Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Pernahkah Anda merasa difitnah orang, dijelek-jelekkan, dicitraburukkan, dihina-hina, disalahfahami, disuuzani, disebarkan berita bohong tentang Anda, bahkan berusaha dihancurkan karakter Anda?
Jika Anda pernah mendapatkan ujian seperti ini, maka selamat, karena bisa jadi Allah hendak memuliakan nama Anda di dunia maupun akhirat.
Yang terpenting sekarang adalah menyikapi dengan benar jika berada dalam situasi seperti itu.
Bagaimana sikap yang terbaik?
Sesungguhnya sikap yang terbaik dalam kondisi ini bukanlah memberi klarifikasi kepada manusia, apalagi membuat move-move yang target membersihkan citra diri di hadapan manusia. Sebab, yang terpenting bagi seorang hamba Allah adalah “citra” dirinya di hadapan Allah, bukan citra di hadapan manusia. Itulah yang seharusnya selalu merisaukannya, menjadi buah pikirannya dan menghantuinya sepanjang waktu. Percuma jika terlihat baik di mata manusia, tapi buruk di hadapan Allah. Percuma terlihat mulia di mata manusia, tetapi hina di sisi Allah.
Daripada menghabiskan waktu dan tenaga untuk pencitraan di depan manusia (yang justru malah akan membuat semakin jauh dari Allah), lebih baik seorang hamba malah fokus memperhebat ketaatannya kepada Allah. Lalu terkait citra di depan manusia, serahkan dan pasrahkan semuanya kepada Allah sambil mengulang-ulang doa berikut ini setiap kali muncul kesedihan dalam hati akibat fitnah manusia itu,
Artinya,
“Cukup Allah saja (yang tahu siapa aku dan tahu kebenarannya). Dialah sebaik-baik Żat yang mewakili urusan (sehingga aku pasrahkan semua urusanku kepada-Nya)
Ucapan seperti ini pernah diamalkan seseorang di zaman dulu yang dituduh masyarakat berzina dan mencuri, padahal dia bersih. Akhirnya, Allah sendirilah yang membersihkan namanya, diangkat menjadi orang berderajat tinggi, dimuliakan, dan kisahnya diwahyukan kepada Rasulullah ﷺ, disampaikan Nabi ﷺ kepada umat, dihafalkan jutaan orang hingga dijadikan teladan manusia sepanjang zaman. Muslim meriwayatkan,
وَمَرُّوا بِجَارِيَةٍ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا وَيَقُولُونَ: زَنَيْتِ، سَرَقْتِ، وَهِيَ تَقُولُ: حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ صحيح مسلم (4/ 1977)
Artinya,
“…Mereka (orang-orang) melewati seorang budak wanita sambil memukulinya sembari menuduhnya, ‘Kamu berzina! Kamu mencuri!” Wanita itu hanya berucap, “Cukup Allah saja. Dialah sebaik-baik Żat yang mewakili urusan” (H.R.Muslim)
Hanya saja, sikap diam ini sebaiknya dilakukan jika tidak terkait dengan hak Allah, hak hamba atau belum dibawa ke pengadilan. Jika terkait hak Allah, hak hamba atau sudah dibawa ke pengadilan, maka menjelaskan kebenaran dan membuktikannya adalah perkara syar’ī dan bahkan dalam kondisi tertentu adalah sebuah kewajiban.