Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***
Suatu saat Allah memanggil Nabi Musa untuk menerima wahyu di bukit Tursina selama 40 hari.
Selama waktu pergi itu, kepemimpinan Bani Israel sementara dipercayakan kepada saudara beliau; Nabi Harun.
Tipe Nabi Harun ini lembut, berbeda dengan Nabi Musa yang tegas dan ditakuti.
Karena cara memimpin yang sangat lembut, beberapa orang Bani Israel yang degil, sok tahu dan keras kepala menjadi susah diatur.
Akibatnya, ketika muncul Samiri dengan ide menyembah anak patung sapi, beberapa orang terpengaruh dan melakukan perbuatan musyrik itu. Nasihat lembut Nabi Harun tidak digubris, bahkan hampir saja beliau dibunuh karena melakukan amar makruf nahi mungkar.
Begitu Nabi Musa pulang, sedih dan marah besarlah beliau melihat kemusyrikan Bani Israel.
Tidak habis pikir beliau, di masa masih hidup Nabi Musa dan Nabi Harun saja, umatnya sudah melakukan penyimpangan terbesar dalam din, lalu bagaimana jika sudah ditinggal wafat nabinya?
Masih dipimpin nabi saja seperti itu kondisinya, bagaimana jika nabi-nabi sudah tiada?
Akhirnya dengan geram dan amarah besar, tanpa sadar dilemparlah lembaran papan berisi wahyu Allah yang beliau dapat dari bukit Tursina, lalu beliau mendamprat keras sekali Nabi Harun sambil menarik jenggotnya ke arah dirinya!
Setelah itu nabi Musa bertindak tegas. Patung anak sapi dibakar oleh beliau, lalu abunya dilemparkan di lautan. Semua yang terlibat kemusyrikan harus bertobat dengan cara membunuh diri dan Samiri diusir sehingga tidak ada lagi yang berinteraksi dengannya.
Kisah ini secara singkat diceritakan dalam Al-Qur’an dalam ayat berikut ini,
Artinya,
“Ketika Musa kembali kepada kaumnya dalam keadaan marah dan sedih hati dia berkata, “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan selama kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului perintah Tuhanmu?”
Musa pun melemparkan lembaran-lembaran (Taurat) itu dan memegang (janggut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya.
(Harun) berkata, “Wahai putra ibuku! Sesungguhnya orang-orang telah menganggapku lemah dan hampir saja mereka membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat kemalanganku, dan janganlah engkau jadikan aku sebagai orang-orang yang zalim.”
Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang dari semua penyayang.” (Al-A’raf/7:150-151)
Sekarang coba bayangkan seperti apa kadar kemarahan Nabi Musa dalam kisah ini.
Marah sampai level tidak sadar melempar lembaran papan yang bersisi wahyu Allah yang Maha Suci adalah marah yang luar biasa.
Kalau kita umat Islam, bayangkan bagaimana marahnya orang yang sampai tidak sadar membuang Muṣḥaf. Ini saja sudah cukup untuk menggambarkan betapa besar murka Nabi Musa dalam kejadian ini. Sebab, semarah-marahnya orang, jika dia membawa muṣḥaf Al-Qur’an, maka penghormatannya terhadap Al-Qur’an akan mencegahnya untuk melemparnya. Tapi jika sampai dilempar, maka ini menunjukan level marah yang dahsyat yang sampai membuat tidak sadar dengan apa yang dibawa.
Tetapi marahnya Nabi Musa dalam kisah ini adalah jenis marah karena Allah. Sebab beliau marah melihat hak Allah dilanggar. Beliau marah karena melihat umatnya menyembah selainNya. Marah jenis ini bukan marah tercela, bahkan ia adalah jenis marah yang dicintai Allah.
Ini adalah jenis marah seperti marah Rasulullah ﷺ ketika ada yang mau melobi hukuman potong tangan atau marah beliau karena orang mengimami dengan membaca surat panjang-panjang. Yakni marah bukan karena kepentingan pribadi, tapi marah karena Allah.
Yang menarik adalah, setelah marah itu nabi Musa minta ampun kepada Allah!
Padahal marahnya jelas karena Allah, bukan karena kepentingan pribadi. Tetapi, segera saja beliau minta ampun dengan kata-kata,
Artinya,
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku”
Mengapa beliau minta ampun setelah marah untuk membela hak Allah?
Jawabannya adalah, karena beliau meskipun marah karena Allah, tapi beliau tetap kuatir melampaui batas yang membuat Allah tidak berkenan. Apalagi dalam marahnya itu Nabi Musa sempat membuang alwāḥ (lembaran papan taurat) dan menarik keras jenggot saudaranya.
Beliau juga memintakan ampun untuk Nabi Harun, padahal Nabi Harun sudah sekuat tenaga mengurus Bani Israel dan melakukan amar makruf nahi mungkar semampunya.
Nabi Musa memintakan ampun saudaranya karena kuatir Nabi Harun tidak maksimal dalam mengurus Bani Israel yang membuat Allah tidak berkenan sehingga terjadi penyembahan anak sapi itu.
Inilah istigfar level para nabi.
Istigfarnya bukan karena melakukan maksiat, tetapi istigfar setelah melakukan amal saleh. Istigfar setelah marah syar’i karena kuatir, marahnya dan tindakannya karena marah itu melampaui batas di sisi Allah. Istigfar setelah amar makruf nahi mungkar karena kuatir tidak maksimal menjalankan kewajiban tersebut. Istigfar setelah selesai salat karena kuatir masih asal-asalan dalam salatnya, belum khusyu dan belum memenuhi hak Allah yang memerintahkan menegakkan salat.
Jadi, jika Anda marah karena melihat anak Anda yang remaja melalaikan salat lalu Anda mencambuknya, maka marah Anda itu adalah marah karena Allah. Tapi beristigfarlah, karena bisa jadi Anda melampuai batas saat marah itu.
Jika Anda marah kepada istri karena mendapati istri kurang amanah, lalu Anda menasihatinya dengan keras sampai terdengar seperti mengomel, maka marah Anda itu adalah marah karena Allah. tapi beristigfarlah, karena sangat mungkin marah Anda melampaui batas.
Dan seterusnya
Jika marah karena Allah saja kita layak untuk segera beristigfar, lalu bagaimana dengan marah-marah karena kepentingan pribadi dan karena urusan duniawi?
Marah karena tidak bisa makan yang diinginkan.
Marah karena tidur dikagetkan.
Marah karena pasangan menolak berhubungan suami istri.
Marah karena merasa mengerjakan sesuatu sendirian.
Marah karena pekerjaannya tidak dihargai.
Marah karena merasa diperlakukan tidak adil.
Marah karena permintaan tidak dituruti.
Marah karena dilarang melakukan sesuatu yang disukai.
Marah karena cemburu.
Marah karena kunci ketinggalan.
Marah karena kebisingan.
Dan seterusnya
Apa dikira orang yang sering marah karena urusan duniawi itu bebas dari dosa?
Mari perbanyak istigfar dalam hidup kita!
***
19 Jumādā Al-Ūlā 1442 H