Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Orang yang benar-benar buta petunjuk secara total, tidak tahu pedoman, tidak mengerti tuntunan dan tidak paham bimbingan, maka ia dinamakan ḍāll (الضَّالُّ). Bentuk jamaknya ḍāllūn (الضَّالُّوْنَ) atau ḍāllīn (الضَّالِّيْنَ). Lafal ini biasanya diterjemahkan “orang yang tersesat”. Jadi, jika dalam Al-Qur’an atau hadis digunakan lafal ini, maka itu memaksudkan kondisi orang yang buta pengetahuan sama sekali sehingga tidak mengerti arah dan berjalan ke arah yang salah. Orang-orang Arab jahiliyyah disebut ḍāllīn karena mereka tidak kenal Allah, tidak mengetahui jalan menyucikan diri dan tidak tahu bagaimana cara menuju Allah. Dalam Surah Al-Fātiḥah, ayat terakhir juga menyebut orang-orang yang memiliki sifat ḍāllīn. Para mufassir menjelaskan contoh utama kaum yang demikian adalah Nasrani, karena mereka ingin mencintai Allah, tapi salah jalan karena tidak mengikuti Nabi Muhammad.
Adapun jika orang tahu petunjuk, tetapi sengaja tidak mengikutinya, entah karena kesombongan, kedengkian, kegengsian, semangat asabiyah dan semua kecenderungan hawa nafsu lainnya, maka sebutan makhluk seperti ini bukan ḍāll, tetapi gāwī (الغاوي). Bentuk jamaknya gāwūn (الغاوون) atau gāwīn (الغاوين). Lafal ini biasanya juga diterjemahkan “orang yang tersesat”. Iblis disebut gāwī karena dia tahu kebenaran, tapi tidak mau mengikutinya. Dia tahu petunjuk tapi tidak melaksanakannya. Dia tahu perintah tapi sengaja melanggarnya. Fir’aun juga termasuk golongan ini, sebab hati Fir’aun sebenarnya meyakini kebenaran Nabi Musa, tapi hawa nafsunya yang tidak mau kehilangan kemegahan duniawi membuatnya menolak mengikuti nabi Musa. Orang Yahudi juga masuk dalam golongan ini. Mereka tahu kebenaran Nabi Muhammad, tapi enggan mengikutinya karena dengki. Mayoritas orientalis Barat yang mengkaji Islam juga banyak yang terkena sifat ini.
Jadi, bisa disimpulkan dāll adalah ciri orang yang tidak tahu kebenaran secara total, sementara gāwī adalah orang yang sebenarnya mengakui kebenran sesuatu tapi enggan mengikutinya.
Adapun muhtadī (المهتدي), maka pengertiannya adalah orang yang mendapatkan petunjuk. Bentuk jamaknya muhtadūn (المهتدون) atau muhtadīn (المهتدين). Penekanannya semata-mata dari aspek perolehan ilmu yang menjadi tuntunan, petunjuk dan pedoman untuk melangkah. Jadi, jika dalam Al-Qur’an disebut orang-orang yang mendapatkan petunjuk, kondisi-kondisi yang membuat Allah berkenan memberi petunjuk, dan hal-hal yang membuat Allah tidak berkenan memberi petunjuk, maka maksudnya adalah kondisi seseorang mendapatkan ilmu yang bisa mengarahkannya ke jalan yang benar.
Begitu petunjuk tersebut diikuti dan dilaksanakan, maka orang tersebut disebut dengan istilah rāsyid (الراشد). Bentuk jamaknya rāsyidūn (الراشدون) atau rāsyidīn (الراشدين) Dengan kata lain, rāsyid adalah muhtadī (orang yang mendapatkan petunjuk) yang mengamalkan petunjuk tersebut.
Oleh karena itu, sekarang kita bisa mamhami lebih baik mengapa para Sahabat disebut Allah sebagai kaum rāsyidun dalam ayat ini,
Artinya
7. Dan ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang rāsyidūn, (Al-Hujurat/49:7)
Para Sahabat yang memiliki sifat menonjol cinta terhadap iman, benci kekufuran dan benci kemaksiatan disebut Allah sebagai kaum rāsyidūn karena mereka mendapatkan petunjuk, lalu melaksanakan petunjuk tersebut.
Dari sini bisa difahami juga istilah khulafā’ rāsyidīn. Khalifah Abu Bakar, Umar, Uṡmān dan ‘Alī disebut para khalifah rāsyidīn karena mereka mendapatkan petunjuk dan melaksanakan petunjuk tersebut, sehingga layak ijtihadnya diikuti pada perkara-perkara yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Sampai sini bisa disimpulkan juga bahwa dāll adalah lawan muhtadī, sementara gāwī adalah lawan rāsyid. Ibnu Rajab berkata,
Artinya,
“Rāsyid adalah orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Gāwī adalah orang yang mengetahui kebenaran tapi tidak mengikutinya. Ḍāll adalah orang yang tidak mengetahui kebenaran secara total. Jadi, setiap rāsyid adalah muhtadī dan setiap muhtadī yang mendapatkan hidayah sempurna maka dia rāsyid karena hidayah itu hanya sempurna dengan cara mengetahui kebenaran kemudian mengamalkannya juga” (Jāmi‘ Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam, juz 2 hlm 781)