Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Saat masih remaja, tepatnya menjelang masuk sekolah SMA/SMU saya pernah melakukan pendakian gunung bersama sejumlah teman. Gunung yang saya daki adalah gunung di kota saya sendiri, yakni gunung Panderman. Di kota saya, yakni Batu-Malang-Jawa Timur, gunung Panderman termasuk salah satu gunung yang dikenal sebagai tempat tujuan orang-orang yang gemar mandaki. Kebetulan rumah keluarga kami berada di kaki gunung Panderman itu.
Hanya saja, meskipun saya asli Batu dan hidup di kaki gunung Panderman, seumur hidup baru sekali itu saja mencoba mendaki sampai ke puncaknya. Lucunya (atau mungkin ironisnya), pengalaman mendaki gunung itu menjadi pengalaman pertama sekaligus terakhir sampai hari ini karena saya sudah kapok dan bertekad tidak akan pernah lagi mencoba ke sana.
Apa pasal?
Intinya perjalanan menuju kesana itu sungguh melelahkan, menyengsarakan dan sungguh menyiksa. Sesampai di puncakpun saya merasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali hawa dingin luar biasa yang seakan menggigit tulang dan memecah pembuluh darah.
Saya berangkat mendaki bersama teman-teman remaja Masjid Daruṣ Ṣalihīn, Batu. Perbekalan yang kami bawa hanyalah baju hangat, tongkat, segelas air aqua dan beberapa permen. Niat kami memang tidak menginap. Mungkin hanya melihat-lihat sebentar di puncak dan setelah itu kami merencanakan langsung pulang.
Sekitar jam 19.30 kami berangkat. Benar, kami berangkat setelah Isya. Kami memperkirakan, lama pendakian sampai ke puncak paling-paling hanya 2 jam saja. Jadi, sekitar tengah malam kami memperkirakan sudah balik ke rumah.
Ternyata perkiraan itu salah.
Begitu kami berada di lokasi awal pendakian, terlihatlah medan pendakian yang lumayan menakutkan. Jalannya sungguh curam. Saya memperkirakan kemiringannya 50-70 derajat. Jalannya juga gelap. Tentu saja karena mana mungkin PLN memasang lampu sepanjang rute pendakian di gunung. Jadi, penerangan waktu itu mengandalkan teman yang membawa senter. Konyolnya, tidak ada satupun dari kami yang membawa senter. Untung beberapa orang yang kebetulan ikut mendaki menolong kami dengan memberi sinar sesekali. Kadang nyala dan kadang padam. Yang menyinari kami kadang dari depan (dengan berbalik dulu) kadang dari belakang.
Sesekali kami harus bergelayutan pada akar-akar pohon sambil berjalan untuk menjaga agar tidak terpeleset. Kami tahu, terpeleset sedikit saja bisa sangat fatal akibatnya, karena bisa jatuh ke area seperti jurang dalam yang kita tidak tahu bagaimana nasib akhirnya. Suasana sungguh mencekam sekali saat itu.
Ternyata perjalanan itu lama sekali. Bukan dua jam seperti yang kami perkirakan tetapi sekitar 6 jam!
Bisa dibayangkan betapa capek, ngos-ngosan, dan tersengal-sengalnya kami waktu itu. Kaki saya rasakan seperti terbakar. Tangan dan wajah juga demikian. Penderitaan ini masih ditambah dengan hawa yang luar biasa dingin di puncak gunung. Saya tidak tahu persis berapa suhu puncak gunung itu. Yang jelas, meskipun saya memakai jaket yang sangat tebal, hawa dingin seakan masih tembus juga. Saya tidak kuat berlama-lama mengeluarkan telapak tangan dari saku jaket. Sebab, kombinasi antara panasnya suhu tubuh akibat perjalanan melelahkan selama 6 jam dengan udara puncak gunung yang demikian dingin itu membuat seakan-akan pembuluh darah saya pecah, urat-urat kaku, dan otot seperti tidak bergerak. Akhirnya di puncak gunung itu juga saya “bertekad seumur hidup” tidak mau lagi naik ke puncak gunung.
Kemudian, saat sudah dewasa menjelang tua seperti sekarang ini, ketika Allah memberi nikmat ilmu tentang mencekamnya hari pengadilan di akhirat, tiba-tiba saya teringat masa remaja saat mendaki gunung itu.
Suasana yang digambarkan dalam hadis membuat saya teringat peristiwa pendakian itu.
BAGAIMANA SUASANA “ALAM” DI HARI KEBANGKITAN?
Setelah manusia diadili Allah, dihisab, dan ditimbang seluruh amalnya, maka mereka akan diperintahkan untuk melewati sebuah jembatan yang terbentang di antara surga dan neraka.
Alam sekeliling waktu itu jangan dibayangkan terang benderang sehingga orang berjalan dengan arah yang jelas dan mudah. Tidak. Bukan seperti itu penjelasan dalil. Alam yang dilihat manusia waktu itu adalah suasana yang gelap. Sungguh gelap. Ia amat gelap gulita, seperti dalam perut ikan paus yang terletak di dalam lautan yang paling dasar di malam hari. Tidak ada lampu dan tidak ada cahaya. Tidak ada seberkas sinarpun yang bisa memandu orang untuk berjalan menuju arah yang benar. Itulah yang disebutkan dalam hadis Nabi ﷺ . Rasulullah ﷺ bersabda,
«هُمْ فِي الظُّلْمَةِ دُونَ الْجِسْرِ» صحيح مسلم (1/ 252)
Artinya,
“Mereka berada dalam kegelapan sebelum meniti jembatan” (H.R.Muslim)
Anda sekarang bisa membayangkan bagaimana menakutkannya melewati jembatan yang amat kecil dan tajam dalam keadaan tidak ada sinar sama sekali. Bayangkan resiko besarnya melangkah ke arah yang salah. Begitu orang keliru dalam melangkah, maka dia bisa terpeleset. Jika masih beruntung, mungkin masih bisa melanjutkan perjalanan menuju surga. Tetapi jika sial, maka nasibnya langsung terjun ke neraka yang kedalamannya orang harus melayang-layang dulu selama 70 tahun, baru sampai ke dasarnya.
Perjalanan melewati jembatan itupun ditempuh bukan sejam-dua jam, tapi bertahun-tahun!
Tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadis sahih marfu’ yang menjelaskan berapa lama perjalanan melintasi jembatan ini. Hanya saja, ada atsar dari Al-Hasan yang menyebut lama perjalanan ini adalah 3000 tahun!
1000 tahun pertama jalannya menurun.
1000 tahun kedua jalannya mendatar.
1000 tahun berikutnya jalannya menaik.
Ibnu Abi Al-Dunyā meriwayatkan,
قَالَ الْحَسَنُ: أَحْزَانُ أَهْلِ الدُّنْيَا يَقْطَعُهَا الْمَوْتُ لَكِنَّ أَحْزَانَ الْآخِرَةِ، وَحَقٌّ لِلْمُؤْمِنِ أَنُ يَحْزَنَ وَجَهَنَّمُ أَمَامَهُ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ آلَافِ سَنَةٍ , أَلْفُ سَنَةٍ فِي هُبُوطٍ وَأَلْفُ سَنَةٍ عَلَى مَتْنِهَا وَأَلْفُ سَنَةٍ فِي الصُّعُودِ ” الهم والحزن لابن أبي الدنيا (ص: 65)
Artinya,
“Al-Hasan berkata, ‘Kesedihan penghuni dunia dihentikan oleh kematian. Tetapi, kesedihan akhirat itulah yang semestinya disedihkan seorang mukmin. Neraka Jahanam itu di depannya ada perjalanan 3000 tahun. 1000 tahun menurun. 1000 tahun berjalan lurus dan 1000 tahun berjalan naik” (Al-Hammu wa Al-Ḥazan, hlm 65)
Riwayat seperti ini juga dikutip oleh Ibnu Kaṡīr dalam kitab Al-Nuhāyah fī Al-Fitan wa Al-Malāḥim.
Riwayat mu‘ḍal dari Al-Fuḍail bin ‘Īyāḍ sebagaimana dikutip Ibnu Ḥajar Al- ‘Asqalānī dalam Fatḥu Al-Bārī malah menyebut lama perjalanannya 15.000 tahun!
Kita tidak tahu persis berapa lama perjalanan melewati jembatan itu. Akan tetapi, jika sudah jelas ada hadis ṣahih yang menyebut sehari di akhirat itu seperti ukuran 50.000 tahun di dunia, lalu ada āṡār-āṡār seperti ini, sudah sepatutnyalah kita begidik ngeri hanya dengan perkiraannya.
Bayangkan, mendaki gunung hanya sekitar 6 jam saja sudah seperti itu gambaran kesengsaraan dan penderitaannya, lalu bagaimana dengan melewati jembatan ribuan tahun dengan resiko terjatuh ke neraka yang penderitaannya ribuan atau bahkan jutaan kali lipat dengan kesengsaraan saat melewati jembatan?
ORANG BERIMAN MENDAPATKAN CAHAYA
Dengan suasana yang menakutkan seperti ini, ada kabar gembira untuk orang-orang beriman. Allah berjanji untuk memberikan cahaya di akhirat, sehingga mereka lebih tenang saat meniti jembatan mengerikan itu. Cahaya inilah yang disebut Allah dalam Al-Qur’an dalam ayat berikut ini.
{يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ } [الحديد: 12]
Artinya,
“Pada hari engkau akan melihat orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, betapa cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka” (Q.S.Al-Ḥadīd; 12)
Hanya saja, besar masing-masing cahaya yang diberikan Allah itu tidak sama untuk tiap-tiap orang.
Ada yang diberi cahaya sebesar ibu jari. Sesekali menyala sesekali padam.
Ada yang diberi cahaya sebesar manusia berdiri.
Ada yang diberi cahaya setinggi pohon kurma
Ada yang diberi cahaya sebesar gunung
Bahkan ada yang diberi cahaya sebesar area antara Madinah dengan ṣan‘ā’ (kira-kira sebesar pulau atau semenanjung)
Besarnya cahaya inilah yang menentukan secepat apa orang melewati jembatan itu.
Ada yang kecepatannya seperti kedipan mata
Ada yang kecepatannya seperti kilat
Ada yang kecepatannya seperti bintang jatuh
Ada yang kecepatannya seperti angin
Ada yang kecepatannya seperti burung terbang
Ada yang kecepatannya seperti kuda berlari
Ada yang kecepatannya seperti unta berlari
Ada yang kecepatannya seperti orang berjalan cepat
Ada yang kecepatannya seperti orang berjalan biasa
Ada yang kecepatannya seperti orang berjalan tertatih-tatih
Ada yang kecepatannya seperti orang yang merangkak
Bahkan ada yang diseret.
Semuanya tergantung sebesar apa nur yang dimiliki.
Pertanyaannya, “Bagaimana cara memperoleh nur itu?”
Jawabannya adalah, salah satunya dengan membaguskan salat dan memperbanyak salat. Sebab Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa salat adalah cahaya. Salat akan menjadi cahaya di dunia. Salat akan menjadi cahaya di kuburan. Salat juga akan menjadi cahaya di akhirat. Muslim meriwayatkan,
وَالصَّلَاةُ نُورٌ (صحيح مسلم (1/ 203)
Artinya,
“Salat adalah cahaya”
Jadi, semakin serius orang salat, samakin rajin dia, semakin tekun dan semakin banyak salat, maka harapan mendapatkan nur di akhirat dengan jumlah yang banyak akan semakin besar.
اللهم اجعلنا من مقيمي الصلاة ومن ذرياتنا