Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Paling tidak ada dua perbedaan antara “thuma’ninah” dengan “khusyu’”.
Pertama, dari sisi hukumnya.
Kedua, dari sisi deskripsinya.
Dari sisi hukum, “thuma’ninah” itu termasuk rukun salat, sehingga harus dilakukan. Meninggalkan “thuma’ninah” dalam salat akan berakibat salat batal, tidak sah dan tidak ada harapan untuk diterima Allah sebagaimana saya singgung dalam artikel yang berjudul “Bagaimana Batasan dan Definisi “thuma’ninah” Itu?” dan “Janganlah Salat Seperti Patukan Burung Gagak”. Hal ini berbeda dengan “khusyu’”, karena “khusyu’” bukan rukun salat. “khusyu’” adalah perkara yang memperindah salat, menjadikannya sempurna, dan dan lebih dekat untuk memperoleh ridha Allah. “Khusyu’” adalah kualitas yang dituntut Allah sebagaimana difirmankan-Nya dalam ayat berikut ini,
“Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya” (Al-Mukminun; 2)
Walaupun demikian “khusyu’” status hukumnya adalah “mustahabb” (disukai) , bukan rukun salat, sehingga salat tetap sah meskipun orang tidak sanggup “khusyu’” 100 % mulai awal salat hingga akhir salat. An-Nawawi berkata,
“Disunahkan khusuk dalam salat, merendahkan diri, mentadaburi bacaan, zikir dan segala yang terkait dengan salat. Disunahkan juga berpaling dari semua pikiran apapun yang tak terkait dengan salat” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 102)
Secara fakta, memang akan menimbulkan “masyaqqoh” (keberatan) besar jika setiap orang dituntut “khusyu’” dalam salatnya mulai awal sampai akhir. Hal itu karena munculnya “khowathir” (lintasan-lintasan hati) yang tidak terkait salat adalah perkara yang di luar kuasa manusia. Jangankan manusia biasa, selevel Rasulullah ﷺ saja terkadang muncul “khowathir” itu pada saat beliau salat. Membebani orang dengan “khusyu’” secara sempurna mulai awal salat sampai akhir salat akan membuat syariat salat ini sangat sulit dipraktekkan atau bahkan mendekati titik mustahil. Jadi, posisi hukum “khusyu’” adalah perkara mustahabb yang menyempurnakan salat, tapi bukan rukun salat. Oleh karena itu, keabsahan salat tidak digantungkan terealisasinya “khusyu’” mulai awal salat sampai akhir salat.
Hanya saja, meskipun “khusyu’” bukan rukun salat, akan tetapi pahala salat dicatat oleh Allah tergantung tingkat “khusyu’” ini. Artinya, jika ada yang sanggup “khusyu’” 100 % dalam salatnya, maka pahala salatnya tercatat utuh 100 %. Jika dia hanya sanggup 1/10, maka 1/10 itulah yang tercatat. Jika dia hanya sanggup 1/9, maka 1/9 itulah yang tercatat. Jika dia hanya sanggup 1/8, maka 1/8 itulah yang tercatat. Jika dia hanya sanggup 1/7, maka 1/7 itulah yang tercatat. Jika dia hanya sanggup 1/6, maka 1/6 itulah yang tercatat. Jika dia hanya sanggup 1/5, maka 1/5 itulah yang tercatat. Jika dia hanya sanggup 1/4, maka 1/4 itulah yang tercatat. Jika dia hanya sanggup 1/3, maka 1/3 itulah yang tercatat. Jika dia hanya sanggup 1/2, maka 1/2 itulah yang tercatat.
Ibnu Hibban meriwayatkan,
“Dari Umar bin Abi Bakr bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dari ayahnya bahwasanya Ammar bin Yasir salat dua rakaat kemudian beliau meringankannya. Lalu Abdurrahman bin Al Harits bertanya kepadanya. ‘Wahai Abu Yaqzhon, (mengapa) saya melihatmu meringankan 2 rokaat salat itu’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku ingin menghindari was-was karena aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya seorang lelaki itu melakukan salat dan bisa jadi dia tidak mendapatkan pahala kecuali hanya sepersepuluhnya atau sepersembilannya atau seperdelapannya atau sepertujuhnya atau seperenamnya..(beliau menyebut terus) sampai pada angka satu” (H.R. Ibnu Hibban)
Jadi, meskipun “khusyu’” ini bukan rukun salat, tapi pengaruhnya besar dalam salat karena menetukan seberapa banyak pahala yang tercatat. Siapapun yang merasa salatnya banyak tidak “khusyu’” sebaiknya memperbanyak salat sunah untuk menambal kekurangan-kekurangan yang ia lakukan saat melakukan salat fardu.
Ini adalah penjelasan perbedaan antara “thuma’ninah” dan “khusyu’” dari sisi hukum.
Adapun dari sisi deskripsi, maka “thuma’ninah” itu adalah ketenangan yang dilihat dari ekspresi tubuhnya. Orang yang melakukan “thuma’ninah” itu tubuhnya tenang, tidak goyang, tidak bergerak-gerak, stabil dan kokoh. Urusan hati tidak diperhatikan. Siapapun yang bisa membuat tubuhnya tenang, tidak bergoyang-goyang, kokoh dan stabil maka dia dikatakan telah merealisasikan “thuma’ninah”.
Adapun “khusyu’”, pengertian kata ini adalah kondisi hati yang berkonsentrasi penuh di mana seseorang sangat menghormati sesuatu sampai pada taraf menghinakan diri dan merasa rendah di hadapan sesuatu tersebut. Secara fisik, “khusyu’” itu tampak pada pandangan mata yang tidak berani di angkat tetapi hanya berani diarahkan ke bumi, suaranya dipelankan, pikiran penuh konsentrasi dan tenangnya anggota tubuh.
Jadi, orang dikatakan “khusyu’” jika kondisi hatinya tidak melamun, konsentrasi penuh dengan urusannya, pikiran tidak terbang ke mana-mana dan suasana hatinya sangat menghormati sesuatu sampai taraf menghinakan diri dan merasa rendah dihadapan sesuatu. Kualitas hati semacam ini tidak bisa dibohongi dan akan muncul dalam tubuh fisik. Siapapun yang bisa menghadirkan “khusyu’” dalam hati, maka secara fisik pandangan mata yang tidak berani di angkat tetapi hanya berani diarahkan ke bumi, suaranya dipelankan, pikiran penuh konsentrasi dan tenangnya anggota tubuh.
Uraian lebih dalam tentang khusyu’ silakan dibaca artikel saya yang berjudul “Apa Itu Khusyu?”
One Comment
Ummu Dara
Maa sya Allah… sangat membantu, Insya Allah, ana akan berusaha lagi sholat dengan lebih baik seperti demikian yang ditulis..