memotong ibadah seperti itu tanpa ada pembenar yang syar’i adalah main-main yang bertentangan dengan kehormatan ibadah sementara ada larangan untuk merusak ibadah” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 34 hlm 51).
Adapun jika ada alasan syar’i, seperti menghilangkan dhoror (baik bahaya pada nyawa, kehormatan, maupun harta), atau melaksanakan yang lebih wajib yang waktunya sempit, atau menghilangkan sesuatu yang membuat salat tidak sah seperti darah, maka boleh membatalkan salat.
Jadi, boleh membatalkan salat dengan maksud menjaga nyawa sendiri, menyelematkan orang tenggelam, memadamkan kebakaran, mencegah anak/orang buta terjatuh ke sumur/jurang/tempat berbahaya, mencegah anak kecil memainkan pisau tajam, mencegah pemerkosaan/pelecehan seksual, menjaga musnahnya harta, dan semisalnya.
Al-Qorofi berkata,
وَيُقَدَّمُ صَوْنُ النُّفُوسِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْمَنَافِعِ عَلَى الْعِبَادَاتِ
“Menjaga jiwa, badan dan manfaat-manfaat lebih diutamakan daripada ibadah” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, juz 4 hlm 213)
‘Izzuddin Ibnu Abdis Salam juga berkata,
تَقْدِيمُ إنْقَاذِ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ، لِأَنَّ إنْقَاذَ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عِنْدَ اللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ (قواعد الأحكام في مصالح الأنام (1/ 66)
“Harus didahulukan menyelamatkan orang yang tenggelam yang terjaga nyawanya daripada melaksanakan salat, karena menyelamatkan orang yang tenggelam dan terjaga nyawanya di sisi Allah lebih afdol daripada melaksanakan salat” (Qowa’idu Al-Ahkam, juz 1 hlm 66)
Bahkan menolong kafir pun tetap didahulukan daripada meneruskan salat. Al-Buhuti berkata,
“Wajib untuk menyelamatkan orang kafir yang terjaga darahnya yang tenggelam dalam sumur atau terkena bahaya yang mirip dengan itu seperti jika hendak diserang seekor ular, baik (kafir itu terjaga darahnya) dengan akad dzimmah atau gencatan senjata atau perlindungan keamanan. Kewajiban yang sama juga berlaku pada seorang muslim karena baik kafir maupun muslim itu sama-sama memiliki kehormatan nyawa yang harus dijaga. Wajib juga untuk menyelamatkan orang yang tenggelam dan semisalnya seperti orang yang kebakaran sehingga dia harus menghentikan salat untuk melakukan hal tersebut tanpa membedakan apakah salat wajib ataukah salat sunnah. Zahirnya, meskipun waktunya sempit maka tetap wajib mendahulukan menyelamatkan nyawa orang karena dia bisa saja melakukan salat dengan cara di qodho’. Berbeda dengan orang yang tenggelam yang tidak bisa diqodho. Jika dia tidak mau menghentikan salatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam dan semisalnya maka dia berdosa meskipun salatnya sah sebagaimana orang yang sholat dengan memakai sorban sutra” (Kasysyafu Al-Qina’, juz 1 hlm 380)
Adapun keperluan-keperluan yang tidak mendesak seperti menjawab telpon, menjawab salam/membukakan pintu tamu, menyalakan lampu, menutup pintu, memasak air panas untuk mandi dan semua keperluan yang bisa ditunda maka semua itu bukan alasan untuk membatalkan salat.
Ini adalah penjelasan jika salat yang dilakukan salat wajib. Adapun jika yang dilakukan salat sunnah, maka boleh dibatalkan baik karena ada uzur maupun tidak ada uzur berdasarkan hadis Nabi ﷺ yang menerangkan bahwa orang yang melakukan perbuatan sunnah dia punya kuasa penuh untuk melanjutkan ibadahnya atau membatalkannya. At-Tirmidzi meriwayatkan,
“Orang yang berpuasa sunah berkuasa atas dirinya sendiri. Jika dia mau, silakan berpuasa. Jika dia mau juga silakan berbuka” (H.R. At-Tirmidzi)
An-Nawawi menegaskan bahwa puasa sunnah atau salat sunnah boleh dibatalkan dan tidak ada keharusan mengqodho’,
“Barangsiapa yang melakukan puasa sunnah atau salat sunnah, maka dia boleh menghentikannya dan tidak ada kewajiban mengganti” (Minhaj Ath-Tholibin, hlm 79)
Jadi boleh membatalkan salat sunnah untuk menjawab telpon, menjawab salam/membukakan pintu tamu, menyalakan lampu dan semisalnya. Tapi untuk yang wajib tidak boleh.
Kaidah ini juga berlaku untuk semua ibadah sunnah. Semua ibadah sunnah boleh dibatalkan baik ada uzur maupun tidak. Kecuali haji dan umroh. Khusus untuk haji dan umroh, tidak boleh dihentikan meski haji atau umroh yang dilakukan adalah sunnah. Wallahua’lam.