Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Begitu seseorang melakukan takbiratul ihram, sebenarnya sejak saat itu dia sudah tidak boleh mengingat apapun selain Allah. Semua urusan dunia harus ditinggalkan dan semua perhatian harus dipusatkan hanya untuk Allah saja. Hal itu karena lafaz “ihrom” bermakna “ad-dukhul fi hurmatillah” (memasuki area suci milik Allah). Jadi, aktivitas apapun yang sebelumnya mubah seperti berbicara, makan, minum, termasuk memikirkan urusan duniawi, ketika sudah melakukan takbirotul ihram, maka semua hal mubah tadi semuanya jadi terlarang.
Hanya saja, tabiat manusia memang tidak mudah untuk berkonsentrasi penuh dalam salat semenjak “takbirotul ihrom” sampai salam. Sangat mungkin di tengah-tengah salat terlintas perkara-perkara duniawi, pikiran-pikiran yang tidak terkait salat dan lintasan-lintasan hati terkait apapun selain Allah. Lintasan-lintasan hati itu bisa saja hal-hal yang hukum asalnya mubah seperti berdagang, berkendaraan, bertamasya, bisa juga hal-hal yang haram seperti terlintas meminum khomr, berzina, membunuh orang, bisa juga hal-hal selain itu seperti teringat ucapan orang yang menyakitkan, teringat kata-kata dalam perdebatan dan lain-lain. Hampir tidak mungkin orang yang di hatinya ada iman akan selamat dari was-was dan godaan setan semacam ini. Jangankan kita, iman setinggi Shahabat nabipun juga mengalaminya. Muslim meriwayatkan,
“Dari Abu Al ‘Ala’ bahwa ‘Utsman bin Abu Al ‘Ash datang kepada Nabi ﷺ lalu bertanya; “Ya, Rasulullah! Aku sering diganggu setan dalam shalat, sehingga bacaanku menjadi kacau karenanya. Bagaimana itu?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ya, yang demikian itu memang gangguan setan yang dinamakan Khanzab. Karena itu bila engkau diganggunya, maka segeralah mohon perlindungan kepada Allah dari godaannya, sesudah itu meludah ke sebelah kirimu tiga kali! ‘ Kata Usman; ‘Setelah kulakukan yang demikian, maka dengan izin Allah godaan seperti itu hilang.‘
Teringat hal-hal duniawi saat salat memang menjadi proyek setan yang selalu dibisikkannya agar seorang hamba tidak khusyu’ dalam salatnya sebagaimana diisyaratkan dalam hadis berikut ini,
“Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika panggilan shalat (adzan) dikumandangkan, setan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara adzan tersebut. Apabila panggilan adzan telah selesai maka setan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai dia kembali lagi hingga untuk mengganggu hatinya seseorang seraya berkata; ingatlah ini dan itu, yang semestinya tidak diingat sehingga seseorang membayanngkannya hingga akhirnya orang itu tidak tahu berapa raka’at shalat yang sudah dia laksanakan, tiga atau empat”. (H.R. Al-Bukhari)
Bagi seorang mukmin, tidak usah risau dengan adanya lintasan-lintasna fikiran semacam itu. Lintasan hati yang muncul dari setan itu justru menjadi ciri bahwa orang yang mengalaminya memiliki iman yang murni sehingga setan berkepentingan untuk merusaknya. Jika hati sudah rusak, tidak ada gunanya diganggu lagi. Pencuri hanya masuk ke rumah yang bagus dan berisi barang berharga. Rumah yang sudah rusak dan tidak ada apapun yang menarik tidak perlu dimasuki. Demikian konon kata Ali bin Abi Tholib sebagaimana tersebut dalam kitab “Tuhfatu Al-Ahwadzi” dan Ibnu Abbas sebagaimana dikutip oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab “Al-Wabil Ash-Shoyyib”.
Pertanyaannya, ‘Apakah lintasan-lintasan hari dalam urusan dunia seperti itu membatalkan salat?”
Jawabannya adalah , “Tidak”.
Ada sejumlah dalil yang menunjukkan kesimpulan ini.
Pertama, ada dalil umum yang menunjukkan bahwa Allah memaafkan semua lintasan hati kaum muslimin selama belum diucapkan atau dikerjakan. Al-Bukhari meriwayatkan,
“Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah memaafkan apa yang dikatakan oleh hati umatku, selama tidak melakukan atau pun mengucapkannya.” (H.R. Al-Bukhari)
Kedua, Rasulullah ﷺ pernah teringat emas saat salat. Emas termasuk urusan dunia, meski bisa saja orang memikirkannya dengan maksud untuk disedekahkan. Perbuatan Rasulullah ﷺ ini menunjukkan bahwa lintasan hati selain urusan salat tidak membatalkan salat karena Rasulullah ﷺ tidak mengulangi salatnya. Al- Bukhari meriwayatkan
“Dari ‘Uqbah bin Al Harits radliallahu ‘anhu berkata: “Aku pernah shalat ‘Ashar bersama Nabi ﷺ. Setelah memberi salam, tiba-tiba beliau berdiri dengan tergesa-gesa dan menemui sebagian isteri-isteri beliau. Kemudian setelah itu beliau keluar kembali dan beliau melihat bahwa orang-orang semua keheranan dengan ketergesaan beliau. Maka akhirnya beliau bersabda: “Aku teringat ketika aku shalat tadi tentang sebatang emas yang ada pada kami. Aku tidak suka bila benda itu berada pada kami sampai sore atau bermalam, maka aku perintahkan untuk dibagi-bagikan“. (H.R. Al-Bukhari)
Ketiga, Rasulullah ﷺ pernah teralihkan perhatiannya dalam salat karena melihat lukisan pada pakaian yang beliau kenakan. Karena itu mengganggu beliau, maka beliau meminta pakaiannya diganti. Walaupun demikian Rasulullah ﷺ tidak mengulangi salatnya. Al-Bukhari meriwayatkan,
“Dari ‘Aisyah bahwa Nabi ﷺ shalat memakai kain yang bergambar. Lalu beliau melihat kepada gambar tersebut. Selesai shalat beliau berkata: “Pergilah dengan membawa kain ini kepada Abu Jahm dan gantilah dengan pakaian polos dari Abu Jahm. Sungguh kain ini tadi telah mengganggu shalatku.” (H.R. Al-Bukhari)
Empat, Rasulullah ﷺ pernah terganggu dengan lukisan-lukisan pada tirai milik Aisyah pada saat salat sehingga beliau minta kain itu disingkirkan. Kata Nabi ﷺ, lukisan-lukisan itu selalu “muncul” pada benak beliau sata salat sehingga mengalihkan perhatiannya. Walaupun demikian Rasulullah ﷺ tidak mengulangi salatnya. Al-Bukhari meriwayatkan,
“Dari Anas radliallahu ‘anhu dia berkata; “Bahwa Aisyah memiliki sehelai kain yang bergambar dan digunakan sebagai tabir rumahnya, lalu Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Singkirkanlah ia dariku, karena gambarnya selalu muncul di benakku dalam salatku.” (H.R. Al-Bukhari)
Lima, Rasulullah ﷺ pernah mendengar tangisan anak sehingga mempercepat salat. Mendengar tangisan anak, kemudian kasihan lalu memutuskan untuk mempercepat salat termasuk lintasan fikiran di luar salat. Walaupun demikian Rasulullah ﷺ tidak mengulangi salatnya.
Enam, Rasulullah ﷺ pernah memberi kesempatan cucunya bermain-main pada punggung beliau saat salat dan memperlama sujud agar tidak mengecewakannya. Tidak mungkin ada keputusan demikian jika tidak terlintas pikiran bagaimana memperlakukan cucu dengan kasih sayang dan ini juga lintasan hati yang tidak terkait urusan salat. Walaupun demikian Rasulullah ﷺ tidak mengulangi salatnya.
Tujuh, Rasulullah ﷺ mengajarkan sujud sahwi. Orang melakukan sujud sahwi jika dia lupa dalam salatnya baik terkait jumlah rakaat maupun yang lainnya. Orang bisa lupa jika lintasan hati selain salat demikian kuat mempengaruhi hatinya. Perintah untuk sujud sahwi tanpa ada perintah mengulangi salat menunjukkan lintasan hati selain urusan salat itu tidak membatalkan salat.
Asy-Syaukani berkata,
“Was-was dalam salat tidak membatalkan salat. Demikian pula semua perbuatan hati, karena tidak ada bedanya” (Nail Al-Author; juz 2 hlm 398)
Hanya saja, jika pikiran-pikiran duniawi itu lebih dominan dalam salat, maka yang demikian itu statusnya makruh. An-Nawawi berkata,
“Jika dia memikirkan tentang sesuatu selain salat dan itu dominan maka shalatnya tidak batal tetapi dimakruhkan. Sama saja apakah pikirannya itu terkait hal mubah ataukah hal haram seperti meminum khamr” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 102)
Bukan hanya makruh, tetapi pikiran-pikiran yang tidak terkait salat itu juga menentukan sebanyak apa pahalanya tercatat. Orang bisa mendapatkan pahala penuh 100 %, ½, ¼, /1/5, 1/6, 1/7, 1/8, 1/9. atau 1/10 tergantung tingkat kekhusyu’annya dan kemampuannya menjaga konsentrasi saat salat dalam mengingat Allah. Ahmad meriwayatkan,
“Dari Abdullah bin Anamah ia berkata; saya melihat Ammar bin Yasir masuk masjid dan shalat lalu ia meringankannya. Ketika ia keluar, saya pun beranjak menemuinya dan berkata, “Wahai Abul Yaqzhan, sungguh, Anda telah meringankan shalat.” Ammar berkata, “Apakah kamu melihatku mengurangi sedikit pun dari batasan-batasannya?” saya menjawab, “Tidak.” Ammar berkata, “Sesungguhnya saya berusaha mendahului gangguan syetan. Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya seorang hamba benar-benar menunaikan shalat, namun tidaklah ditulis pahalanya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau setengahnya.’” (H.R. Ahmad)
Di sinilah salah satu hikmah dari disyariatkannya salat sunnah. Orang yang salat wajibnya ada kekurangan atau tidak sempurna, maka Allah akan menyempurnakannya dengan melihat salat-salat sunah yang dilakukannya sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini,
“Dari Nabi ﷺ , beliau bersabda: “Sesungguhnya yang pertama kali akan di hisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya, Allah Jalla wa ‘Azza berfirman kepada Malaikat -Dan Dia lebih mengetahui (amalan seseorang) -; “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang? Sekiranya sempurna, maka catatlah baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan, Allah berfirman; “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman; “Cukupkanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia di hisab dengan cara demikian.” (H.R. Abu Dawud)
Dengan demikian, lintasan-lintasan hati selain urusan salat itu tidak membatalkan salat. Jika hanya sedikit, maka ia dimaafkan. Jika dominan, maka statusnya makruh. Kendati demikian, pahala salatnya dicatat sesuai dengan tingkat kekhusyu’an. Agar kekurangan-kekurangan yang dilakuakn saat menjalankan salat wajib bisa ditambal, seyogyanya diperbanyak salat sunah.