Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Ada seorang lelaki. Namanya Yohannes Calvin (1509-1564). Nama singkatnya Calvin. Dia orang Swiss. Orang ini menciptakan satu pemikiran akidah untuk penganut Kristen Protestan yang memberi dampak besar dalam kehidupan ekonomi penganutnya. Pemikirannya ini tentu saja didasarkan pada tafsirannya terhadap sumber-sumber agamanya. Ringkasan pemikirannya begini:
Pertama-tama dia menekankan pentingnya keyakinan tentang predestinasi/takdir. Dia menjelaskan bahwa segala sesuatu itu sudah ditakdirkan Tuhan. Orang masuk surga dan neraka sekalipun sudah ditakdirkan Tuhan. Amal tidak bisa mengubah takdir di akhirat. Meskipun orang susah payah berusaha menjadi baik dan beramal saleh, tapi jika takdirnya menjadi orang terkutuk dan ke neraka, maka nanti pasti akan ke neraka. Takdir tidak bisa berubah.
Dari sini, secara alami akan muncul pertanyaan besar yang sungguh menggelisahkan pada masing-masing orang yaitu,
“Apakah aku termasuk yang ditakdirkan masuk surga?”
“Apakah aku terpilih?”
“Bagaimana caranya agar aku yakin bahwa Tuhan telah memilihku termasuk golongan orang-orang yang beruntung dan ditakdirkan masuk surga?”
Pertanyaan ini akan menimbulkan kerisauan luar biasa bagi tiap-tiap orang. Mereka butuh jawaban pasti dan tidak mungkin terus-terusan berada dalam kebimbangan seumur hidup.
Dari sini, Calvin memberi jawaban. Menurutnya, tanda orang terpilih dan dipastikan masuk surga itu bisa disaksikan di dunia ini.
Tanda tersebut adalah adalah KEBERHASILAN DALAM PROFESI.
Jika orang menekuni profesinya, lalu berhasil baik dan menjadi kaya, maka itu tanda bahwa Tuhan “ikut bekerja” bersamanya. Dia dibimbing, diarahkan, dan digiring untuk menjadi orang kaya dan sukses secara materi melalui profesinya. Jadi, jika orang dimudahkan untuk menjadi kaya oleh Tuhan, maka itu adalah tanda bahwa dia sejak awal sudah ditakdirkan menjadi orang yang bahagia dan akan masuk surga di akhirat.
Akhirnya, dari ajaran ini penganut Calvinisme menjadi orang-orang yang paling merindukan kekayaan. Mereka mengejar kekayaan bukan untuk bersenang-senang, tetapi menggunakan kekayaan dalam rangka menjalankan kehendak Tuhan di muka bumi. Mereka bersemangat untuk mengubah diri menjadi orang kaya agar punya jaminan bahwa mereka nanti dipastikan masuk surga
Penganut Calvinisme akhirnya menjadi sekumpulan orang yang sangat rajin bekerja dan mengumpulkkan kekayaan. Niat mereka saat mengumpulkan kekayaan adalah dalam rangka menampakkan kebesaran Tuhan di muka bumi. Akibatnya, justru mereka malah terhalang untuk menikmati kekayaannya karena kesibukan bekerja ini. Sikap hidup mereka cenderung asketis/sederhana karena mereka memandang menggunakan kekayaan untuk memuaskan hawa nafsu adalah dosa.
Salah satu contoh orang kaya penganut Calvinisme adalah Rockefeller (1839-1937). Dia adalah miliarder Amerika. Seorang pengusaha minyak. Pemilik merek “Standard Oil”. Dia memandang semua uangnya adalah “Uang Tuhan”. Dia membenci kesenangan. Uang Tuhan ditangannya dalam pandangannya adalah “Amanah Tuhan” yang harus ia gunakan untuk menjalankan roda ekonomi.
Mereka yang setuju dan menganut pikiran Calvin ini kemudian disebut dengan penganut Calvinisme/Ketzer. Sejak abad ke-16, orang-orang Spanyol melihat paham Calvinisme/Ketzer menyebabkan semangat dagang menjadi tinggi di kalangan bisnisman Eropa. Ini pulalah salah satu faktor yang menyebabkan Kapitalisme tumbuh pesat di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Gejala ini diamati Max Weber, kemudian ditulis dan dianalisa dalam karyanya yang berjudul “Die protestantische Ethik und der ‘Geist’ des Kapitalismus”. Dalam versi Inggris, ia diterjemahkan menjadi “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”. Edisi Indonesia menerjemahkannya menjadi “Etika Protestan dan jiwa Kapitalisme”.
Kini, ambisi ingin kaya dengan menggunakan agama dikembangkan kembali oleh sejumlah oknum motivator “islami”. Para awam yang tidak terlalu mengerti hakikat kaya dan miskin dalam Islam segera saja mudah terpengaruh. Beberapa dalil dijadikan stempel oleh oknum motivator itu, agar semangat kaya itu terkesan “syar’i”, “islami” dan bahkan tampak sebagai “perjuangan di jalan Allah”. Celakanya, caranya menafsirkan dalil adalah ditafsir-tafsirkan sendiri, ucapan tanpa ilmu dan tidak ada basis ilmu syar’i yang mumpuni.
Ini sungguh berbahaya.
Mengejar kekayaan dengan stempel agama adalah sunah Calvinisme. Bukan ajaran Rasulullah ﷺ dan bukan ajaran para nabi.
Al-Qur’an telah menegaskan batilnya paham seperti Calvinisme ini. Allah berfirman,
Artinya,
“(Si kaya kafir itu berkata) kalaupun aku dihidupkan lagi, pastilah aku akan lebih kaya lagi nanti (di akhirat).”
Dalam ayat di atas, Allah menceritakan bagaimana keyakinan seorang kafir yang kaya raya di dunia, yang meyakini bahwa jika dia kaya di dunia, maka di akhirat pasti dia lebih bahagia dan lebih kaya lagi. Jadi, kekayaannya di dunia dijadikannya sebagai dalil bahwa nanti di akhirat dia pasti juga akan bahagia dan kaya. Si kafir ini juga merasa dirinya lebih baik daripada kawannya, karena dia kaya sementara kawannya yang mukmin itu miskin.
Keyakinan seperti ini dikecam dalam Al-Qur’an, karena bentuk kebodohan terhadap akhirat, qiyās gaib ‘alā syāhid (menganalogikan yang gaib dengan yang nyata), bentuk magrūr (ketertipuan), dan khayalan akut terhadap hal yang gaib tanpa hujah.
Dalam tafsir Fatḥu al-Qadīr disebutkan,
Artinya,
“Ini adalah analogi hal gaib terhadap hal nyata. Yakni, “Jika dia kaya di dunia, maka dia juga akan kaya di akhirat”. Ini adalah bentuk igtirār/ketertipuan karena kekayaannya, padahal kekayaan tersebut adalah bentuk istidrāj/pembinasaan halus dari Allah.”
Menjadikan kekayaan sebagai standar kebaikan, hidup mengejar kaya apalagi menjadikan kekayaan ukuran kesuksesan di akhirat adalah sunah umat di luar Islam.
Itu batil, tasyabbuh bil kuffār (menyerupai orang kafir), bertentangan dengan Al-Qur’an, bentuk ge-er kepada Allah bahkan termasuk ‘ujub dan takabur jika disertai penghinaan dan bullying terhadap mereka yang rezekinya disempitkan oleh Allah.
Membanggakan kekayaan bukan kebiasaan orang saleh.
Mengajak bekerja keras dengan motivasi supaya kaya juga bukan ajaran para nabi dan rasul.
Mengagung-agungkan pencapaian duniawi juga bukan watak orang beriman yang mengerti betul hakikat dunia dengan segala tipuannya dan bahayanya.
Jadi, hati-hatilah mengambil panutan!
***
23 Sya‘bān 1442 H