Oleh Abu Hilya (Dikoreksi Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin))
Persaksian yang bertentangan dengan fakta wajib ditolak, tidak sekedar boleh ditolak. Ketentuan ini didasarkan pada tiga argumentasi
Pertama; persaksian yang bertentangan dengan fakta termasuk cakupan makna Syahadah Zur (persaksian palsu) yang diharamkan syariat
Kedua: persaksian yang bertentangan dengan fakta termasuk cakupan makna Ikhbar Kadzib (berita dusta) yang diharamkan syariat
Ketiga: Rasulullah ﷺ mengubah penerapan hukum ketika mengetahui fakta yang salah
Penjelasan Argumen;
Persaksian yang bertentangan dengan fakta termasuk cakupan makna dari persaksian palsu yang diharamkan. Meskipun jika dirinci lebih jauh, boleh jadi persaksian yang bertentangan dengan fakta tersebut karena unsur ketidak sengajaan. Bisa saja orang yang kredibel keliru dalam mengindera sehingga persaksiannya bertentangan dengan fakta. Dalil haramnya persaksian palsu (Syahadah Az-Zur) di antaranya:
Dari Anas ra. Beliau berkata, aku bertanya kepada Nabi ﷺ tentang dosa-dosa besar, beliau bersabda; Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua Orang Tua, membunuh jiwa dan persaksian palsu. (HR. al-Bukhari)
Kata az-Zur dalam kitab al-muththoli’ ‘ala abwabil muqni’ bermakna al-kadzib (kedustaan), wal bathil (kebatilan) wa at-tuhmah (tuduhan).
Seseorang yang mengetahui persaksian yang palsu wajib menolak persaksian tersebut, karena menerima persaksian palsu berarti menerima kedustaan, dan menerima kedustaan itu adalah hal yang diharamkan.
Persaksian yang bertentangan dengan fakta juga termasuk dalam cakupan makna nash yang melarang berdusta. Karena pada faktanya persaksian yang bertentangan dengan fakta adalah berita dusta yang disampaikan dalam majelis Qadli. Rasulullah ﷺ melarang berdusta seperti pada Hadits:
Dari ‘Abdullah (ibn Mas’ud) beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda; “Awas, jauhilah dusta karena sesungguhnya dusta itu menuntun pada kefajiran dan sesungguhnya kefajiran itu menuntun pada neraka dan sesungguhnya seseorang itu selalu berdusta dan mencari-cari kedustaan hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang Pendusta” (HR. Abu Dawud)
Makna al-Kadzibu dalam kitab mu’jamu lughatil fuqoha adalah
Ketidak sesuaian antara berita dengan fakta/realitas.
Maka orang yang bersaksi yang tidak sesuai dengan realitas telah masuk dalam definisi ini yaitu al-kadzib. Oleh karenanya persaksiannya wajib ditolak.
Namun, kita perlu membedakan persaksian palsu yang disengaja atau yang tidak disengaja misalnya karena salah penginderaan. Persaksian palsu yang disengaja, jelas inilah yang diancam Nabi dan pelakunya termasuk pelaku dosa-dosa besar. Sementara persaksian palsu yang tidak disengaja, maka Islam memaafkan hal ini. Termasuk pula Qadli yang menerima persaksian palsu yang tidak disengaja maka hal ini dihukumi ijtihad yang Ma’jur (dapat ajr/pahala).
Rasulullah ﷺ sendiri ketika mengetahui fakta yang berbeda maka Nabi mengubah penerapan hukum karena beliau keliru mengindera fakta tersebut. Hal ini bisa kita lihat pada peristiwa pemberian tambang garam oleh Nabi kepada Abyadh ibn Hammal;
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ
Dari Abyadh ibn Hammal bahwasanya ia datang kepada Rasulullah ﷺ maka dia meminta kepada beliau tambang garam, Ibn al-Mutawakkil (perawi) berkata yaitu yang berada di Ma’rib (jauh dari Madinah) maka Nabi memberikan tambang itu kepadanya, tatkala ia (Abyadh) berpaling maka seorang lelaki di majelis tersebut berkata ‘Apakah engkau tahu apa yang engkau berikan kepadanya? Tidak lain engkau memberikan kepadanya air yang mengalir’. Maka nabi mencabut pemberian itu darinya. (HR. Abu Dawud)
Hadits ini adalah contoh yang tidak bisa dibantah, bahwa Nabi segera membatalkan hukum ketika mengetahui fakta yang salah. Bisa diistinbath didalamnya bahwa hukum tidak bisa diterapkan pada fakta yang salah. Hukum dari Hadits ini adalah berkaitan dengan kepemilikan, Abyadh sebagai Warga Negara Daulah Islam berhak meminta harta kepada Pemimpin Negara (Nabi Muhammad). Ia meminta tambang garam dan Nabi pun memberikannya, namun seorang sahabat tahu bahwa Nabi sedang memberikan tambang besar yang apabila dimiliki oleh seseorang maka ia akan mendapatkan keuntungan yang sangat melimpah, padahal tambang besar harus dimasukkan dalam kepemilikan umum bukan kepemilikan individu. Lalu sahabat tersebut mengoreksi Nabi, maka Nabi pun mencabut pemberian tambang garam tersebut. Artinya telah terjadi perubahan keputusan dari Nabi bahwa pemberian barang yang keuntungannya besar kepada individu menjadi haram, karena fakta barang tersebut adalah fakta barang yang hanya boleh dimiliki bersama (kepemilikan umum).
Berdasarkan hal ini, jika misalnya ada 4 orang saksi yang kredibel telah bersaksi di pengadilan bahwa mereka melihat 2 orang yang berzina, namun setelah diperiksa ternyata laki-laki yang dituduh berzina tidak memiliki kemaluan. Maka persaksian 4 orang saksi di atas meskipun mereka kredibel, wajib ditolak karena bertentangan dengan fakta. Laki-laki yang tidak memiliki kemaluan tidak mungkin terkena tuduhan zina, karena berdasarkan Hadits, Nabi hanya menerima persaksian zina jika saksi tersebut melihat dengan jelas pertemuan 2 kemaluan yang tidak halal. Cumbuan sehebat apapun tidak bisa dituduhkan dengan tuduhan zina.
Contoh kasus lain misalnya, 4 orang saksi yang kredibel bersaksi di pengadilan bahwa mereka melihat 2 orang yang berzina pada hari Senin tanggal 09 Juli 2012 sekitar pukul 13.30 WIB di hotel Mekar Batu Malang. Namun, pada faktanya salah seorang dari yang dituduhkan, saat itu sedang bersama dengan keluarganya berobat di Amerika. Maka hal ini sama dengan kasus sebelumnya, persaksian dari saksi wajib ditolak karena bertentangan dengan fakta.
Para ulama telah membahas masalah pertentangan persaksian/riwayat/berita dengan fakta ini dalam kitab-kitab mereka. Kami sebutkan contoh kutipan pendapat mereka agar kita tahu bahwa pendapat ini bukanlah hal yang baru.
Dalam kitab Syarh Muntahal Irada disebutkan:
الشَّرْطُ الْخَامِسُ : أَنْ تَكُونَ الدَّعْوَى ( مُنْفَكَّةً عَمَّا يُكَذِّبُهَا
Syarat yang ke lima hendaknya klaim/dakwaan itu harus terbebas dari sesuatu yang mendustakannya.
Syaikh Abdullah Mani’ menyatakan dalam petisinya;
من شروط اعتبار الشهادة بالإجماع: أن تكون منفكة عما يكذبها حسا وعقلا
Di antara syarat diterimanya persaksian yang menjadi ijma’ adalah hendaknya bebas dari sesuatu yang mendustakannya baik secara inderawi maupun aqli.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani Dalam kitab Ahkamul Bayyinat juga menolak persaksian serta Riwayat yang bertentangan dengan fakta. Ketika membahas Riwayat Ali yang bersaksi untuk Fatimah di depan Abu Bakar Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menolak Ikhbar tersebut karena bertentangan dengan fakta.
وأما ما روي “أن علي بن أبي طالب رضي الله عنه شهد لفاطمة رضي الله عنها عند أبي بكر الصديق رضي الله عنه ومعه أم أيمن فقال له ابو بكر: لو شهد معك رجل أو امرأة أخرى لقضيت لها بذلك” فإن فاطمة رضي الله عنها كانت غاضبة على أبي بكر منذ توليه الخلافة ولا سيما بعد رفضه إعطاءها ارض فدك، وعلي كان غاضباً على أبي بكر ولم يبايعه إلا بعد وفاة فاطمة رضي الله عنها، فمن أين جاءت شهادة علي لفاطمة عند أبي بكر،
فإن كان في مسألة أرض فدك فهي ليست حقاً عند خصم فإن أبا بكر يعترف بأن الأرض ارث عن الرسول – صلى الله عليه وسلم – ولكنه يحتج بقول رسول الله: «نحن معاشر الأنبياء لا نورث» وإن كان في غير ذلك فإن فاطمة لم يرد عنها أنها شكت لأبي بكر على أحد، فالوقائع المحسوسة ترد هذه الرواية، فهي ترد دراية
Sementara apa yang diriwayatkan, “Bahwasanya ‘Ali ibn Abi Thalib ra. pernah bersaksi untuk Fathimah di depan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Dan bersamanya juga ada Ummu Aiman. Lalu Abu Bakar berkata kepada ‘Ali, ‘Seandainya bersamamu bersaksi seorang laki-laki dan wanita lain, sungguh aku akan memutuskan untuk (kemenangan)nya (Fathimah) dengan (persaksian) itu. Maka (jawaban atas Riwayat ini adalah): Fathimah marah kepada Abu Bakar semenjak dirinya diangkat menjadi Khalifah. Terlebih lagi setelah Abu Bakar menolak memberinya tanah di daerah Fadak kepada Fathimah. Sementara ‘Ali juga marah kepada Abu Bakar dan tidak membai’atnya kecuali setelah wafatnya Fathimah ra. Lalu, darimana muncul riwayat yang menyatakan bahwa ‘Ali memberikan kesaksian kepada Fathimah di depan Abu Bakar? Seandainya kesaksian itu dalam masalah tanah Fadak, maka sesungguhnya kesaksian itu bukanlah hak yang dituntut dari lawan sengketa. Sebab Abu Bakar sendiri mengakui bahwa tanah itu adalah warisan dari Rasulullah saw, akan tetapi berliau berargumentasi dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam:
“Kami para Nabi tidak mewarisi”(sehingga beliau tidak mau memberikan tanah fadak pada fathimah)
Seandainya pun terkait masalah lain, maka tidak pernah ada riwayat bahwa Fathimah mengadukan seseorang kepada Abu Bakar.. Jadi realitas-realitas yang terindera telah justru membantah riwayat ini, oleh karena itu Riwayat ini (harus) ditolak secara dirayah.
Semua keterangan di atas yaitu penolakan terhadap dakwa (tuntutan), Syahadah dan Ikhbar yang bertentangan dengan fakta semakin meyakinkan kepada kita bahwa para Fuqoha’ telah menegaskan; Syahadah yang bertentangan dengan fakta hukumnya wajib ditolak karena termasuk kedustaan. Persamaan antara Dakwa, Syahadah dan Riwayat adalah ketiganya termasuk Ikhbar (berita), dan Ikhbar yang disampaikan ke majelis Qadli (Syahadah, Dakwa) atau Atsar dan Riwayat yang bisa digali hukum di atasnya memiliki syarat harus terbebas dari yang mendustakannya, artinya tidak boleh bertentangan dengan fakta.
Kaidah penolakan Syahadah yang bertentangan dengan fakta ini tidak hanya diterapkan pada Syahadah saja, akan tetapi diterapkan pada semua jenis Ikhbar. Ulama’ Hadits pun menolak Riwayat yang bertentangan dengan fakta. Misalnya, pada Hadis munqathi’ meskipun perawinya tsiqoh, akan tetapi secara fakta tidak bisa dibuktikan hal tersebut marfu’ kepada Nabi, maka Hadis ini dihukumi dhaif sehingga tertolak.
Demikian juga dengan perawi yang secara fakta tidak pernah bertemu dengan perawi lainnya lalu meriwayatkan Hadits darinya, maka Riwayat ini juga ditolak. Misalnya si A meriwayatkan Hadits dari si B, padahal si A tidak pernah bertemu dengan si B, maka Riwayat Hadits yang disampaikan si A ini ditolak. Bahkan pada kasus Hadits yang perawinya Tsiqoh namun bertentangan dengan yang lebih Tsiqoh atau yang mutawatir, maka Riwayat Hadits yang level ketsiqohannya lebih rendah ditolak (Hadits Syadz). Argumentasi penolakan tersebut adalah karena fakta yang bertentangan tidak mungkin diterima semuanya, maka salah satu fakta yang levelnya lebih rendah harus ditolak secara dirayah (isinya).
Berdasarkan hal ini, dalam penerapannya terkait persaksian rukyatul Hilal, oleh karena data-data yang disajikan ilmu astronomi modern, minimal mendekati qath’i. hal ini bisa dibuktikan dengan argumen:
a) Prediksi gerhana matahari dan bulan selama 50 tahun terakhir tidak pernah meleset meski hanya satu detik
b) Tidak sanggupnya pihak yang mengkritik ilmu astronomi modern untuk membuktikan kesalahan perhitungan umur bulan, waktu lahir bulan, konjungsi dll meski hanya sekali
c) Probabilitas kesalahan yg mencapai 1/100.000 perdetiknya atau 2 detik dalam 4000 tahun
Berdasarkan hal di atas bisa dikatakan bahwa data-data astronomi kontemporer telah dapat diterima sebagai fakta, sehingga persaksian rukyatul hilal yang bertentangan dengan data-data tersebut wajib ditolak.
Sikap menerima Ikhbar atau Persaksian yang bertentangan dengan fakta justru tidak melaksanakan perintah Nabi. Karena Perintah Nabi dalam penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawwal adalah berdasarkan rukyatul hilal. Hal ini didasarkan pada Hadis:
Dari Abu Hurairah ra. Beliau berkata Nabi ﷺ bersabda, atau Abu al-Qasim ﷺ bersabda: “Berpuasalah jika kalian melihatnya (hilal) dan berbukalah jika kalian melihatnya” (HR. al-Bukhari)
Dari Hadis ini cukup jelas bahwa perintah Nabi dalam penentuan puasa Ramadhan dan mengakhirinya adalah dengan Rukyatul Hilal. Artinya orang yang bersaksi harus kredibel dan isi persaksiannya harus terbukti bahwa yang dilihat adalah hilal, bukan sesuatu yang dianggap sebagai hilal (klaim). Keliru merukyah dan disangka bahwa yang dirukyah adalah hilal, berarti tidak melaksanakan perintah Nabi.
Dalam kitab Tabshiroh Al-Hukkam dinyatakan:
الْحَادِيَةُ وَالثَّلَاثُونَ : قَالَ أَصْحَابُنَا : إذَا شَهِدَ شَاهِدَانِ فِي الصَّحْوِ فِي الْمِصْرِ الْكَبِيرِ عَلَى هِلَالِ رَمَضَانَ وَلَمْ يَرَهُ غَيْرُهُمَا ، قَالَ سَحْنُونٌ : هُمَا شَاهِدَا سُوءٍ ، فَإِذَا قُبِلَا فَعُدَّ ثَلَاثُونَ يَوْمًا وَلَمْ يُرَ الْهِلَالُ وَالسَّمَاءُ مُصْحِيَةٌ . قَالَ مَالِكٌ هُمَا شَاهِدَا سُوءٍ ، لِأَنَّ ذَلِكَ قَرِينَةٌ ظَاهِرَةٌ فِي كَذِبِهِمَا .
Jika ada 2 orang bersaksi di langit yang cerah di sebuah kota yang besar, mereka mengatakan melihat hilal ramadhan sementara tidak ada orang lain yang menyaksikan hilal, maka mereka berdua adalah saksi yang buruk. Jika 2 saksi ini diterima lalu menjalani Ramadhan lalu dihitung 30 hari lalu kemudian tidak terlihat hilal (31) sementara langit cerah padahal langit cerah. Malik berkata mereka berdua adalah saksi yang buruk karena itu adalah qarinah yang menunjukkan persaksiannya adalah dusta. (Tabshiroh Al-Hukkam Fi Ushuli Al-Aqdhiyah Wa Manahij Al-Ahkam)
As-Subky juga berfatwa
وَالْبَيِّنَةُ شَرْطُهَا أَنْ يَكُونَ مَا شَهِدْت بِهِ مُمْكِنًا حِسًّا وَعَقْلًا وَشَرْعًا فَإِذَا فُرِضَ دَلَالَةُ الْحِسَابِ قَطْعًا عَلَى عَدَمِ الْإِمْكَانِ اسْتَحَالَ الْقَبُولُ شَرْعًا لِاسْتِحَالَةِ الْمَشْهُودِ بِهِ وَالشَّرْعُ لَا يَأْتِي بِالْمُسْتَحِيلَاتِ ، وَلَمْ يَأْتِ لَنَا نَصٌّ مِنْ الشَّرْعِ أَنَّ كُلَّ شَاهِدَيْنِ تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمَا سَوَاءٌ كَانَ الْمَشْهُودُ بِهِ صَحِيحًا أَوْ بَاطِلًا
Bayyinah syaratnya adalah apa yang disaksikan itu mungkin secara indera, akal serta syara’. Jika hasil hisab itu secara qath’i menunjukkan ketidak mungkinan maka mustahil bisa menerima persaksian tersebut secara Syar’i karena kemustahilan apa yang dipersaksikannya tersebut. Sementara syara’ tidak mungkin membawa kemustahilan-kemustahilan dan tidak ada satu nash pun dalam syariat yang menunjukkan bahwa setiap 2 saksi diterima secara mutlak persaksiannya baik yang dipersaksikannya itu shahih maupun batil. (As-Subki dalam Fatawa as-Subki)
لِأَنَّ الْحِسَابَ قَطْعِيٌّ وَالشَّهَادَةَ وَالْخَبَرَ ظَنِّيَّانِ وَالظَّنُّ لَا يُعَارِضُ الْقَطْعَ فَضْلًا عَنْ أَنْ يُقَدَّمَ عَلَيْهِ
Karena hisab itu qath’i sementara Syahadah dan khobar itu dzanni dan dzanni itu tidak mungkin bertentangan dengan qath’i terlebih lagi jika lebih didahulukan dari yang qath’i.
Al-Abbadi berkata;
قَالَ الْعَلَّامَةُ الْعَبَّادِيُّ : إنَّهُ إذَا دَلَّ الْحِسَابُ الْقَطْعِيُّ عَلَى عَدَمِ رُؤْيَتِهِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُ الْعَدْلِ لِرُؤْيَتِهِ ، وَتُرَدُّ شَهَادَتُهُمْ بِهَا انْتَهَى .
وَهُوَ ظَاهِرٌ جَلِيٌّ وَلَا يَجُوزُ الصَّوْمُ حِينَئِذٍ وَمُخَالَفَةُ ذَلِكَ مُعَانَدَةٌ وَمُكَابَرَةٌ
Jika ilmu hisab yang qath’i itu menunjukkan tidak mungkin dilihat hilal maka tidak diterima ucapan orang yang adil karena melihat hilal serta ditolak persaksian mereka. Dan itu sangat jelas, dan tidak boleh berpuasa di hari itu, menentang hal tsb adalah sebuah sikap keras kepala dan kesombongan.
Riwayat-Riwayat Kisah Terkait Persaksian Rukyatul Hilal Yang Ditolak Karena Salah Lihat/Bertentangan Dengan Fakta
Karena benarnya Rukyatul hilal adalah pembahasan fakta, maka tentu kaum muslimin setelah melewati 14 Abad melakukan Rukyatul Hilal ribuan kali. Dan hasil dari rukyatul hilal tersebut tidak selalu benar, disebabkan penginderaan manusia tidaklah maksum. Nabi saja bisa keliru dalam menilai fakta yang menunjukkan sisi kemanusiaan beliau. Berikut ini kami paparkan Riwayat-Riwayat Rukyatul Hilal yang keliru dan terekam sejarah.
1. Kisah Rukyatul Hilal di masa Umar
رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا فِي زَمَنِ عُمَرَ ، قَالَ : لَقَدْ رَأَيْت الْهِلَالَ .فَقَالَ لَهُ : امْسَحْ عَيْنَك .فَمَسَحَهَا ، ثُمَّ قَالَ لَهُ : تَرَاهُ ؟ قَالَ : لَا .قَالَ : لَعَلَّ شَعْرَةً مِنْ حَاجِبِك تَقَوَّسَتْ عَلَى عَيْنِك ، فَظَنَنْتهَا هِلَالًا
Seorang lelaki di masa Umar berkata; Aku telah melihat hilal. Maka Umar berkata padanya: usaplah kedua matamu, maka ia mengusapnya, lalu Umar bertanya; Apakah engkau masih melihatnya? Ia menjawab: Tidak. Umar berkata: mungkin sehelai rambut dari alismu itu melengkung di kedua matamu, dan engkau menyangkanya sebagai hilal.
2. Kekeliruan Rukyatul Hilal Anas ibn Malik
Pada saat itu Anas berusia 100 tahun, beliau berusaha melihat hilal bersama orang-orang. Lalu beliau mengatakan pada orang-orang; aku melihat hilal di sana. Lalu orang-orangpun melihatnya ternyata tidak ada yang melihat hilal. Lalu Iyas ibn Mu’awiyah yang baik firasatnya mendatangi Anas ibn Malik dan mengusap rambut matanya. Lalu ia berkata kepada Anas; Apakah engkau masih melihatnya wahai Abu Hamzah? Lalu Anas mencoba melihatnya lagi dan berkata: “Sekarang, aku tidak melihat apa-apa.” (Tarikh Ibnu Khillikan)
3. Rukyatul Hilal di masa Shalahuddin al-Ayyubi
Pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, orang-orang ingin merukyat hilal di bulan Dzulhijjah. Mereka melihatnya pada malam kamis, pada saat itu langit banyak sekali bintang-bintang dan awan tebal. Bahkan matahari pada saat itu tidak kelihatan, dan sebagian dari mega merah menutupi ufuk. Tatkala mereka konsentrasi untuk melihat hilal, tiba-tiba salah seorang dari mereka bertakbir dan mengaku melihat hilal. Mendengar salah seorang bertakbir maka sontak yang lain yang berada di tempat itu juga ikut bertakbir. Lalu berdiri dan melihat, dan semuanya menunjuk ke arah tertentu sambil mengkhayalkan melihat hilal.
Kehebohan yang terjadi di masa ini, dikarenakan adanya motivasi yang besar sebelum melihat hilal apabila pada malam Kamis tersebut hilal terlihat maka jum’at keesokan harinya menjadi tanggal 1 Dzulhijjah dan tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Jum’at. Keyakinan pada masa itu jika pada tanggal 9 Dzulhijjah yaitu saat wuquf di Arafah jatuh pada hari Jum’at maka berarti haji di masa itu adalah Haji Akbar, semua orang yang berhaji diyakini hajinya mabrur (diterima). Lalu mereka yang mengaku melihat hilal berbondong-bondong mendatangi Qadli untuk bersaksi. Tatkala mereka berada di hadapan Qadli dan mengaku melihat hilal, maka Qadli tersebut menyikapi dengan keras seraya menolak, beliau mengatakan:
Seandainya salah seorang di antara mereka bersaksi melihat matahari saja di bawah awan yang tebal tadi maka aku tidak akan menerimanya. Maka, bagaimana dengan persaksian melihat hilal sementara usianya masih 29 malam?
Kisah ini terdapat pada kitab Rihlah Ibn Jubair, semakna dengan kisah sebelumnya bahwa Rukyatul Hilal jika dilakukan dengan dorongan tertentu memungkinkan terjadi kesalahan penginderaan. Pada kasus di masa Shalahuddin al-Ayyubi ini, sangat jelas kesalahannya karena 29 malam berarti bulan Dzulqo’dah masih 28 hari. Apabila ada orang yang bersaksi melihat hilal di hari itu, bisa dipastikan hasil rukyatul hilalnya salah, meskipun yang mengaku bersaksi banyak orang. Benarlah keputusan penolakan dari Qadli tersebut.
BAGAIMANA HUKUMNYA BERAMAL DENGAN PERSAKSIAN YANG SALAH?
Hukum beramal dengan persaksian yang salah, jika hal tersebut tidak disengaja atau karena tidak tahu adalah ma’fu (dimaafkan) hal ini didasarkan pada Hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ»
Sesungguhnya Allah memaafkan dari ummatku kesalahan yang tidak disengaja, lupa dan apa yang mereka dipaksa atasnya. (HR. ibn Hibban)
Adapun hukum hakim yang menerima persaksian yang salah dari seseorang yang mengaku melihat hilal, maka hal itu juga Ma’jur. Aktifitas tersebut terkategori ijtihad hakim yang keliru, namun hal ini tidak bisa diterapkan secara sembarangan bagi seorang hakim, ia harus banyak menguasai ilmu Syar’i sehingga dalam memutuskan sebuah perkara di pengadilan telah terpenuhi aktifitas ijtihad. Nabi Shallallahu ‘Alayhi Wasallam bersabda;
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Jika seorang penguasa memutuskan kemudian berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala dan jika dia memutuskan kemudian berijtihad lalu salah maka baginya satu pahala.
Demikianlah pembahasan fikih persaksian, syarat-syaratnya dan penerimaannya. Semoga tulisan ini memberikan andil bagi kaum muslimin, sehingga bisa beramal dengan benar sesuai dengan tuntunan syariah islam.