Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jika Anda punya mimpi, berhati-hatilah menceritakan. Sebab, mimpi itu jika sudah ditakwil maka akan ditetapkan menjadi takdir. Selama belum ditakwil, maka ia bagaikan menggelantung di kaki burung yang terbang melayang-layang. Begitu ada yang menafsirkannya, maka burung itu akan hinggap. Maknanya; nasib telah tersegel, takdir berlaku, dan apa yang diisyaratkan Allah lewat mimpi pasti akan terjadi tanpa bisa dicegah lagi. Abu Dawud meriwayatkan,
: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الرُّؤْيَا عَلَى رِجْلِ طَائِرٍ، مَا لَمْ تُعَبَّرْ فَإِذَا عُبِّرَتْ وَقَعَتْ » سنن أبي داود (4/ 305)
Artinya,
Rasulullah ﷺ bersabda: “Mimpi-mimpi itu berada di kaki burung (terbang melayang) selama tidak ditafsirkan/ditakwilkan. Jika sudah ditafsirkan/ditakwilkan maka akan terjadi.” (H.R. Abu Dawud)
Jadi, menakwil mimpi memang harus hati-hati. Ucapan takwil mimpi itu bisa “ganas” jika kebetulan memang jitu tafsirnya. Jika sudah diucapkan maka tidak bisa ditarik lagi. Seperti ucapan nikah, talak, rujuk dan membebaskan budak yang tidak bisa dibatalkan jika sudah diucapkan.
Pernah ada kejadian, seorang wanita di zaman Nabi ﷺ ditinggal suaminya safar untuk berdagang dalam keadaan hamil. Lalu wanita ini bermimpi melihat tiang rumahnya roboh dan juga bermimpi melahirkan anak yang buta sebelah. Saat dia datang kepada Nabi ﷺ untuk menanyakan takwilnya, Nabi ﷺ mengucapkan kata-kata baik dan mendoakan agar suaminya pulang dengan selamat dan melahirkan anak saleh. Apa yang diucapkan Nabi ﷺ terjadi sesuai kenyataan. Suami wanita itu pulang dengan selamat dan dia juga melahirkan anak dengan selamat.
Ternyata kejadian ini berulang tiga kali.
Suami wanita itu pergi safar sebanyak tiga kali dengan meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil. Wanita itu mimpi pada kejadian kedua sama persis dengan mimpi yang pertama kali. Kejadian kedua direspon Nabi ﷺ dengan ucapan kebaikan yang sama.
Pada kali yang ketiga, wanita itu datang lagi kepada Nabi ﷺ untuk menceritakan mimpinya. Ternyata Nabi ﷺ saat itu tidak ada. Wanita itupun ditemui oleh Aisyah. Ketika mimpinya diceritakan kepada Aisyah, maka Aisyah menakwilkan: Suami kamu akan mati dan anakmu menjadi anak yang tidak saleh.
Ternyata itulah yang terjadi!
Wanita itu tentu saja menangis. Ketika Rasulullah ﷺ bertanya kepada Aisyah, maka diceritakanlah kisahnya. Setelah faham, Rasulullah ﷺ menegur Aisyah,
“Ah, Aisyah, kalau kamu menakwil mimpi seorang mukmin, katakanlah yang baik-baik. Sebab mimpi itu sesuai dengan apa yang ditakwilkan.”
Kisah ini diriwayatkan dalam Sunan Al-Dārimī dan sanadnya di-ḥasankan oleh Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī dalam Fatḥu Al-Bāri.
Perhatikan, betapa rawannya takwil mimpi. Begitu ia diucapkan, maka tersegellah nasib, yang bahkan Nabi ﷺ pun tidak bisa mengubahnya.
Jadi bagaimana sebaiknya jika punya mimpi yang kita sangat ingin menceritakan?
Paling aman jangan menceritakan mimpi. Jika harus menceritakan, maka ceritakan kepada orang berilmu yang mengerti dasar-dasar ilmu takwil mimpi dan adab-adab menakwilkan. Yang bisa menakwilkan dengan baik. Yang jika tahu takwilnya buruk tetap bisa mengucapkan kata-kata baik sehingga tidak membahayakan orang yang bermimpi. Rasulullah ﷺ bersabda,
: «وَلَا تَقُصَّهَا إِلَّا عَلَى وَادٍّ، أَوْ ذِي رَأْيٍ
Artinya,
“Janganlah kamu ceritakan kecuali kepada orang yang mencintai, atau orang yang bisa memberi nasihat.” (H.R. Abū Dāwūd)
Jangan sembarangan menceritakan mimpi.
Apalagi kepada orang jahil.
Meski dia jahil, jika takwilnya sudah terucap, dan ternyata benar, maka akan tersegellah mimpi itu menjadi takdir dan pasti akan menimpa orang yang memimpikannya.
اللَّهُمَّ إِنِّي أسألُكَ رُؤْيا صَالِحَةً صَادِقَة غَيْرَ كاذبةِ، نافِعَةً غَيْرَ ضارةٍ