PERTANYAAN
“Ustadz, kalo wanita telah ditalak 3 oleh suaminya, apakah dia tetap ada di rumah suaminya selama masa idahnya??? (Mira Savitri)
JAWABAN
Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Betul. Wanita yang telah ditalak suaminya dengan talak tiga, berarti telah terkena talak bain kubro yang bermakna terpisah sempurna, sehingga tidak bisa rujuk kembali, bahkan tidak bisa melangsungkan akad nikah baru kecuali wanita itu menikah lagi dengan lelaki lain kemudian ditalak.
Hanya saja dari sisi tempat tinggal, wanita yang telah ditalak dengan talak tiga, dia masih berhak tempat tinggal. Kediaman untuk istri yang ditalak tiga itu wajib disediakan suaminya, tanpa membedakan apakah istri yang ditalak tiga itu dalam kondisi hamil ataukah tidak hamil. Hukum yang sama (yakni berhak tempat tinggal) juga berlaku bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya. Allah berfirman,
{أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ } [الطلاق: 6]
Artinya,
Berilah mereka (istri-istri yang kalian talak itu) tempat tinggal di tempat kalian tinggal (wahai para suami) sesuai kemampuan kalian” (Ath-Thalaq; 6)
Terkait fatwa ini , An-Nawawi berkata,
الْمُعْتَدَّةُ عَنْ طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ أَوْ بَائِنٍ بِخُلْعٍ، أَوْ بِاسْتِيفَاءِ الطَّلَقَاتِ، تَسْتَحِقُّ السُّكْنَى حَامِلًا كَانَتْ أَوْ حَائِلًا، وَكَذَا الْمُعْتَدَّةُ عَنْ وَفَاةٍ عَلَى الْأَظْهَرِ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (8/ 408)
Artinya,
“Wanita yang menjalani masa idah karena talak raj’i atau talak ba-in yang disebabkan karena khulu’ atau talak telah mencapai kuota 3, maka dia berhak untuk mendapatkan tempat tinggal baik dia hamil ataupun tidak hamil. Demikian pula wanita yang menjalani masa idah karena suami yang wafat berdasarkan pendapat yang terkuat” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 8 hlm 408)
Hak untuk mendapatkan tempat tinggal bagi wanita yang ditalak tiga ini bukan hanya sekedar hak, tetapi juga sekaligus kewajiban. Artinya, wanita yang ditalak tiga wajib menjalani masa idah di tempat tinggal yang disediakan mantan suaminya itu. Jika dia keluar rumah tanpa uzur, maka dia berdosa. Mantan suaminya berhak mencegahnya keluar, demikian pula ahli waris suaminya jika sang suami wafat. An-Nawawi berkata,
يَجِبُ عَلَى الْمُعْتَدَّةِ مُلَازَمَةُ مَسْكَنِ الْعِدَّةِ، فَلَا تَخْرُجُ إِلَّا لِضَرُورَةٍ أَوْ عُذْرٍ، فَإِنْ خَرَجَتْ، أَثِمَتْ، وَلِلزَّوْجِ مَنْعُهَا، وَكَذَا لِوَارِثِهِ عِنْدَ مَوْتِهِ، (روضة الطالبين وعمدة المفتين (8/ 415)
Artinya,
“Wanita yang menjalani masa iddah wajib tetap tinggal di rumah tempat idah dan dia tidak boleh keluar kecuali karena kebutuhan mendesak atau karena uzur. Jika dia keluar, maka dia berdosa dan suaminya berhak untuk mencegahnya. Demikian pula ahli warisnya (berhak mencegahnya) pada saat dia mati” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 8 hlm 415)
Suami tidak berhak mengusir istrinya yang telah ditalak itu dan keluarga suami juga tidak berhak mengusirnya. An-Nawawi berkata,
مَنِ اسْتَحَقَّتِ السُّكْنَى مِنَ الْمُعْتَدَّاتِ، تَسْكُنُ فِي الْمَسْكَنِ الَّذِي كَانَتْ فِيهِ عِنْدَ الْفِرَاقِ، إِلَّا أَنْ يَمْنَعَ مِنْهُ مَانِعٌ، كَمَا سَيَأْتِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى، فَلَيْسَ لِلزَّوْجِ وَلَا لِأَهْلِهِ إِخْرَاجُهَا مِنْهُ، وَلَا يَجُوزُ لَهَا الْخُرُوجُ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (8/ 410)
Artinya,
“Wanita-wanita yang menjalani masa idah dan berhak mendapatkan tempat tinggal maka dia tinggal di tempat kejadian perkara perpisahan itu kecuali ada sesuatu yang mencegahnya sebagaimana yang akan dijelaskan nanti insya Allah ta’ala. Suami dan keluarganya tidak berhak mengusirnya dari tempat itu dan tidak boleh juga baginya untuk keluar” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 8 hlm 410)
Jika pasangan suami istri bersepakat untuk pindah ke tempat lain tanpa ada hajat mendesak, maka itu tidak diperbolehkan dan penguasa wajib mencegahnya. An-Nawawi berkata,
فَلَوِ اتَّفَقَ الزَّوْجَانِ عَلَى أَنْ تَنْتَقِلَ إِلَى مَسْكَنٍ آخَرَ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ، لَمْ يَجُزْ، وَكَانَ عَلَى الْحَاكِمِ الْمَنْعُ مِنْهُ.( روضة الطالبين وعمدة المفتين (8/ 410)
Artinya,
“Jika pasangan suami istri bersepakat untuk agar wanita yang menjalani masa iddah itu pindah ke tempat tinggal baru tanpa ada keperluan, maka itu tidak boleh dan penguasa wajib untuk mencegahnya” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 8 hlm 410)
Wallahua’lam