PERTANYAAN
Assalamu’alaikum warahmatullaah wabaarakatuhu
Semoga Allah senantiasa memberikan ustadz Muafa keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, kekokohan ilmu dan bermanfaat bagi ummat.
Ustadz, ana pernah dengar seorang ustadz melalui rekaman kajian menyampaikan ketika seorang istri melakukan safar dengan sepengetahuan dengan seizin suaminya, maka dosanya menjadi dosa suaminya. Pertanyaannya:
1.Apakah yang disampaikan tersebut benar? Bagaimana mendudukkannya dengan firman Allaah bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain?
2.Bagaimana hukumnya jika suami istri tersebut melakukan hal tersebut karena jahil?
3.Bagaimana sebaiknya kami bersikap memperbaiki keadaan teman kami tersebut. Wassalam (Fulan)
JAWABAN
Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Wa’alaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh. Amin. Jazakumullah khoiron atas doanya.
Jika safar tersebut adalah safar haqq, bukan safar maksiat, dan jalannya juga aman, maka saya belum mengetahui dalil apa yang melarangnya sementara suami sudah memberi izin. Sangat mungkin seorang suami mengizinkan safar pada istri untuk melakukan safar ma’ruf seperti silaturrahim, ceramah, mengajar TPQ, membesuk orang sakit, ziarah haji dan lain-lain. Beda halnya jika itu safar maksiat. Maka suami yang meridhai maksiat dia terkena dosa karena tidak mencegah kemungkaran padahal mampu.
Adapun hadis yang melarang istri melakukan safar kecuali disertai mahram, misalnya hadis berikut ini,
“Dari Abu Sa’id Al khudri bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, ‘Janganlah seorang wanita melakukan safar di atas 3 malam kecuali disertai dengan mahram“. (H.R.Muslim)
Maka hadis di atas betul, tetapi itu maksudnya adalah safar jauh yang mencapai jarak qoshor, yakni safar sejauh perjalanan tiga hari, bukan safar-safar dekat seperti ini shilaturrahim, berkunjung ke rumah kawan, mengikuti kajian dan semisalnya. Itupun dimaksudkan jika wanita dikuatirkan tidak aman di jalan dan terancam kehormatannya karena tidak ada yang menjaga. Adapun jika jalannya aman, maka tidak masalah wanita safar meskipun tanpa ditemani mahram berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ berikut ini,
“…Jika usiamu panjang (wahai Adi bin Hatim), kamu nanti benar-benar akan menyaksikan seorang wanita yang melakukan perjalanan dari Al-Hirah (Irak) sampai dia bertawaf di Ka’bah sementara tidak ada seorangpun yang ia takuti kecuali hanya Allah” (H.R. Al-Bukhari).
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ mengabarkan akan ada wanita yang melakukan safar jauh dari Al-Hiroh menuju Mekah. Jarak Mekah Al-Hiroh itu 1000 Km lebih karena Al-Hirah lokasinya adalah di daerah Irak. Ketika Rasulullah ﷺ menyebut wanita ini melakukan perjalanan tanpa mahram sendirian tanpa celaan karena kondisi aman, maka hal itu menunjukkan wanita safar tanpa mahram jika kondisi aman maka tidak mengapa.
Lagipula, para ulama telah sepakat wanita boleh safar tanpa mahram dalam kondisi-kondisi khusus, di antaranya,
- Hijrah dari Darul Harbi ke Darul Islam
- Mengkutirkan keselamatan dirinya
- Ditawan dan punya kesempatan untuk melarikan diri
- Melunasi utang
- Mengembalikan titipan
- Kembali kepada suami setelah nusyuz
- Menjalankan kewajiban iddah karena kematian suami atau karena talak bain sementara dirinya ditalak saat safar
- Dan lain-lain.
Jadi, selama wanita melakukan safar atas seizin suaminya, dan kondisi aman maka tidak masalah. Yang berdosa adalah jika wanita melakukan safar tanpa seizin suami. Meskipun kondisi aman, maka dia berdosa.
Wallahua’lam.