Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Saya bawakan kisah ketegangan antara An-Nawawi dengan Al-Firkah dalam tulisan ini untuk menunjukkan sisi-sisi manusiawi seorang ulama. Agar kita semua tahu bahwa ulama bukan malaikat dan bukan nabi. Juga agar kita tahu bahwa hampir tidak ada hamba Allah di kolong langit ini yang bisa selamat dari ujian kebencian manusia. Juga agar kita tahu bagaimana menyikapi secara bijak jika terjadi perselisihan di antara sesama ulama sezaman.
Secara spesifik, cara penyikapan terhadap perselisihan ulama telah saya tulis dalam artikel khusus yang berjudul Perselisihan Para Ulama, Bagaimana Menyikapinya? di website IRTAQI. Silakan dibaca di sana untuk mendalami topik ini.
Bagaimana kisah ketegangan An-Nawawi dengan Al-Firkah itu? Begini cerita singkatnya.
Di zaman An-Nawawi, hiduplah seorang penguasa yang bernama Baybars. Beliau adalah sultan dan raja Daulah Mamalik. Setelah kekuasaan Khilafah Abbasiyyah runtuh, area kekuasaan Baybars sampai ke daerah yang ditinggali An-Nawawi, yakni Damaskus. Waktu itu, jihad-jihad yang dipimpin Baybars berhasil memperoleh kemenangan beruntun sehingga membuat kaum muslimin mendapatkan harta rampasan dan budak-budak wanita yang banyak. Kita tahu dalam hukum Islam, budak wanita boleh disetubuhi seperti istri asalkan sudah sah dimiliki.
Kebiasaan yang berlaku sejak zaman Nabi, shahabat, tabiin, dan tabiut tabiin selama berabad-abad adalah, para budak wanita itu baru sah dimiliki setelah ada takhmis (harta rampasan dibagi lima). Sebelum ada takhmis, maka budak masih belum sah dimiliki sehingga mestinya tidak boleh digauli.
Malangnya, di zaman An-Nawawi itu kebanyakan orang sudah menggauli budaknya sebelum di-takhmis. Akhirnya, kebiasaan ini menjadi isu besar dan ditanyakan kepada Al-Firkah.
Waktu itu Al-Firkah adalah salah satu ulama besar mazhab Asy-Syafi’i yang menjadi mufti Asy-Syam. Ketika pertanyaan itu diajukan kepada beliau, maka beliau berfatwa bahwa perbuatan tersebut mubah. Secara khusus Al-Firkah membuat makalah untuk membuktikan argumentasi dari fatwanya tersebut. Judul makalah beliau adalah Ar-Rukhshotu Al-Amimah fi Ahkami Al-Ghonimah.
Fatwa berani Al-Firkah itu disambut An-Nawawi dengan reaksi yang sangat keras. Beliau mengkritik dengan kata-kata yang pedas, tajam dan gaya menghantam. Sebenarnya gaya pedas dan menghantam bukan gaya An-Nawawi. Orang yang mengkaji kitab-kitab beliau mesti akan tahu betapa lembut dan sejuknya beliau ketika membahas persoalan hukum. Hanya saja, pada kasus ini beliau mengkritik dengan gaya pedas dan beliau yang tahu alasan khusus tentang keputusan tersebut. An-Nawawi bahkan mengarang kitab khusus untuk membongkar fatwa Al-Firkah yang dianggap beliau merobek ijmak itu. Kitab karya An-Nawawi tentang topik ini berjudul Mas-alatu Wujubi Takhmisi Al-Ghonimah wa Qismati Baqiha.
Akibat kritikan pedas ini, maka hubungan keduanya menjadi tegang. Al-Firkah menjadi sensitif dengan An-Nawawi, bahkan beberapa orang menyaksikan bagaimana kata-kata yang tidak enak didengar diucapkan Al-Firkah terkait An-Nawawi dan karya-karyanya.
An-Nawawi sendiri tidak mempedulikan akibat-akibat kritikan tajam beliau, karena sejak awal beliau memang meyakini bahwa apa yang beliau lakukan itu adalah semata-mata karena Allah.
Demikianlah kisah singkat konflik antara An-Nawawi dengan Al-Firkah.
رحم الله النووي والفركاح رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
***
SUMBER
Dikutip dan disadur dari buku saya; AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bab Konflik An-Nawawi dengan Al-Firkah.
Resensi lengkap buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bisa dibaca di tautan ini.