Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika ada rumah tangga yang bermasalah, akan tetapi antara pasangan suami istri masing-masing masih saling mencintai, atau salah satunya masih ada cinta, maka jangan terlalu mudah disarankan cerai seberat apapun ujiannya. Sebab, hadis Nabi ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa Rasulullah ﷺ sangat mempertimbangkan cinta untuk membuat keputusan apakah rumah tangga masih layak dipertahankan ataukah sudah perlu untuk dibubarkan.
Bagaimanakah kisahnya?
Begini ceritanya.
Ada seorang lelaki beristri di zaman Nabi ﷺ. Lelaki itu mengeluhkan sifat istrinya yang sangat merisaukannya. Sifat tersebut adalah mudahnya wanita itu diajak zina lelaki lain. Lelaki itu menyebutnya dengan ungkapan “lā tamna‘u yada lāmisin” (-istrinya-tidak menolak sentuhan orang lain). Ungkapan ini dalam bahasa Arab adalah jenis kinayah yang menunjukkan wanita itu mudah berzina. Begitu tahu Rasulullah ﷺ aduan lelaki itu, maka beliau langsung menyarankan untuk mencerainya. Akan tetapi lelaki itu mengatakan bahwa dia sangat mencintai istrinya. Mungkin anak muda sekarang menyebutnya dengan istilah bucin. Akhirnya Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mempertahankannya. Al-Nasā’ī meriwayatkan kisah ini dengan redaksi sebagai berikut,
Artinya,
“Seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: ‘Aku mempunyai seorang istri yang sangat aku cintai, namun ia tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya’ Beliau bersabda: “Ceraikan dia,” ia berkata: ‘Aku tidak tahan terpisah darinya’. Beliau bersabda: “(kalau begitu pertahankan dan) Bersenang-senanglah dengannya” (H.R. al-Nasāī)
Lihatlah. Secara hukum, perselingkuhan sampai taraf berzina adalah alasan kuat untuk bercerai. Sebab, istri yang berzina memiliki potensi memasukkan nasab lelaki asing ke dalam nasab suaminya. Ia juga berpeluang menularkan penyakit kelamin. Ia juga berpeluang menularkan kebiasaan dan akhlak buruk untuk keluarga dan anak-anak. Jadi, perzinaan adalah alasan kuat untuk mentalak sebagaimana boleh menjadi alasan kuat seorang istri meminta cerai kepada suaminya yang berzina. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ menyarankan untuk mencerai istri yang seperti itu.
Akan tetapi, ketika Rasulullah ﷺ diberitahu bahwa lelaki itu sangat mencintai istrinya dan kuatir sampai level tidak tahan berpisah dengannya, maka Rasulullah ﷺ meralat sarannya dan memerintahkan untuk mempertahankannya. Ini menunjukkan bahwa dalam rumah tangga selama masih ada cinta (apalagi cinta yang levelnya sampai membuat kuatir tidak tahan jika berpisah dengannya), maka seberat apapun badai dan masalah yang terjadi, kita harus tetap mendorong rumah tangga tersebut bersatu.
Yang seperti ini adalah jenis penerapan kaidah fikih yang berbunyi “irtikāb akhaffi al-ḍararain” (melakukan bahaya yang paling ringan). Mempertahankan istri yang mudah berzina adalah bahaya. Tapi berpisah dengan istri yang dicintai lebih berbahaya, karena bisa membuat lelaki saleh pun tergoda untuk berzina. Jadi, dalam kondisi ini mempertahankan yang dipilih karena bahayanya lebih ringan.
Jadi, berdasarkan kisah lelaki dizaman Nabi ﷺ yang diperintahkan Rasulullah ﷺ mempertahankan rumah tangganya karena dia sangat mencintai istrinya meskipun tahu istrinya punya kesalahan fatal, bisa diambil kesimpulan cinta dalam rumah tangga harus menjadi pertimbangan apakah saran cerai diberikan ataukah tidak.
Selain itu, Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa pernikahan adalah obat yang paling mujarab bagi dua orang yang saling mencintai. Hal ini menunjukkan bahwa cinta adalah unsur yang penting dan sangat diperhatikan dalam membangun rumah tangga termasuk termasuk mempertahankan keutuhannya. Ibnu Mājah meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Kami belum pernah melihat (obat yang lebih mujarab) untuk dua orang saling mencintai sebagaimana pernikahan.” (H.R.Ibnu Mājah)
Lagipula, Allah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa pernikahan itu bisa mewujudkan ketenangan (sakinah), mawaddah (cinta simpati) dan rahmah (kasih sayang). Allah berfirman,
Artinya,
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenang kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Artinya, cinta adalah sesuatu yang diakui dalam Al-Qur’an, efek alami pernikahan, bahkan ia adalah ikatan kuat yang menyatukan pasangan suami istri dalam rumah tangga. Oleh karena itu, ketika cinta ini masih ada, maka ia harus dihormati dan dihargai karena berfungsi mencegah seseorang dari kerusakan sehingga jika ada masalah, adanya cinta adalah alasan kuat untuk tetap mempertahankan rumah tangga.
Rasulullah ﷺ juga pernah merekomendasikan kepada Barīrah supaya menikahi seorang lelaki yang sangat mencintainya, yaitu Mugīṡ, meskipun beliau tahu Barīrah tidak mencintai Mugīṡ. Keduanya sebenarya sudah pernah menikah, lalu berpisah karena ketentuan hukum syara’. Ini menunjukkan Rasulullah ﷺ juga sangat memperhatikan faktor cinta untuk membangun kembali rumah tangga, betapapun beliau tahu sang wanita (Barīrah) tidak punya perasaan seperti mantan suaminya itu.
Hanya saja catatan ini tidak bermakna bahwa jika pasangan suami istri sudah tidak saling cinta maka lebih baik cerai saja. Tidak bermakna demikian, sebab itu pembahasan lain. Catatan ini justru menguatkan catatan sebelumnya bahwa pasangan suami istri itu dalam kondisi tidak saling cinta saja tetap tidak boleh sembarangan disarankan bercerai, apalagi dalam kondisi masih saling mencintai atau salah satu mencintai. Dalam kondisi tersebut, lebih utama lagi kita tidak memprovokasi supaya mereka berpisah. Cinta dipertbimbangkan untuk mempertahankan rumah tangga, tanpa memperhatikan lagi kadarnya, apakah sangat kuat, kuat, biasa atau lemah sekalipun. Selama ia masih ada, maka yang memilikinya layak dibantu untuk tetap bersatu dengan pasangannya.
***
30 Syawwāl 1442 H