Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Makna bahasa “thuma’ninah” (الطمأنينة) adalah “ketenangan”/”calmness”.”Thuma’ninah” harus dilakukan pada saat rukuk, i’tidal, sujud dan duduk di antara dua sujud karena ia adalah rukun. Segala hal yang dikatakan rukun dalam salat maka meninggalkannya akan berakibat batalnya salat tersebut. Dasar keharusan “thuma’ninah” dan posisinya sebagai rukun salat adalah hadis berikut ini,
“…Kemudian rukuklah hingga kamu tenang dalam keadaan rukuk..” (H.R.Al-Bukhari)
Konteks hadis di atas adalah seorang lelaki yang salatnya belum benar dan disuruh Rasulullah ﷺ mengulangi salat sampai 3 kali. Perintah mengulangi salat sampai 3 kali menunjukkan salatnya belum sah dan ada rukun yang tidak dilakukan. Ketika Rasulullah ﷺ mengajarinya salat yang benar, di antara yang beliau ucapkan adalah kutipan hadis di atas, yakni Rasulullah ﷺ memerintahkan kepadanya untuk rukuk dengan tenang (“thuma’ninah”). Perintah rukuk dengan tenang menunjukkan “thuma’ninah” itu adalah keharusan dan digolongkan rukun salat sehingga siapapun yang meninggalkannya maka salatnya dianggap tidak sah. Perintah Rasulullah ﷺ untuk “thuma’ninah” dalam hadis di atas bukan hanya dalam rukuk, tetapi juga dalam i’tidal, sujud dan duduk di antara dua sujud. Jadi, hal ini menunjukkan “thuma’ninah” pada gerakan-gerakan tersebut adalah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Sebagian ulama ada yang berpendapat “thuma’ninah” itu hanya “mustahabb” dan pendapat ini terbantahkan dengan hadis ini.
Pertanyaannya, jika memang “thuma’ninah” adalah rukun salat dan sepenting ini “Apa definisi dan batasan “thuma’ninah” secara syar’i itu?”. “Apa ukuran dan kriteria untuk mempraktekkan “thuma’ninah”?”. “Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sudah melaksanakan “thuma’ninah” yang dituntut oleh Nabi ﷺ itu?” “Apakah salat yang dilakukan dengan cepat berarti pasti tidak thuma’ninah karena dianggap tidak tenang?”
Jawaban pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Dari penjelasan An-Nawawi, bisa disimpulkan bahwa “thuma’ninah” itu paling tidak merealisasikan dua hal,
Pertama, “istiqror a’dho’“, maksudnya stabilnya, kukuhnya, mantapnya dan tidak goyangnya anggota tubuh.
Kedua, “infishol harokah”, maksudnya terpisahnya/terdistingtifnya satu gerakan salat dengan gerakan salat yang lainnya dan tidak bersambungnya antara satu gerakan salat dengan gerakan salat yang lainnya sehingga bisa dibedakan.
An-Nawawi berkata,
“Thuma’ninah” wajib dalam rukuk tanpa ada perselisihan berdasarkan hadits orang yang salah dalam salatnya. Kadar minimal “thuma’ninah” adalah berhenti sejenak dalam keadaan rukuk sampai stabil anggota tubuhnya dan terpisah antara gerakan turun dengan gerakan naik saat rukuk” (Al-Majmu’, juz 3 hlm 408-409)
Penjelasan senada juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami. Beliau berkata,
“Standar “thuma’ninah” adalah tenang dan stabilnya anggota tubuh, yakni terpisahnya gerakan naik dengan gerakan turun” (Tuhfatu Al-Muhtaj, juz 2 hlm 59)
Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, “thuma’ninah” itu mudahnya adalah “berhenti sejenak sampai tenang, stabil, tidak goyang dan tidak bergerak anggota tubuhnya”.
Contoh “thuma’ninah” dalam sujud adalah keseriusan dalam meletakkan dahi pada tempat sujud. Tidak cukup hanya sekedar menyentuhkan dahinya pada tempat sujud, tetapi dia harus sujud sampai level menjatuhkan beban kepala dan pundaknya di tempat sujud hingga dahinya menjadi stabil, tidak goyang dan tidak bergerak. Jika tempat sujudnya berupa kapas atau rumput atau benda apapun yang diisi kapas/rumput, maka sujudnya harus sampai level membuat dahinya itu masuk ke dalam benda tersebut (munkabis), yakni seandainya dia meletakkan tangannya di bawah benda itu niscaya tekanan dahinya saat sujud akan membekas pada tangan tersebut. An-Nawawi berkata,
“Tidak cukup meletakkan dahi dengan cara hanya menyentuhkannya saja. Bahkan menjadi keharusan untuk menjatuhkan beban memakai berat kepala dan pundak pada tempat sujudnya hingga dahinya menjadi stabil. Jika dia sujud di atas kapas atau rumput atau sesuatu yang diisi dengan dua bahan ini, maka wajib baginya untuk menjatuhkan beban tubuhnya hingga dahinya masuk ke dalam benda tersebut dan tampak bekasnya pada tangannya seandainya tangan tersebut diletakkan di bawah benda itu. Jika dia tidak melakukan itu, maka sujudnya tidak sah” (Al-Majmu’ juz 3 hlm 423)
Contoh “thuma’ninah” dalam rukuk adalah serius dalam meluruskan punggungnya saat membungkuk dan tidak menyambung gerakan membungkuk untuk rukuk itu dengan gerakan berdiri untuk i’tidal. Jika sampai disambung, maka “thuma’ninah” tidak terealisasi sehingga salatnya dianggap batal. An-Nawawi berkata,
“…Jika dia menambah gerakan turun kemudian bangkit sementara gerakannya yang bersambung dan tidak berhenti sejenak, maka tidak terealisasi “thuma’ninah”. Penambahan gerakan turun ini tidak bisa menggantikan keharusan “thuma’ninah” tanpa ada perselisihan” (Al-Majmu’ juz 3 hlm 409)
Inilah definisi, batasan dan contoh “thuma’ninah” itu. Dengan penjelasan ini kita menjadi tahu kapan kita dikatakan telah melaksanakan “thuma’ninah” dan kapan dikatakan belum melaksanakan “thuma’ninah”. Kita sekarang juga menjadi tahu salat cepat yang bagaimana yang merealisasikan “thuma’ninah” dan salat cepat bagaimana yang tidak merealisasikan “thuma’ninah”.
Sebagian ulama seperti Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan batasan “thuma’ninah” adalah diam sejenak dalam waktu yang kira-kira bisa digunakan untuk mengucapkan zikir “subhanallah” secara wajar/normal. Pendapat ini juga dinyatakan sebagian ulama syafi’iyyah seperti Syihabuddin Ar-Romli dalam hasyiyahnya dan Al-Jamal dalam “Futuhat Al-Wahhab”. Ibnu ‘Utsaimin bermazhab Hanbali, karena itu wajar jika beliau menjadikan bacaan saat rukuk/i’tidal/sujud/duduk di antara dua sujud sebagai ukuran dan kriteria “thuma’ninah” karena bacaan zikir dalam gerakan tersebut dalam mazhab hanbali memang diwajibkan, tidak seperti mazhab Asy-Syafi’i yang statusnya disunnahkan. Sebagian ulama lain berpendapat ukuran “thuma’ninah” adalah kira-kira sepanjang waktu imam menunggu makmum untuk melakukan hal-hal yang harus mereka lakukan saat melakukan gerakan salat.
One Comment
Alam
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillah Washolatu Wasalamu ‘Ala Rasulillah Ama ba’du
ingin mengucapkan terima kasih, Artikel yang anda buat menghilangkan rasa pemasaran saya…
Jazakallah Khairan Katsiran
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh