Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
“Bukti adalah tanggungan penggugat, sumpah adalah tanggungan orang yang mengingkari.”
Ini adalah hadis Nabi ﷺ yang agung sekaligus menjadi kaidah sangat penting untuk menyelesaikan kasus perselisihan di antara dua pihak.
Ilmu terkait topik ini wajib diketahui para hakim, para pemimpin, para ayah dan para hakam (jika sewaktu-waktu diminta sebagai hakam oleh orang-orang yang membutuhkan tahkim)
Makna kaidah ini begini,
Jika ada orang yang mengklaim sesuatu, tapi klaimnya tidak diterima oleh lawannya, maka pertama-tama orang yang mengklaim itu harus menunjukkan bayyinah/bukti. Jika dia tidak punya bukti, atau punya bukti tapi lemah karena tidak cukup, maka lawannya diminta bersumpah. Jika lawannya mau bersumpah, maka klaim lawan dikukuhkan. Jika lawannya tidak berani bersumpah, maka klaim penggugat yang dimenangkan.
Contoh praktisnya begini.
Tono berselisih dengan Dodo terkait urusan tanah. Dodo mengaku dialah pemiliknya karena selama ini dialah yang menanami tanah itu dengan singkong. Tono menggugat. Menurutnya tanah itu adalah miliknya. Sebab orang tua Dodo dulu hanya minta izin kepada orang tua Tono untuk memanfaatkan tanah itu, bukan meminta dengan akad hibah. Jadi status tanah itu adalah tetap milik Tono, karena Tono adalah pewaris tunggal orang tanya. Dodo membantah keras klaim Tono.
Berdasarkan kasus ini bisa dipahami,
Tono adalah penggugat. Dalam fikih Islam penggugat disebut mudda’i (المدعي)
Dodo adalah tergugat. Dalam fikih Islam disebut mudda’a ‘alaih (المدعى عليه) atau man ankara (من أنكر).
Nah, dalam kasus ini praktek kaidah yang kita bahas adalah sebagai berikut.
Tono, sebagai penggugat dia diminta untuk menghadirkan bayyinah (البينة) alias bukti. Artinya, dia harus bisa menunjukkan bukti apa yang bisa menguatkan status kepemilikan dia terhadap tanah itu. Bukti itu bisa berupa saksi adil, sertifikat tanah atau bukti-bukti yang lainnya.
Jika Tono tidak sanggup menghadirkan bukti, atau bukti dipandang lemah oleh hakim, maka “bola” akan dilempar kepada Dodo.
Dodo diminta bersumpah untuk menguatkan status kepemilikan dia terhadap tanah itu.
Jika Dodo berani bersumpah, maka tanah itu diputuskan dimiliki Dodo.
Jika Dodo tidak berani bersumpah, maka tanah itu diputuskan dimiliki oleh Tono.
Begitulah contoh praktis penerapan kaidah ini.
Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Bayyinah/bukti adalah tanggungan penggugat dan sumpah adalah tanggungan orang yang mengingkari.” (H.R. Al-Baihaqi)
Kejadian perselisihan mirip kasus Tono-Dodo di atas pernah terjadi di zaman Nabi ﷺ dan diselesaikan Rasulullah ﷺ dengan cara seperti itu. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Alqamah bin Wail dari bapaknya dia berkata: “Seorang laki-laki dari Hadlramaut dan seorang laki-laki dari Kindah mendatangi Nabi ﷺ , lalu orang Hadlramaut itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang ini telah merebut tanah milikku yang dahulu menjadi milik bapakku.’ Maka orang Kindi pun berkata: ‘Itu adalah tanahku yang berada dalam genggamanku, dan aku telah menanaminya, maka dia tidak memiliki hak atasnya.” Rasulullah ﷺ kemudian bertanya kepada orang Hadlrami tersebut: ‘Apakah kamu memiliki bukti? ‘ Dia menjawab, ‘Tidak’. Beliau bersabda: ‘Kamu bisa mendapatkan sumpahnya.’ Lelaki dari Hadlramaut itu pun berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang laki-laki yang tak bertakwa, yang tidak mempedulikan atas sesuatu yang dia sumpahi, dia tidak akan takut terhadap sesuatu pun.’ Maka Beliau bersabda: ‘Kamu tidak mendapatkan darinya kecuali sumpahnya itu.’ Akhirnya laki-laki dari Kindi bersumpah. Ketika dia pulang Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ketahuilah, jika dia bersumpah untuk menguasai hartanya dengan zhalim, maka ia akan bertemu Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya’.” (H.R.Muslim)
Masalah perselisihan yang diselesaikan dengan kaidah di atas bisa diterapkan pada semua kasus perselisihan, termasuk dalam perselisihan rumah tangga misalnya.
Jika seorang suami bilang,
“Dua pekan yang lalu kamu minta khulu’ dan lepas dari ikatan suami istri kepada saya. Kemarin saya masih berusaha merenung dan mempertimbangkan dengan bijak. Sekarang sudah bulat keputusan saya mengabulkan permintaan khulu’-mu. Jadi mulai hari ini kamu lepas dariku dengan syarat kau kembalikan semua mahar yang pernah kuberikan kepadamu dan engkaupun sudah mengiyakan hal ini.”
Kemudian istri merespons,
“Lho? Siapa bilang saya minta khulu’? Saya kan hanya mengandaikan? Waktu itu saya bilang, “Kalau seandainya saya minta khulu’ apakah itu lebih baik ya”? Itu yang saya ucapkan. Saya tidak pernah minta khulu’!”
Nah dalam kasus ini berarti ada perselisihan antara suami-istri.
Suami mengklaim sesuatu, tapi istri mengingkari.
Suami menjadi “penggugat” (mudda’i), istri menjadi “tergugat” (mudda’a ‘alaih)
Pemecahannya,
Suami diminta mengajukan bukti. Bisa saksi atau pernyataan tertulis atau bukti yang lain. Jika tidak ada bukti, maka istri sebagai pengingkar diminta bersumpah atas nama Allah.
Jika istri tidak berani bersumpah, berarti jatuh khulu’nya. Saat itu juga mereka berpisah, wanita wajib menjalani masa idah, wanita wajib mengembalikan mahar, dan tidak berhak nafkah selama masa idah, tetapi berhak tempat tinggal.
Tapi, jika istri berani bersumpah, maka khulu’ tidak sah, dan ucapan suami hukumnya jatuh menjadi talak raj’i. Wanita wajib menjalani masa idah, masih berhak nafkah dan tempat tinggal, serta masih bisa dirujuk.
Wallahua’lam.