Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***
Kadang-kadang ada satu tema sama yang ditulis oleh banyak penulis atau beberapa penulis. Tetapi dari sisi popularitas dan keberkahan, Allah hanya memberikannya pada sebagian. Tidak semuanya.
Seperti kisah Al-Nawawī dan Al-Bājī
Beliau berdua membuat mukhtaṣar (ringkasan) untuk kitab Al-Muḥarrar karya Al-Rāfi‘ī.
Karya Al-Nawawī diberi judul Minhāj al Ṭālibin (منهاج الطالبين).
Karya Al-Bājī diberi judul al Taḥrīr (التحرير).
Tapi sejarah menunjukkan bagaimana level popularitas dan keberkahan di antara keduanya bagaikan bumi dan langit.
Kitab Al-Nawawī yang bernama Minhāj al Ṭālibin itu popularitasnya luar biasa. Hampir mustahil pemerhati mazhab Al-Syāfi‘ī jika sampai tidak kenal kitab ini. Jumlah syarahnya saja menurut Abdullāh Al-Habsyī lebih dari 300! Mirip dengan popularitas Ṣaḥīh al-Bukhari yang juga memiliki syarah ratusan.
Beda dengan kitab al-Taḥrīr karya al-Bājī. Amat jarang yang mengenalnya. Juga tidak menjadi aib jika pemerhati mazhab Al-Syāfi‘ī belum sempat mengenalnya.
Padahal Al-Bājī dan Al-Nawawī ini hidup semasa.
Mereka sebaya.
Tahun lahirnyapun sama!
Al-Bājī dikenal sebagai pakar usul fikih dan salah satu guru al-Subkī (Sumber: Al-Nawawī sang wali dan karya-karyanya, hlm 689)
Kasus yang mirip juga terjadi pada zaman imam Malik.
Alkisah, saat Malik mengarang kitab Al-Muwaṭṭa’, beliau ditanya mengapa kok masih mengarang kitab hadis dengan genre itu, sementara di zaman beliau banyak ulama juga mengarang kitab hadis dengan genre yang sama. Ternyata jawaban imam Malik kalem,
“Yang ditulis karena Allah, itulah nanti yang akan kekal”
Kisah Malik ini ditulis al-Suyūṭī dalam Tadrīb al-Rāwī sebagai berikut,
وَقَدْ صَنَّفَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ بِالْمَدِينَةِ مُوَطَّأً أَكْبَرَ مِنْ مُوَطَّأِ مَالِكٍ، حَتَّى قِيلَ لِمَالِكٍ: مَا الْفَائِدَةُ فِي تَصْنِيفِكَ؟ قَالَ: مَا كَانَ لِلَّهِ بَقِيَ (تدريب الراوي في شرح تقريب النواوي (1/ 93)
Artinya:
“Ibnu Abī Żi’bin telah menulis Muwaṭṭa’ di Madinah dan ukurannya lebih besar daripada Muwaṭṭa’ Malik hingga Malik ditanya, ‘Apa manfaat menulis karyamu itu?’ Beliau menjawab, ‘Yang ditulis karena Allah akan tetap abadi.’”
1 Jumādā Al-Ākhirah 1442