Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika seseorang terluka atau dijahit atau dioperasi sehingga terpaksa harus diperban/diplester atau mengalami patah tulang sehingga terpaksa harus digips, sementara lokasi luka atau patah tulang itu terletak di anggota tubuh yang wajib dibasuh atau diusap saat berwudhu misalnya di wajah, tangan, kepala atau kaki, maka tatacara berwudhunya saat membasuh anggota-anggota tubuh yang terluka itu harus melakukan tiga hal.
Pertama: Basuhlah area yang sehat (yang tidak terluka atau tidak mengalami patah tulang)
Kedua: Usaplah perban/plester/gips itu dengan air
Ketiga: Bertayamumlah sebagai pengganti area yang tidak bisa dibasuh/diusap air itu.
Dalil yang menjadi dasar ketentuan ini adalah hadis yang dihasankan oleh Al-Albani berikut ini,
Artinya,
“Dari Jabir dia berkata; Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi basah, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air, maka orang tersebut mandi dan langsung meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi ﷺ , beliau diberitahu tentang kejadian tersebut, maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayamum dan mengikatkan kain pada lukanya -atau- membalutkan kain pada lukanya- Musa ragu- kemudian mengusapnya saja dan membasuh seluruh tubuhnya yang lain.” (H.R. Abu Dawud)
Dalam hadis di atas, diceritakan seorang lelaki yang mengalami luka pada kepalanya karena terhantam sebuah batu. Kemudian lelaki ini mimpi basah. Lalu dia mandi besar dengan air seperti biasa karena tidak mendapatkan fatwa yang meringankannya. Ternyata dia wafat karena mandi tersebut. Begitu kisah ini dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau marah besar dan mencela orang yang memberi fatwa tanpa ilmu. Setelah itu beliau mengajari, bahwa semestinya dia cukup bertayamum, lalu membalut lukanya untuk diusap dengan air, dan membasuh anggota tubuhnya yang lain.
Jadi lafaz yang berbunyi,
Artinya,
“…dan membasuh seluruh tubuhnya yang lain…”
Adalah dalil instruksi pertama yang berbunyi, “Basuhlah area yang sehat (yang tidak terluka atau tidak mengalami patah tulang)”
Lafaz yang berbunyi,
Artinya,
”…dan mengikatkan kain pada lukanya -atau- membalutkan kain pada lukanya- Musa ragu- kemudian mengusapnya saja…”
Adalah dalil instruksi kedua yang berbunyi, “Usaplah perban/plester/gips itu dengan air.”
lafaz yang berbunyi,
Artinya,
“…Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayamum…”
Adalah dalil instruksi ketiga yang berbunyi, “Bertayamumlah sebagai pengganti area yang tidak bisa dibasuh/diusap air itu”
Riwayat ini dikuatkan atsar dari Ibnu Umar yang pernah berwudhu dengan cara mengusap perban luka pada tangannya dan membasuh anggota tubuh yang tidak diperban. Al-Baihaqi meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berwudhu sementara tangannya dibalut perban. Maka beliau mengusapnya dengan air dan mengusap perbannya dan membasuh selain itu” (Al-Baihaqi berkata) “riwayat dari Ibnu Umar ini adalah Shahih”
Terkait cara membasuh area yang tidak terluka/mengalami patah tulang, jika bisa dilakukan dengan cara normal maka silakan dilakukan dengan cara normal. Jika hal tersebut sulit dilakukan, maka boleh membasuh dengan memakai kain. Caranya, ambil kain, celupkan pada air yang digunakan untuk bersuci, letakkan pada area yang hendak dibasuh, lalu peraslah sampai air tersebut berjatuhan. Jika sudah melakukan demikian, maka terealisasilah sifat “ghoslun” (membasuh). Tidak cukup hanya menyeka saja, karena menyeka dengan kain basah dalam bahasa Arab disebut “mashun” (mengusap) bukan “ghoslun”( membasuh). Bedanya, untuk membasuh harus terealisasi sifat “jaroyanul ma’” (mengalirnya air).
Terkait mengusap area yang telah diperban/diplester/digips dengan air, maka waktu pelaksanaannya adalah mengikuti waktu pembasuhan anggota tubuh yang diperban/diplester/digips. Jika perban/plester/gips itu berada di lengan umpamanya, berarti mengusap perban/plester/gips tersebut adalah setelah membasuh area tangan yang tidak diperban/diplester/digips. Jika perban/plester/gips itu berada di punggung kaki umpamanya, berarti mengusap perban/plester/gips tersebut adalah setelah membasuh area kaki yang tidak diperban/diplester/digips. Disyaratkan saat mengusap itu terealisasi sifat “isti’ab” (full covering). Jadi, seluruh perban/plester/gips harus terkena usapan, tidak seperti mengusap kepala yang sudah sah seandainya hanya sebagian saja. Kebolehan mengusap ini berlaku sampai luka menjadi sembuh, selama apapun. Tidak dibedakan apakah dalam kondisi safar ataukah mukim. Jadi tidak ada batasan waktu maksimal misalnya sehari semalam atau tiga hari tiga malam sebagaimana syariat dalam mengusap dua sepatu.
Terkait instruksi ketiga, yakni bertayamum maka yang harus difahami, posisi tayamum adalah pengganti bagian tubuh yang tidak dibasuh. Oleh karena itu, waktu pelaksanaan tayamum harus mengikuti waktu pembasuhan anggota tubuh saat berwudhu. Contoh: gips/perban/plesternya di wajah. Berarti silakan membasuh wajah yang tidak ditutup gips/perban/plester dulu, lalu usaplah gips/perban/plester itu dengan air, lalu bertayamumlah (untuk mengganti pembasuhan kulit yang ditutup gips/perban/plester). Setelah itu baru membasuh tangan, mengusap kepala dan seterusnya. Jika gips/perban/plesternya di tangan, berarti harus membasuh muka dulu, lalu membasuh tangan yang tidak ditutup gips/perban/plester, lalu usaplah gips/perban/plester itu dengan air, baru kemudian bertayamum, setelah itu mengusap kepala dan seterusnya. Intinya tetap harus sesuai urutan wudhu (tartib) dan tayamum dijadikan pelengkap saat membasuh anggota tubuh yang wajib dibasuh. Terkait urutan antara tayamum dengan membasuh pada saat membasuh satu anggota tubuh (misalnya perban ada di tangan) maka bebas, bisa tayamum dulu baru membasuh tangan yang tidak diperban atau dibalik, membasuh tangan yang tidak diperban dulu baru tayamum. Jika gips/perban/plester lebih dari satu maka tayamumnya juga harus berkali-kali sesuai jumlah area luka/sakit. Hanya saja, jika lokasi gips/perban/plester itu pada kedua anggota tubuh yang berpasangan (yakni tangan dan kaki), maka boleh hanya satu kali tayamum, tetapi afdolnya tetap bertayamum dengan menghitung satu tangan/ kaki seperti satu anggota tubuh.
Inilah ringkasan tatacara berwudhu bagi orang yang terluka atau patah tulang sehingga terpaksa anggota wudhunya sebagian harus diperban/diplester/digips.
Hanya saja patut diperhatikan, tiga instruksi di atas baru sah jika memenuhi dua syarat,
Pertama; Gips/perban/plester hanya menutupi bagian yang cedera saja. Tidak boleh menutupi bagian yang sehat/tidak cedera. Boleh menutupi bagian yang sehat asalkan hanya sekedar untuk tempat “cantolan” gips/ perban/plester supaya tidak lepas.
Kedua; Gips/perban/plester dipasang dalam keadaan suci. Maksudnya, sebelum gips dipasang maka orang harus dalam kondisi bersuci dulu. Jika dia berhadas kecil maka harus berwudhu dulu, jika dia berhadas besar maka harus mandi besar dulu. Jika dipasang dalam keadaan tidak suci, padahal mampu melakukannya maka ia berdosa dan saat sudah sehat wajib mengulangi salatnya. Ikhtiyar An-Nawawi, Al-Muzani dan sejumlah ulama lainnya berpendapat tidak perlu mengulang salat meskipun Gips/perban/plester dipasang dalam keadaan tidak suci.
Jika luka/patah tulangnya tidak membutuhkan perban/plester/gips tetapi tetap kuatir akan memperburuk kesehatan jika terkena air, maka cukup dilakukan dua hal saat berwudhu, yakni membasuh area yang tidak luka/sakit dan bertayamum sebagai pengganti pembasuhan luka/area yang sakit itu. Dalam kondisi ini tidak wajib luka itu ditutup agar bisa diusap dengan air.
Jika luka/patah tulangnya tidak membutuhkan perban/plester/gips dan tidak kuatir kesehatan bertambah buruk jika terkena air, maka silakan berwudhu seperti wudhu orang yang sehat walafiat.
Wallahua’lam