Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Apa pendapat Anda jika bertemu dengan orang awam yang setiap diberi penjelasan hukum atau akidah kemudian selalu bertanya,
“Apa dalilnya?”
Mungkin tiap pengajar dan dai akan berbeda-beda sikapnya, tapi begini.
Mengajari awam untuk selalu menagih dalil terkait ajaran agama sebenarnya bagus. Hanya saja, jika ajaran itu tidak disampaikan secara proporsional, hal itu malah bisa menjadi fitnah bagi orang awam, membuatnya hilang adab terhadap ulama, suuzon terhadap pemberi fatwa, bahkan lebih parah dari itu, yang demikian itu bisa menyebarkan berita dusta yang mengakibatkan perpecahan dan permusuhan.
Mengapa demikian?
Sebab dalil apapun dalam agama Islam sudah tentu berbahasa Arab. Sekedar memahami makna dalil saja orang sudah butuh pengetahuan bahasa Arab yang cukup. Padahal faktanya, mayoritas awam itu tidak mengerti bahasa Arab, lalu bagaimana dia bisa tahu bahwa dalil X adalah untuk hukum Y atau akidah Z misalnya?
Ini baru sampai tahapan memahami arti dalil.
Lebih sulit dari memahami arti dalil adalah memahami wajhul istidlal, yakni nalar ijtihad yang membuat sebuah dalil bisa dipahami dan menunjukkan kesimpulan hukum tertentu atau akidah tertentu. Di level ini, kemampuan yang dibutuhkan sudah kompleks. Ia butuh pengetahuan semua dalil yang terkait, pengetahuan balaghah, pengetahuan ushul fikih, pengetahuan ilmu hadis, mushtholah hadis, ulumul qur’an, pengetahuan ikhtilaf ulama dan lain-lain. Sudah jelas para awam tidak akan mampu dibawa “berkelana” sampai sejauh itu.
Jadi, seruan kembali ke Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah haqq dan mulia, hanya saja saat mengajar para awam, mereka juga harus diajari untuk sadar kapasitas diri sehingga bisa menempatkan posisi secara pantas ketika penasaran dengan dalil sebuah hukum atau akidah. Dalam batas tertentu, para awam ini jelas hanya akan bertaklid kepada mujtahid yang dipercayainya, atau menerima informasi ustaz yang menjelaskan fatwa ulama kepadanya, tanpa harus masuk terlalu dalam ke penjelasan dan pelik-pelik wajhul istidlal. Jika para awam ini mengetahui ada ulama yang berpendapat berbeda, dia boleh berpegang kepada fatwa yang dia yakini seraya tetap menghormati pendapat yang berbeda itu tanpa perlu mengingkarinya, apalagi sampai menuduhnya menentang Al-Qur’an, menentang As-Sunnah lalu memvonisnya sebagai ahlul bid’ah.
Prinsip ini harus diperhatikan betul, jika tidak maka akan timbul fitnah seperti yang pernah terjadi di zaman Qodhi Syuraih.
Seorang lelaki datang kepada Qodhi Syuraih dan melaporkan bahwa istrinya meninggal sementara mereka tidak punya anak. Dia bertanya tentang bagian warisannya. Menurut Al-Qur’an, warisan suami adalah ½ ketika istri tidak punya anak. Itulah yang diberitahukan Qodhi Syuraih. Allah berfirman,
Artinya,
“kalian berhak setengah dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian jika mereka tidak punya anak” (An-Nisa’;12)
Setelah itu Qodhi Syuraih bertanya, ahli waris yang ditinggalkan siapa saja?
Lelaki itu menjawab, ahli waris istrinya selain dirinya adalah ibu, dua saudari seayah dan dua saudari seibu.
Mendengar penjelasan lelaki itu Qodhi Syuraih berkata,
“Kalau begitu, jatah warisanmu adalah 3/10”
Begitu mendengar fatwa ini, marahlah lelaki itu dan segera saja menyebarkan opini,
“Allah memberi hak saya ½ dalam Al-Qur’an, tapi hakim kalian malah memberi saya cuma 3/10. Saya tidak dikasih ½ dan bahkan 1/3 saja tidak. Bukankah dia hakim zalim?!.”
Ibnu Qudamah menceritakan kisah ini dalam Al-Mughni sebagai berikut,
Artinya,
“Seorang lelaki datang kepada Syuraih kemudian berkata, ‘Sesungguhnya istriku meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak. Berapa bagian warisanku darinya?’ Syuraih menjawab, ‘Kamu mendapatkan setengah. Siapa saja ahli waris yang ditinggalkannya?’ Dia menjawab, ‘Istriku meninggalkan ibunya, dua saudarinya yang seayah, dua saudarinya yang seibu dan saya.’ Syuraih berkata, ‘Kamu mendapatkan 3/10.’
Lelaki itu keluar seraya berkata, ‘Tidakkah kalian heran dengan hakim kalian? Dia mengatakan bahwa aku punya hak setengah. Demi Allah, dia tidak memberiku setengah dan tidak pula sepertiga!’
Syuraih berkata kepadanya, ‘Perhatikan. Sesungguhnya kamu menilaiku sebagai hakim yang zalim, sementara aku menilai sebagai lelaki yang jahat. Kamu menyembunyikan ceritanya dan kau sebarkan kata-kata busuk.” (Al-Mughni, juz 6, hlm 288)
Perhatikanlah, betapa besarnya fitnah dalil bagi orang awam.
Lelaki tersebut tidak salah ketika mengatakan bahwa hak suami adalah ½ berdasarkan Al-Qur’an. Hanya saja, dalam kasus ada ahli waris yang lain, maka hitungannya bisa berbeda.
Berdasarkan dalil pula, kasus lelaki di atas perhitungannya begini,
Jatah ibu 1/6
Jatah dua saudari seayah 2/3
Jatah dua saudari seibu 1/3
Jatah suami 1/2
Ini kasus aul, yang penyebutnya naik sampai 10. Sehingga perhitungan finalnya adalah,
Jatah ibu 1/10
Jatah dua saudari seayah 4/10
Jatah dua saudari seibu 2/10
Jatah suami 3/10
Nah, para awam bagaimana mungkin semuanya sanggup diajak memikirkan nalar istidlal yang rumit seperti ini?
Oleh karena itu, mengajarkan awam untuk menagih dalil itu bagus untuk memelihara tradisi kritis di tengah-tengah umat. Hanya saja ajaran ini harus bijaksana. Sebaiknya banyak ditekankan hanya pada persoalan-persoalan qoth’i dalam agama. Adapun dalam persoalan zhonni dan ijtihadi, yang harus diajarkan dan ditekankan adalah prinsip otoritas ilmu. Maksudnya, selama sebuah penjelasan hukum dinyatakan oleh ulama yang otoritatif, maka harus dikembangkan sikap toleransi dan menghargai tanpa perlu berusaha mengingkarinya, apalagi memeranginya.
Dalam kasus-kasus zhonni dan ikhtilaf, pertanyaan yang tepat diajukan oleh para awam bukan, “Apa dalilnya?” (meskipun boleh saja untuk sekedar menenangkan) tetapi, “Siapa ulama otoritatif yang berpendapat/berfatwa seperti itu?”
Adapun jika yang bertanya dalil adalah level ulama, tokoh yang dijadikan panutan, atau penuntut ilmu yang memang memerlukan penjelasan hujah untuk mentarjih atau minimal mencondongi ijthad tertentu, maka yang seperti ini insya Allah tidak akan menjadi fitnah, tetapi justru cerminan ketakwaan sebagaimana pernah saya tulis dalam artikel berjudul “Apakah Tercela Bertanya Dalil Hukum?”