Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Seorang istri, jika sudah selesai haid maka dia tidak boleh langsung disetubuhi suaminya sebelum mandi besar. Jika wanita sudah merasa darah haidnya berhenti, maka haram langsung disetubuhi suaminya. Yang benar, dia harus mandi junub terlebih dahulu, baru boleh disetubuhi.
Jadi ada dua hal yang dituntut,
Pertama, haid sudah berhenti
Kedua, mandi junub.
Dasar ketentuan ini adalah firman Allah sebagai berikut,
“Jauhilah wanita pada saat mereka haid dan jangan kalian dekati mereka hingga mereka suci. Jika mereka telah bersuci maka datangilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah pada kalian” (Al-Baqoroh, 222)
Dalam ayat di atas, Allah melarang para suami menggauli istri saat dia haid. Allah memerintahkan para suami menunggu istrinya untuk suci. Setelah para istri ini suci dari haid, lalu mereka bersuci, barulah boleh suami mendatangi mereka di tempat yang diperintahkan Allah.
Lafaz (يَطْهُرْنَ) menunjukkan syarat pertama, yakni berhenti haidnya.
Lafaz (تَطَهَّرْنَ) menunjukkan syarat kedua, yakni bersuci dengan cara mandi junub/mandi besar.
Jadi, ayat ini memerintahkan mandi junub terlebih dahulu bagi wanita haid sebelum digauli suaminya. An-Nawawi berkata,
في مذاهب العلماء في وطئ الْحَائِضِ إذَا طَهُرَتْ قَبْلً الْغُسْلِ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا تَحْرِيمُهُ حَتَّى تَغْتَسِلَ أَوْ تَتَيَمَّمَ حَيْثُ يَصِحُّ التَّيَمُّمُ وَبِهِ قَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ (المجموع شرح المهذب (2/ 370)
“Pendapat para ulama terkait hukum menyetubuhi wanita haid yang sudah suci tetapi belum mandi. Telah kami sebutkan, bahwasanya madzhab kami (mazhab Asy-Syafi’i) adalah mengharamkannya (menyetubuhi wanita haid yang sudah bersih dari haid tapi belum mandi) sampai wanita tersebut mandi atau bertayamum sampai taraf sah tayamumnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama” (Al-Majmu’, juz 2 hlm 370)
Pertanyaannya, “Bagaimana jika si istri itu wanita ahli kitab, yakni wanita Nasrani atau Yahudi? Apakah dia juga harus mandi junub? Suami yang muslim memang dituntut untuk mengontrol istrinya yang muslimah agar mandi junub karena mereka sama keyakinannya. Tapi bagaimana jika istrinya ahli kitab yang beda keyakinan? Apakah istri ahli kitab ini juga harus mandi junub agar halal suami menggaulinya? Ataukah istri ahli kitab tidak usah mandi junub karena berbeda keyakinan dengan suami sehingga tidak masalah suami menggaulinya begitu dia sudah selesai haid?”
Jawaban pertanyaan ini adalah, “Ya benar. Istri ahli kitab tetap harus mandi junub juga sama persis dengan istri muslimah”. An-Nawawi berkata,
“Jika dia (wanita ahli kitab itu) suci dari haid atau nifas maka suaminya mengharuskannya untuk mandi (agar halal disetubuhi). Jika dia menolak maka kita bisa memaksanya untuk mandi” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 7 hlm 136)
Status air sisa mandi istri ahli kitab juga dihukumi air musta’mal sehingga tidak sah digunakan untuk bersuci meskipun dia tidak pernah berniat ibadah pada saat mandi junub. An-Nawawi berkata,
“Air musta’mal wanita ahli kitab untuk (bersuci dari) haid atau nifas agar dia halal (disetubuhi) oleh seorang muslim -hukumnya mustakmal- (At-Tahqiq, hlm 37)
واجعل ما تعلمناه كل يوم سببا لقربنا منك