Oleh: Ustaz Muafa
Rukun mandi besar hanya dua. Pertama, niat. Kedua; membasuh seluruh badan secara merata tanpa ada yang tertinggal. Niat minimal dilakukan bersamaan saat membasuh tubuh pertama kali, sementara afdalnya dilakukan semenjak pertama kali melakukan sunah mandi dan terus dipertahankan sampai saat membasuh tubuh pertama kali untuk mandi.
Adapun tatacara mandi besar bagi orang yang terluka/cedera, maka secara umum sama dengan tatacara berwudhu untuk orang yang terluka sebagaimana saya tulis dalam catatan yang berjudul “Cara Berwudhu Bagi Orang Yang Terluka/Cedera”. Hanya ada sedikit perbedaan yang akan diterangkan pada bagian akhir tulisan ini. Untuk lebih jelasnya, berikut ini penjelasan lebih detail tatacara mandi besar bagi orang yang terluka, dioperasi atau cedera patah tulang.
Jika seseorang terluka atau dijahit atau dioperasi sehingga terpaksa harus diperban/diplester atau mengalami patah tulang sehingga terpaksa harus digips, sementara lokasi luka atau patah tulang itu tentu saja wajib dibasuh saat mandi karena membasuh seluruh tubuh saat mandi adalah rukun mandi besar, maka tatacara mandi besar harus melakukan tiga hal.
Pertama: Basuhlah area yang sehat (yang tidak terluka atau tidak mengalami patah tulang)
Kedua: Usaplah perban/plester/gips itu dengan air
Ketiga: Bertayamumlah sebagai pengganti area yang tidak bisa dibasuh/diusap air itu.
Dalil yang menjadi dasar ketentuan ini adalah hadis yang dihasankan oleh Al-Albani berikut ini,
جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ ». أَوْ « يَعْصِبَ ». شَكَّ مُوسَى « عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ».( سنن أبى داود – م (1/ 132)
Artinya,
“Dari Jabir dia berkata; Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi basah, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air, maka orang tersebut mandi dan langsung meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi ﷺ , beliau diberitahu tentang kejadian tersebut, maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayamum dan mengikatkan kain pada lukanya -atau- membalutkan kain pada lukanya- Musa ragu- kemudian mengusapnya saja dan membasuh seluruh tubuhnya yang lain.” (H.R. Abu Dawud)
Dalam hadis di atas, diceritakan seorang lelaki yang mengalami luka pada kepalanya karena terhantam sebuah batu. Kemudian lelaki ini mimpi basah. Lalu dia mandi besar dengan air seperti biasa karena tidak mendapatkan fatwa yang meringankannya. Ternyata dia wafat karena mandi tersebut. Begitu kisah ini dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau marah besar dan mencela orang yang memberi fatwa tanpa ilmu. Setelah itu beliau mengajari, bahwa semestinya dia cukup bertayamum, lalu membalut lukanya untuk diusap dengan air, dan membasuh anggota tubuhnya yang lain.
Jadi lafaz yang berbunyi,
Artinya,
“…dan membasuh seluruh tubuhnya yang lain…”
Adalah dalil instruksi pertama yang berbunyi, “Basuhlah area yang sehat (yang tidak terluka atau tidak mengalami patah tulang)”
Lafaz yang berbunyi,
Artinya,
“…dan mengikatkan kain pada lukanya -atau- membalutkan kain pada lukanya- Musa ragu- kemudian mengusapnya saja…”
Adalah dalil instruksi kedua yang berbunyi, “Usaplah perban/plester/gips itu dengan air”
lafaz yang berbunyi,
Artinya,
“…Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayamum…”
Adalah dalil instruksi ketiga yang berbunyi, “Bertayamumlah sebagai pengganti area yang tidak bisa dibasuh/diusap air itu”
Untuk waktu mengusap perban/plester/gips, maka hal itu dibebaskan. Boleh di awal mandi (sebelum membasuh semua anggota tubuh yang sehat), boleh juga di akhir, yakni setelah membasuh semua anggota tubuh yang sehat. An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Adapun waktu mengusap gips dengan air, jika ia orang yang terkena junub (dan ingin melakukan mandi besar) maka ia (boleh) mengusap kapanpun ia inginkan, sebab tidak ada (tuntutan) harus urut (dalam kasus mandi besar seperti tututan harus urut dalam berwudhu).” (Al-Majmu’, juz 2 hlm 327)
Waktu tayamum juga dibebaskan. Boleh sebelum mandi, di tengah-tengah mandi maupun setelah mandi. An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Jika ia dalam kondisi junub (kemudian ingin mandi besar), maka ada dua pendapat. Pertama, wajib mendahulukan mandi baru kemudian bertayamum. Pendapat yang terkuat (adalah pendapat kedua yaitu), jika ia mau silakan mendahulukan tayamum sebelum mandi, jika mau silakan bertayamum setelah mandi, dan jika ia mau silakan bertayamum di tengah-tengah mandi.”
Jika luka/patah tulangnya tidak membutuhkan perban/plester/gips tetapi tetap kuatir akan memperburuk kesehatan jika terkena air, maka cukup dilakukan dua hal saat mandi besar, yakni membasuh area yang tidak luka/sakit dan bertayamum sebagai pengganti pembasuhan luka/area yang sakit itu. Dalam kondisi ini tidak wajib luka itu ditutup agar bisa diusap dengan air.
Jika luka/patah tulangnya tidak membutuhkan perban/plester/gips dan tidak kuatir kesehatan bertambah buruk jika terkena air, maka silakan mandi besar seperti mandi besar orang yang sehat walafiat. Wallahua’lam.