Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Salah satu sumber kekacauan di dunia dakwah dan kebingungan di kalangan muslim awam adalah penggunaan istilah yang tidak tertib.
Yang zhanni diperlakukan seperti qath’i.
Yang qath’i diperlakukan seperti zhanni.
Ijtihad disebut ajaran Islam
Ajaran Islam disebut pikiran relatif.
Mestinya,
Semua produk ijtihad atau pemikiran tokoh tidak boleh disebut ajaran Islam.
Sebaliknya, yang sudah qath’i dalam agama ya ndak usah dikorek-korek lagi.
Ajaran Islam itu ya yang qath’i saja.
Dinamakan hukum Allah itu ya hanya yang qath’i saja.
Dinamakan agama Allah ya hanya yang qath’i saja.
Semua ajaran yang sifatnya zhonni, ijtihadi, ikhtilafi tidak boleh disebut ajaran Islam, hukum Allah dan agama Allah.
Kita menyebutnya qoul, ro’yun, wajhun, ijtihad, mazhab, atau pendapat mujtahid saja. Nyebut hukum syara’ pun untuk ajaran jenis ini, sebaiknya jangan.
Tapi awas!
Jangan salah faham.
Jangan membayangkan pendapat mujtahid itu sebagai pendapat “ngasal”, suka-suka, produk akal dan menuruti hawa nafsu.
Qoul mujtahid adalah pendapat yang berbasis metode yang ketat untuk melahirkannya, baik terkait nalar pikir maupun kredibilitas moral pencetusnya.
Makanya ada syarat ketat terkail keilmuan mujtahid dan moralnya.
Jadi, ijtihad tidak disebut hukum Allah, juga tidak disebut hukum buatan akal manusia, tetapi disebut hukum yang DIDUGA sebagai hukum Allah oleh pencetusnya.
Kenapa ada ajaran yang qoth’i dan ada yang zhonni?
Di antara hikmahnya,
Dengan ajaran qoth’i, identitas Islam tetap terjaga, di manapun Islam dipeluk.
Dengan ajaran zhonni, orang jadi teruji betul ketakwaannya.
Setelah dia melaksanakan semua yang qoth’i, dia akan terlihat sejauh mana berhati-hati untuk tidak membuat Allah marah saat menentukan pilihan ijtihadnya.
Siapa yang mendakwahkan soal-soal zhonni sebagai ajaran Islam, hukum Allah atau agama Allah,
Atau sebaliknya, mendakwahkan hal-hal qoth’i sebagai perkara relatif.
Cepat atau lambat dia akan membuat fitnah bagi muslim awam, para mualaf dan orang-orang yang baru “hijrah”.
Bisa jadi dalam jangka panjang orang-orang seperti itu bisa “memurtad”kan orang-orang awam.
Di saat itu, dia membuat kerusakan terhadap dinullah, sementara dia merasa sebagai kaum yang membuat perbaikan.
{ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ } [البقرة: 11]
Wallahua’lam.