Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Contoh penggunaan bā’ ta‘diyah yang digandeng dengan lafal yang terkait dengan wasiat adalah hadis terkait perintah Nabi ﷺ yang mewanti-wanti para suami agar mempergauli istrinya dengan baik. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا (صحيح البخاري (7/ 26)
Bagaimana kita mengartikan secara tepat, detail, mendalam dan akurat atas ucapan Nabi ﷺ di atas?
Pertama-tama, kita harus paham dulu apa makna dan konsep ta‘diyah (التعدية). Makna ta‘diyah secara mudah adalah “pengubah fi‘il lāzim menjadi fi‘il muta‘addī”. Dengan kata lain, ta‘diyah adalah pengubah kata kerja intransitif menjadi transitif. Jadi, jika dikatakan bā’ ta‘diyah, berarti ḥarf bā’ itu berfungsi me-muta‘addi-kan fi‘il lāzim atau mentransitifkan kata kerja intransitif. Misalnya dalam kalimat ini,
Artinya,
“Allah melenyapkan cahaya mereka.”
Dalam kalimat di atas, ḥarf bā’ pada lafal binūrihim adalah bā’ ta‘diyah, artinya dia memuta‘addikan kata żahaba alias mentransitifkan kata żahaba. Jika makna asal żahaba adalah pergi, maka kombinasi żahaba + bā’ ta‘diyah adalah membuat pergi. Jadi terjemahan harfiah żahaba binūrihim adalah membuat pergi cahaya mereka alias melenyapkan cahaya mereka.
Dari sini bisa dipahami bahwa bā’ ta‘diyah itu fungsinya mirip dengan hamzah yang me-mut‘addi-kan fi‘il lazim atau mentransitifkan kata kerja intransitif. Kata żahaba (ذهب) bermakna pergi, sementara kata ażhaba (أذهب) bermakna membuat pergi alias melenyapkan.
Inilah konsep ta‘diyah itu.
Sekarang kita kembali ke topik bā’ ta‘diyah saat bersambung dengan wasiat.
Bā’ TA‘DIYAH DAN WASIAT
Memberi wasiat dalam bahasa Arab bisa diungkapkan dengan kata auṣā (أوصى) atau waṣṣā (وصى). Makna dasar memberi wasiat adalah “Perintah melakukan sesuatu dalam kondisi pemberi perintah tidak hadir” (amrun bifi‘li syai’in fī magībi al-āmir bihī). Memberi wasiat mengandung makna taḥrīḍ (dorongan kuat) untuk melaksanakan apa yang diperintahkan.
Bā’ ta‘diyah yang menjadi gandengan auṣā bisa melekat pada mūṣā ‘alaih (الموصى عليه) atau mūṣā bihi (الموصى به). Makna mūṣā ‘alaih adalah sasaran yang mendapatkan kebaikan wasiat. Makna mūṣā bihi adalah materi wasiatnya atau materi perintah yang dikandung dalam wasiat.
Contoh bā’ ta‘diyah yang melekat pada mūṣā ‘alaih adalah pada kalimat berikut ini,
أَوْصَى بِأَبْنَائِهِ إِلَى فُلَانٍ
Kalimat di atas bermakna “Dia memberi wasiat fulan (untuk mengurusi) putra-putranya”. Jadi perkiraan kalimatnya adalah “auṣā bi syu’ūni abnā’ihim ilā fulān”.
Contoh bā’ ta‘diyah yang melekat pada mūṣā bihī adalah pada kalimat berikut ini,
وَوَصَّى بِها إِبْراهِيمُ بَنِيهِ
Kalimat di atas bermakna “Ibrahim memberi wasiat putra-putranya (untuk menjalankan) agama (millatul islām)”
Jika dalam kalimat mengandung mūṣā ‘alaih dan mūṣā bihi, maka biasanya bā’ ta‘diyah pada mūṣā bihi dihilangkan. Contoh,
أوصى بِهِ خيرا
Kalimat di atas aslinya berbunyi,
أوصى بِهِ بِخَير لَهُ
Struktur seperti ini sama seperti yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an tentang birrul walidain. Allah berfirman,
{وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا } [الأحقاف: 15]
Ayat di atas struktur formalnya sebenarnya adalah,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ بإحسانٍ
MAKNA HADIS
Sekarang kita kembali ke makna hadis. Jika seperti ini penjelasn bā’ ta‘diyah, kalau begitu bagaimana kita memaknai lafal dalam hadis ini?
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Lafal istauṣū di atas berasal dari kata istauṣā (استوصى) yang bermakna auṣā (أوصى)/memberi wasiat sebagaimana kata istajāba (استجاب)/mengabulkan juga bisa bermakna ajāba (أجاب). Jadi makna bahasa istauṣū adalah berwasiatlah.
Ḥarf bā pada kata binnisā’ adalah bā’ ta‘diyah. Posisi nisā adalah mūṣā ‘alaih. Lafal khairan adalah mūṣā bihi yang bā’ ta‘diyahnya dibuang. Jadi perkiraan ucapan Nabi ﷺ di atas adalah,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ بخيرٍ
Jika seperti ini analisis sintasksisnya berarti nasihat Nabi ﷺ di atas bisa kita maknai lebih detail menjadi,
“(wahai kaum muslimin,) berwasiatlah/beri pesan perintah yang kuat (kepada mereka yang punya istri untuk berbuat segala bentuk) kebaikan (dalam rangka mempergauli) para istri.”
Artinya Rasulullah ﷺ memerintahkan mempergauli istri dengan baik, memerintahkan masyarakat Islam memperhatikan prinsip tersebut, dan meminta semua anggota masyarakat saling mengingatkan satu sama lain agar memberi perhatian dan memperbaiki interaksi dengan para istri. Sebab fitrah wanita memang lemah baik secara fisik maupun psikis, yang berposisi bagaikan tawanan di tangan suami, dan seakan tidak punya posisi tawar untuk memaksakan keinginan dan kehendaknya. Berbeda dengan para suami yang dilebihkan Allah posisinya dibandingkan istri, yakni saat para istri diwajibkan taat kepada suami sementara suami tidak ada tuntutan taat kepada istri. Juga saat ikatan pernikahan hukum asalnya pembubarannya di tangan suami, sementara istri harus melawati sejumlah syarat ketat jika ingin lepas dari suami.
Posisi seperti ini seharusnya tidak seyogyanya menjadikan suami sewenang-wenang, aji mumpung dan menuntut dipenuhi 100% haknya, tanpa mempedulikan perasaan dan kondisi istri. Suami harus bersikap super lembut kepada istri, berhati-hati agar tidak melukai perasaanya dan sedapat mungkin tidak mengerasinya yang bisa berakibat fatal. Sebab Nabi ﷺ mengumpamakan para istri seperti kaca yang mudah pecah dan juga diumpamakan tulang bengkok yang jika dipaksa diluruskan akan patah, dan patahnya tulang adalah perpisahan/talak.