Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Lafal mumayiz (الْمُمَيِّزُ) berasal dari kata mayyaza (مَيَّزَ) yang bermakna membedakan. Jadi, secara bahasa jika seorang anak disebut mumayiz maka dia telah memiliki kemampuan untuk membedakan.
Adapun dalam istilah fukaha, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait definisi, batasan, dan kriteria mumayiz ini. Secara ringkas, ragam ikhtilaf terkait definisi mumayiz itu bisa disajikan sebagai berikut.
- Mumayiz adalah anak yang sudah bisa memahami khithob (pembicaraan) dan menjawab dialog. Maksudnya adalah jika diajak berbicara, maka dia bisa memahami makna-makna dan maksud-maksud orang yang berakal serta bisa memberikan jawaban yang baik. Kemampuan menjawab panggilan bukan ukuran. Hanya saja, kemampuan memahami ini bukan level pemahaman yang sempurna seperti orang dewasa. Anak di usia mumayiz bisa memahami ucapan secara umum, tetapi tetap belum sanggup memahami hal-hal detail. Perbedaan level pemahaman mumayiz dengan orang dewasa ini ditegaskan Al-Amidi dalam kitab Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Definisi mumayiz sebagai anak yang sudah bisa memahami khithob (pembicaraan) dan menjawab dialog adalah pendapat Ibnu Farhun dan Ibnu Jama’ah. Ini juga pendapat An-Nawawi sebagaimana beliau sebutkan dalam kitab Al-Majmu’ dan Tahriru Alfazh At-Tanbih. Umumnya ulama hanabilah mengikuti definisi ini.
- Mumayiz adalah anak yang bisa membedakan mana yang membahayakan dan mana yang bermanfaat, mana yang memberi maslahat dan mana yang memberi mudarat, mana yang untung mana yang rugi. Contohnya mengetahui perbedaan antara menjual dan membeli. Makna ini yang diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa mumayiz adalah anak yang sudah dapat membedakan sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk
- Mumayiz adalah anak yang bisa makan, minum dan beristinja sendiri. Ini adalah pendapat Ad-Damiri, Al-Isnawi, Ibnu Qodhi Syuhbah, Ibnu Al-Mulaqqin, Al-Hishni, Asy-Syirbini, Al-Haitami, Al-Qolyubi, Al-Bujairimi, Asy-Syaubari, Al-Jamal, Ibnu Abdil Haqq, Zakariyya Al-Anshori, Syihabuddin Ar-Romli, Syamsuddin Ar-Romli, Nawawi Al-Jawi, dan lain-lain
- Mumayiz adalah anak yang sudah mencapai usia 7 tahun sebagaimana disebutkan dalam hadis yang mengajarkan supaya memerintahkan salat kepada anak yang sudah berusia tujuh tahun
- Mumayiz adalah anak yang sudah mencapai usia 9 tahun
- Mumayiz adalah anak yang mencapai usia 10 tahun. Ini adalah pendapat ‘Atho’. Hanya saja ini khusus mumayiz untuk kasus talak
- Mumayiz adalah anak yang sudah mencapai usia 12 tahun
- Mumayiz adalah anak yang bisa memahami salat dan puasa. Ini pendapat Al-Bisathi
- Mumayiz adalah anak yang mengetahui mana yang kanan dan mana yang kiri
- Mumayiz adalah anak yang bisa membedakan antara kurma dan kerikil
Dari sekian ikhtilaf kriteria mumayiz ini, definisi terbaik menurut Asy-Syirbini adalah penjelasan yang mengatakan bahwa anak mumayiz itu adalah anak yang sudah bisa makan, minum dan beristinja sendiri. Asy-Syirbini berkata,
وَأَحْسَنُ مَا قِيلَ فِي حَدِّ التَّمْيِيزِ أَنْ يَصِيرَ الطِّفْلُ؛ بِحَيْثُ يَأْكُلُ وَحْدَهُ وَيَشْرَبُ وَحْدَهُ وَيَسْتَنْجِي وَحْدَهُ، (مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج (2/ 394))
Artinya,
“Definisi terbaik terkait batasan mumayiz adalah ketika anak sudah bisa makan sendiri, minum sendiri dan beristinja sendiri” (Mughni Al-Muhtaj, juz 2 hlm 394)
Penjelasan ini, yakni bahwa mumayiz adalah anak yang sudah mampu makan, minum dan istinja sendiri Insya Allah adalah pendapat mazhab Asy-Syafi’i. Buktinya, definisi ini ditegaskan sebagai definisi terbaik oleh para muharrir mazhab Asy-Syafi’i mutaakhirin seperti Al-Haitami, Syamsuddin Ar-Romli, Asy-Syirbini, Syihabuddin Ar-Romli dan sejumlah ash-habul hawasyi. Adapun definisi An-Nawawi yang berbeda dengan ini maka bisa dipahami sebagai pendapat pribadi beliau dengan bukti bukti pilihan kata yang dipakai An-Nawawi dalam Al-Majmu’ adalah menggunakan kata showab.
Adapun makna bisa makan dan minum sendiri, maka tentu saja yang dimaksud adalah kemampuan normal makan dan minum tanpa bantuan orang lain sebagaimana yang dilakukan orang dewasa. Dia bisa memasukkan makanan ke dalam mulutnya, mengunyahnya dan menelannya agar masuk ke dalam perutnya dengan cara normal, baik dengan tangan langsung maupun memakai bantuan alat. Dia juga bisa memasukkan minuman ke dalam mulut dan meneguknya dengan cara normal agar masuk ke dalam perutnya. Terkait kemampuan istinja sendiri, maka yang dimaksud adalah bisa menyucikan najis dengan cara yang benar, yakni bisa menghilangkan warna, rasa dan bau najis. Hal itu bisa dicek pada qubul dan duburnya dan atau dicek bau pada celana dalamnya, atau dilihat warna dan bekas pada celana dalamnya.
Dengan demikian, standar mumayiz bukan usia, tapi kemampuan tamyiz (membedakan) yang itu terwujud pada kemampuan makan sendiri, minum sendiri dan beristinja sendiri. An-Nawawi berkata,
وَمَدَارُ الْحُكْمِ عَلَى نَفْسِ التَّمْيِيزِ، لَا عَلَى سِنِّهِ، (روضة الطالبين وعمدة المفتين (9/ 103)
Artinya,
“Pusat yang menjadi ukuran pelaksanaan hukum adalah kemampuan membedakan, bukan usianya” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 9 hlm 103)
Hanya saja, meskipun mumayiz diketahui dari kemampuan anak, bukan dari usianya, akan tetapi memang benar bahwa umumnya usia mumayiz itu adalah ketika anak berusia tujuh atau delapan. An-Nawawi berkata,
وَسِنُّ التَّمْيِيزِ غَالِبًا سَبْعُ سِنِينَ، أَوْ ثَمَانٍ تَقْرِيبًا، (روضة الطالبين وعمدة المفتين (9/ 103)
Artinya,
“Usia mumayiz umumnya kira-kira tujuh tahun atau delapan tahun” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 9 hlm 103)
Usia tujuh atau delapan tahun ini bisa maju atau mundur. Maksudnya, mengingat kriteria mumayiz adalah kemampuan makan, minum dan istinja sendiri maka bisa saja itu terwujud sebelum usia tujuh tahun atau sesudah usia delapan tahun. An-Nawawi berkata,
قَالَ الْأَصْحَابُ: وَقَدْ يَتَقَدَّمُ التَّمْيِيزُ عَنِ السَّبْعِ وَقَدْ يَتَأَخَّرُ عَنِ الثَّمَانِ، (روضة الطالبين وعمدة المفتين (9/ 103)
Artinya,
“Ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah mutakadim berkata, kadang-kadang usia mumayiz lebih cepat dari usia tujuh tahun dan kadang-kadang lebih lambat dari usia delapan tahun” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 9 hlm 103)