Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Salah satu istilah yang terkait dengan penyembelihan adalah nahr (النَّحْرُ). Istilah ini disebut dalam sejumlah dalil. Misalnya ayat dalam Al-Qur’an berikut ini,
{ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ } [الكوثر: 2]
Artinya,
“Maka, salatlah dan lakukan nahr” (Al-Kautsar; 2)
Rasulullah ﷺ juga dikabarkan melakukan nahr untuk mewakili istri-istrinya. Al-Bukhari meriwayatkan,
جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ نَحَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِسَائِهِ (صحيح مسلم (6/ 480)
Artinya,
“Dari Jabir bin Abdullah beliau berkata, ‘Rasulullah ﷺ melakukan nahr untuk mewakili istri-istrinya” (H.R. Al-Bukhari)
Tanggal 10 Dzulhijjah atau hari raya idul adha disebut juga yaumun nahr (يَوْمُ النَّحْرِ), yakni hari untuk melakukan nahr.
Kalau begitu, apa sebenarnya makna nahr?
Makna bahasa nahr adalah a’la ash-shodr (bagian atas dada), yakni tempat kalung pada hewan. Dalam konteks penyembelihan, nahr bermakna menyembelih unta pada labbah-nya, yakni pada bagian bawah lehernya karena bagian ini adalah bagian yang paling mudah disembelih mengingat di lokasi itu tidak ada dagingnya (pembahasan lebih detail tentang makna labbah silakan ditelaah artikel saya yang berjudul “Apa bedanya halq dengan labbah?”). Dalam kitab Mu’jamu Lughoti Al-Fuqoha’ disebutkan,
النحر : بفتح فسكون ج نحور مص نحر ، أعلى الصدر ، موضع القلادة .ذكاة الإبل : طعنها في أسفل العنق عند الصدر ، لأنه أسهل عليه لكونه لا لحم فيه (معجم لغة الفقهاء (2/ 80)
Artinya,
“Nahr, dengan memfathahkan nun dan mensukunkan ha’ dijamakkan menjadi nuhur. Lafal ini adalah mashdar dari kata naharo. Makna nahr adalah bagian atas dada, yakni tempat kalung. Makna lainnya adalah penyembelihan unta dengan cara menusuknya pada bagian bawah leher di dekat dada karena cara itu lebih mudah mengingat di sana tidak ada dagingnya” (Mu’jamu Lughoti Al-Fuqoha’, juz 2 hlm 80)
Cara inilah cara terbaik dalam menyembelih unta sehingga disebut An-Nawawi sebagai cara yang disunahkan untuk menyembelih unta. An-Nawawi berkata,
الْمُسْتَحَبُّ فِي الْإِبِلِ النَّحْرُ، وَهُوَ قَطْعُ اللَّبَةِ أَسْفَلَ الْعُنُقِ، (روضة الطالبين وعمدة المفتين (3/ 206)
Artinya,
“Disunahkan nahr pada unta, yakni menyembelih pada bagian labbah, maksudnya leher bagian bawah” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 3 hlm 206)
Oleh karena itu, nahr berbeda dengan dzabh (الذَّبْحُ). Nahr itu menyembelih hewan pada labbah-nya, yaitu leher bagian bawah sementara dzabh itu menyembelih hewan pada halq-nya, yakni leher bagian atas. Nahr khusus untuk unta, sementara dzabh berlaku untuk sapi, kambing dan semua hewan yang semisal dengannya.
Selain disembelih dengan cara nahr, unta juga disunahkan disembelih dengan cara berdiri dalam keadaan kaki kirinya diikat. Hal ini didasarkan pada riwayat Ibnu Umar yang mengoreksi seorang laki-laki yang menyembelih untanya dalam keadaan menderum. Al-Bukhari meriwayatkan,
عَنْ زِيَادِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَتَى عَلَى رَجُلٍ قَدْ أَنَاخَ بَدَنَتَهُ يَنْحَرُهَا قَالَ ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً سُنَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (صحيح البخاري (6/ 188)
Artinya,
“Dari Ziyad bin Jubair, ia berkata, aku melihat Ibnu Umar mendatangi seorang lelaki yang sedang menderumkan unta kurbannya untuk menyembelihnya. Ibnu Umar berkomentar, ‘Berdirikan dia dalam keadaan terikat (kaki depan sebelah kirinya). Itu adalah sunah Rasulullah ﷺ” (H.R. AL-Bukhari)
An-Nawawi menegaskan kesunahan menyembelih unta dalam keadaan berdiri ini dalam Syarah beliau terhadap Shahih Muslim. An-Nawawi berkata,
فَيُسْتَحَبُّ نَحْرُ الْإِبِلِ وَهِيَ قَائِمَةٌ مَعْقُولَةُ الْيَدِ الْيُسْرَى (شرح النووي على مسلم (9/ 69)
Artinya,
“Disunahkan melakukan nahr pada unta dalam keadaan berdiri dengan posisi tangan kirinya terikat” (Syarhu An-Nawawi ‘Ala Muslim, juz 9 hlm 69)
Atas dasar ini, bisa difahami jika Allah memerintahkan untuk melakukan nahr dalam Surah Al-Kautsar, yakni ayat yang berbunyi,
{ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ } [الكوثر: 2]
Artinya,
“Maka, salatlah dan lakukan nahr” (Al-Kautsar; 2)
Maksud dari ayat ini adalah perintah untuk berkurban yang umumnya di Arab dilakukan dengan menyembelih unta pada bagian labbah-nya, yakni bagian bawah lehernya.
Ketika dalam hadis Rasulullah ﷺ dikabarkan melakukan nahr untuk mewakili istri-istrinya, maka hal itu bermakna Rasulullah ﷺ menyembelih unta pada bagian labbah-nya, yakni bagian bawah lehernya untuk mewakili istri-istrinya pada saat berkurban.
Ketika tanggal 10 Dzulhijjah disebut yaumun nahr, maka maknanya adalah hari itu menjadi hari berkurban yang umumnya dilakukan dengan cara menyembelih unta, yakni menyembelih pada bagian bawah lehernya.
Patut dicatat, menyembelih unta pada bagian labbah-nya adalah ketrampilan dan keahlian yang tidak bisa dilakukan setiap orang. Perlu bakat-bakat khusus untuk bisa melakukannya, apalagi dalam bentuk yang cepat dan efektif. Tidak selalu seorang ulama berilmu dalam bisa melakukan nahr ini. Salah satu buktinya adalah Abu Hanifah. Tidak ada yang mengingkari kapasitas ilmu Abu Hanifah sebagai seorang mujtahid mutlak. Hanya saja, ternyata beliau tidak bisa melakukan nahr, yakni menyembelih unta pada labbah-nya. Bahkan, hampir-hampir saja beliau menjadi penyebab terbunuhnya orang karena unta yang beliau sembelih itu menjadi ganas, lalu berlari tak terkendali dan menabrak sana-sini. Tersebut dalam kitab Bada-I’ Ash-Shona’i’,
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: نَحَرْتُ بَدَنَةً قَائِمَةً مَعْقُولَةً فَلَمْ أَشُقَّ عَلَيْهَا فَكِدْتُ أُهْلِكُ نَاسًا لِأَنَّهَا نَفَرَتْ فَاعْتَقَدْتُ أَنْ لَا أَنْحَرَهَا إلَّا بَارِكَةً مَعْقُولَةً وَأُوَلِّيَ مَنْ هُوَ أَقْدَرُ عَلَى ذَلِكَ مِنِّي
Artinya,
“Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwasanya ia berkata, “Aku menyembelih unta dalam keadaan berdiri dan terikat. Ternyata aku tidak sanggup merobek (lehernya). Akibatnya, hampir-hampir aku membinasakan banyak orang karena unta tersebut lari. Aku jadi yakin mestinya aku tidak menyembelihnya kecuali dalam keadaan menderum dan terikat, dan aku wakilkan kepada orang yang lebih mampu dalam hal itu daripada aku” (Bada’i’u Ash-Shona-i’ Fi Tartibi Asy-Syaro-i’ juz 5 hlm 76)