Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kata innama (إنما) sebenarnya berasal dari dua kata, yakni inna (إن) dan ma (ما). Makna inna dalam kata ini adalah ta’kid (penegas) yakni bermakna “sesungguhnya” sementara makna ma adalah nafiyah yakni bermakna “tidak”.
Makna detailnya,
Innama itu MENEGASKAN kandungan makna pada kalimat sesudahnya sekaligus MENAFIKAN/ MENEGASIKAN selainnya. Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
وهو إثبات الحكم لما بعدها ونفيه عمَّا عداه؛.( الفتح المبين بشرح الأربعين (ص: 121)
Artinya,
“Ia (innama) adalah untuk menegaskan pengertian (kalimat) sesudahnya dan menafikan selainnya” (Al-Fathu Al-Mubin, hlm 121)
Contoh, Allah berfirman,
{إِنَّمَا إِلَهُكُمُ اللَّهُ } [طه: 98]
Dalam ayat di atas kalimat sesudah innama adalah ilahukumullah yang bermakna “Tuhan kalian (adalah) Allah.
Kalimat itu diberi lafal innama di depannya.
Maknanya, makna kalimat tersebut hendak ditegaskan sekaligus hendak dinafikan selainnya.
Dengan demikian terjemahan detail kalimat di atas adalah,
“SESUNGGUHNYA Tuhan kalian adalah Allah (dan TIDAK ADA Tuhan untuk kalian selain Dia)
Inilah makna detail innama dan makna asalnya dimanapun kita menemukannya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Makna seperti ini mengandung makna pembatasan sehingga oleh para ulama kata innama disebut juga sebagi adatul hashr (أداة الحصر), yakni alat untuk membatasi makna.
Dengan konsep ini, terjemahan yang berbunyi,
“SESUNGGUHNYA Tuhan kalian adalah Allah (dan TIDAK ADA Tuhan untuk kalian selain Dia)
Boleh juga diterjemahkan menjadi,
“Tuhan kalian HANYALAH Allah (saja dan tidak ada Tuhan untuk kalian selain Dia)
Hanya saja, patut dicatat. Kadang-kadang lafal innama juga dipakai secara majasi dan dikeluarkan dari makna hakikinya. Jika lafal innama dipakai secara majasi, maka fungsinya adalah untuk taqwiyatul hukmi (memperkuat makna), seakan-akan makna yang diungkapkan itu hanya dibatasi pada makna tersebut. Contoh, Allah berfirman,
{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ} [الأنفال: 2]
Dalam ayat di atas, kata innama tidak bermakna hakiki tapi bermakna majasi. Sebab jika kita maknai secara hakiki, kesimpulannya menjadi rusak.
Terjemahan ayat di atas jika innama kita maknai hakiki adalah,
“SESUNGGUHNYA orang-orang mukmin itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah maka akan bergetar hati mereka (dan TIDAK ADA mukmin yang tidak bergetar hatinya jika disebut nama Allah)
Tentu saja bukan makna seperti ini yang dimaksud dengan ayat, sebab jika maknanya demikian berarti semua orang yang mengaku beriman tapi hatinya tidak bergetar saat disebut nama Allah berarti dia dihitung bukan mukmin atau kafir.
Yang benar, lafal innama dalam ayat di atas bermakna majasi, maksudnya sifat orang beriman yang menonjol dan terpenting itu adalah bergetar hatinya saat disebut nama Allah. Demikian pentingnya sifat ini seakan-akan orang beriman itu sifatnya dibatasi hanya di sini, meskipun sebenarnya maksud dari ayat ini adalah untuk menunjukkan sifat orang beriman yang sempurna.
Penggunaan lafal innama untuk hashr secara majasi seperti ini disebut para ulama dengan istilah hashr idhafi (الحصر الإضافي).
Contoh hashr idhafi lain dalam dalil,
إِنَمَا اَللَّهُ إِلَهٌ وَحِدٌ
إنما الربا في النسيئة
إِنَّمَاَ أَنتَ مُنذِرٌ
إنما أنا بشر مثلكم، وإنكم تختصمون إليَّ
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
Wallahua’lam