Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Hukum asalnya, semua rumah tangga yang bermasalah itu dijaga agar tidak sampai bercerai seberat apapun ujiannya. Sebab, meski sebuah perceraian itu dalam kondisi tertentu hukumnya mubah, bisa dibenarkan secara hukum dan memiliki alasan yang kuat, hadis Nabi ﷺ telah menegaskan bahwa perpisahan pasangan suami istri adalah fitnah besar yang sangat membanggakan dan membahagiakan Iblis. Para ulama menjelaskan, kegembiraan iblis karena pasangan yang bercerai itu dikarenakan dampaknya yang sangat buruk. Contoh dampak buruk itu misalnya membuat zina merajalela, lahir anak zina, keturunan sah terputus, anak menjadi broken home, psikis terganggu dan kerusakan-kerusakan lainnya.
Akan tetapi hal ini tidak bermakna cerai itu haram. Cerai tidak haram jika memang rumah tangga sudah sulit diselamatkan dan sudah dicoba berbagai jalan untuk mempertahankannya. Dari sisi ini, cerai harus dipahami sebagai solusi, yakni solusi terakhir pada saat konflik dalam rumah tangga sudah tidak bisa diselesaikan dengan prosedur standar.
Jika demikian, sekarang timbul pertanyaan,
“Kapan cerai menjadi tidak tercela?”
“Kapan saran untuk bercerai menjadi saran yang baik dan tidak dikuatirkan termasuk dosa?”
Jawaban singkat pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Keputusan cerai dan saran untuk bercerai menjadi tidak tercela jika pasangan suami istri sudah dalam posisi kuatir tidak sanggup lagi menegakkan ḥudūdullāh (batas-batas Allah) dalam rumah tangga. Dalilnya adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (Al-Baqarah: 230)
Dalam ayat di atas, Allah mengizinkan wanita yang telah ditalak suami kedua untuk kembali menikah dengan suami pertama selama mereka merasa bisa menegakkan ḥudūdullāh, yakni hukum-hukum Allah dalam rumah tangga yang diwajibkan-Nya. Makna implisitnya, jika mereka sudah merasa tidak sanggup menegakkan ḥudūdullāh itu, maka mereka diizinkan untuk berpisah.
Jadi standar cerai atau bertahan adalah ketakwaan, yakni perasaan takut dan kuatir membuat Allah marah karena tidak bisa melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Allah dalam lembaga pernikahan.
Ini jelas berbeda dengan standar di luar umat Islam. Mereka hanya mengejar kebahagiaan duniawi. Ketika merasa tidak bisa bahagia dengan pernikahan, maka mereka dengan mudah dapat memutuskan untuk bubar. Adapun dalam Islam, bahagia karena pernikahan adalah efek dari pergaulan yang baik. Disyukuri jika ada dan tidak disesali jika tidak terwujud atau jarang terwujud. Hanya saja, jika pergaulan rumah tangga sudah menyeret pada perbuatan yang mengarah pada murka Allah, maka barulah dipertimbangkan perceraian. Itupun setelah melalui mekanisme panjang, agar orang tahu bahwa cerai dalam Islam itu tidak bisa dibuat bermudah-mudah.
Kekuatiran tidak sanggup menegakkan hukum Allah dalam keluarga ini kemudian dirinci para fukaha kasus-kasusnya. Berikut ini beberapa contoh terpenting dari kasus-kasus di mana rumah tangga bisa dibubarkan.
- Suami tidak menafkahi padahal mampu
- Suami terkena penyakit berbahaya yang bisa membahayakan pasangan seperti kusta, HIV dan semisalnya
- Suami menjadi gila, baik gila temporal maupun permanen
- Suami tidak bisa memberi nafkah batin kepada istri karena impoten, majbūb (batang kemaluan terpotong sampai pangkal), kelainan jiwa dan lain sebagainya
- Suami mandul sehingga tidak ada harapan punya anak
- Suami berzina
- Suami melakukan kekerasan sampai level membahayakan nyawa
- Suami menghilang tanpa berita
- Suami menyerahkan urusan cerai atau bertahan ke tangan istri
- Suami bersumpah tidak akan berhubungan badan dengan istri tanpa batasan waktu yang jelas, lalu setelah 4 bulan hijriah tidak mau menggauli istri
- Istri tidak salat lima waktu
- Istri berzina
- Istri sering membangkang suami terutama sering menolak saat diajak berhubungan suami istri>
- Dan lain-lain
Adapun suami berpoligami, maka ini bukan alasan istri minta cerai sebab suami berhak menikah lebih satu berdasarkan ayat Al-Qur’an, meskipun tanpa izin istri yang sudah ada. Kecuali sebelum menikah sang istri mensyaratkan agar suaminya tidak menikah lagi lalu suami setuju. Dalam kondisi ini suami selayaknya memenuhi syarat tersebut jika mengikuti mazhab Hambali. Jika mengikuti mazhab Al-Syāfi‘ī, maka syarat tidak berpoligami adalah syarat fāsid (rusak) sehingga tidak mengikat. Poligami suami tetap bukan alasan yang membolehkan untuk bercerai meskipun di awal pernikahan sudah ada kesepakatan.
Demikian pula keaktifan di sebuah organisasi, meskipun organisasi yang membawa jargon-jargon Islam. Larangan suami kepada istri untuk aktif di organisasi bukan alasan untuk membolehkan cerai, sebab Allah memberikan hak besar untuk suami untuk ditaati yang lebih besar daripada hak pemimpin organisasi, bahkan lebih besar daripada hak orang tua wanita itu sendiri. Jadi saat suami melarang istri keluar rumah, maka istri wajib taat.
***
1 Żulqa‘dah 1442 H