Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Makna istilah silaturahmi dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah menyambung tali kekerabatan dengan cara berbuat baik kepada mereka. Jadi, sasaran silaturahmi itu kerabat. Tidak dinamakan silaturahmi jika yang dikontak itu bukan kerabat. Sayang, ketika istilah ini diserap dalam bahasa Indonesia, terjadi kekacauan makna istilah. Kini, kata silaturahmi dipakai untuk makna yang lebih luas, yakni menyambung tali persahabatan secara umum. Prakteknya, istilah ini dipakai politisi untuk kepentingan kampanye, dipakai pebisnis untuk membangun jaringan dan koneksi, bahkan dipakai sejumlah lelaki sebagai modus untuk mendekati wanita atau mencegah mereka putus kontak. Memang, kata silaturahmi ini termasuk kata-kata yang mengalami kekacauan makna setelah diserap dalam bahasa Indonesia seperti kata fitnah, ikhlas, zakat fitrah dan semisalnya.
Adapun aksi silaturahmi, maka ia bertingkat-tingkat. Ada yang paling tinggi dan ada yang paling rendah. Al-Qoḍī ‘Iyāḍ berkata,
Artinya,
“Silaturahmi itu bertingkat-tingkat.” (‘Umdatu al-Qārī, juz 22 hlm 90)
Tetapi secara umum bisa kita katakan bahwa tindakan silaturahmi adalah semua aksi memberi kebaikan apapun dan menghindarkan keburukan apapun kepada kerabat sesuai kemampuan. Ibnu Abū Jamrah berkata,
Artinya,
“Makna komprehensif silaturahmi adalah aktivitas mengantarkan semua jenis kebaikan yang dimungkinkan dan menghalau semua jenis keburukan yang dimungkinkan sesuai kemampuan.” (Fatḥu al-Bārī, juz 10 hlm 418)
TINGKATAN AMAL SILATURAHMI
Level amal silaturahmi bisa diurutkan sebagai berikut,
- Bil Māl (بالمال)
- Bil Khidmah (بالخدمة)
- Biz Ziyārah (بالزيارة)
- Bis Salām (بالسلام)
- Bi Tafaqqudi al-Aḥwāl (بتفقد الأحوال)
- Bi Kaffi al-Ażā (بكف الأذى)
Berikut ini penjelasan ringkas masing-masing aksi silaturahmi tersebut.
Bil Māl (بالمال)
Ini adalah tingkatan tertinggi. Bahkan, ini adalah hukum asal silaturahmi. Artinya, silaturahmi yang benar itu hukum asalnya adalah menyisihkan harta untuk diberikan kepada kerabat yang membutuhkan. Bukan sekadar menyapa atau mengunjunginya. Dalil yang menunjukkan bahwa Allah memerintahkan agar kita menyantuni kerabat dengan harta dan bahwa itu adalah silaturahmi adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Berilah hak kepada kerabat dan orang-orang miskin.”
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan agar kita memberikan hak kepada kerabat. Makna hak kerabat itu masih umum. Akan tetapi ketika lanjutan ayat berisi perintah memberikan hak kepada orang miskin, maka menjadi jelaslah maksud hak kerabat itu seperti apa.
Memberikan hak orang miskin dalam ayat ini tentu saja tidak dimaksudkan dengan mengunjungi rumah mereka atau tersenyum di depan mereka, tetapi yang dimaksud adalah memberikan sebagian harta kita kepada mereka. Ketika perintah memberikan hak kerabat di-’aṭaf-kan/ disambung dengan perintah memberikan hak orang miskin, maka hal ini menunjukkan bahwa memberikan hak kerabat itu yang dimaksud adalah memberi santunan harta kepada mereka.
Para mufasir telah sepakat bahwa maksud memberikan hak kerabat dalam ayat ini maknanya adalah silaturahmi. Artinya hukum asal silaturahmi itu sebenarnya menyantuni kerabat dengan harta. Ibnu Abū Jamrah menegaskan bahwa menyantuni dengan harta adalah bentuk silaturahmi. Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī mengutip perkataan beliau sebagai berikut,
Artinya,
“Silaturahmi bisa dilakukan dengan harta.” (Fatḥu al-Bārī, juz 10 hlm 418)
Jadi, mukmin yang serius melaksanakan perintah silaturahmi, maka dia akan mencari tahu apa ada di antara kerabatnya yang tidak punya uang sampai tidak bisa makan. Di akan mencari tahu, apakah ada kerabatnya yang sakit sehingga membutuhkan biaya pengobatan. Dia akan mencari tahu, apakah ada kerabat yang tempat tinggalnya tidak layak sehingga harus direnovasi. Dia akan mencari tahu apakah ada kerabat yang putus sekolah sehingga layak mendapatkan bantuan pendidikan. Bahkan dia akan mencari tahu apakah ada kafarat kerabat yang belum dibayarkan, nazar wajib yang belum ditunaikan, atau diyat/denda yang belum terlunaskan. Dia akan mengalokasikan hartanya untuk membantu kerabatnya yang punya masalah keuangan seperti itu dalam rangka melaksanakan perintah Allah terkait silaturahmi ini.
Bayangkan jika satu konsepsi silaturahmi ini saja dilaksanakan. Berapa banyak nasib orang miskin yang akan terangkat? Ada berapa banyak utang-utang yang akan terlunasi? Ada berapa banyak kerabat yang akan lepas dari jeratan rentenir? Ada berapa banyak anak-anak putus sekolah yang bisa melanjutkan pendidikannya?
Di masyarakat, masih banyak ketimpangan yang amat “njomplang” antar satu keluarga dengan keluarga lainnya padahal masih ada hubungan kerabat. Salah satu penyebab utamanya adalah karena memahami silaturahmi itu sekedar mengunjungi kerabat saat hari raya, menanyakan kabar, mengirim salam, bertamu, dan bentuk-bentuk lainnya, tanpa pernah berpikir bahwa menyantuni dengan harta itu justru bentuk terpenting silaturahmi.
Bentuk-bentuk silaturahmi dengan cara menyantuni dengan harta itu bisa beragam. Ia bisa berupa nafkah rutin, zakat, sedekah, hadiah, menanggung diyat, menanggung kewajiban nazar, menanggung kewajiban kafarat, menanggung kewajiban bayar utang, wasiat, wakaf, dan lain-lain. Termasuk semakna dengan ini adalah donor darah atau donor anggota tubuh. Jika tidak mampu menyantuni dengan cara memberi harta, maka minimal menghutangi. Jika santunan harta ini dikombinasi dengan kunjungan, maka ia adalah bentuk silaturahmi yang sempurna.
Bil Khidmah (بالخدمة)
Jika tidak mampu silaturahmi dengan harta, maka level berikutnya adalah silaturahmi dengan khidmah/pelayanan. Artinya, orang yang tidak punya harta atau punya harta tapi tidak sampai taraf berlebih, maka dia bisa menjalankan amal silaturahmi dengan memberikan pelayanan yang dimampuinya untuk membantu kerabat. Pelayanan ini bisa berupa sumbangan tenaga untuk membantu memenuhi kebutuhan kerabat yang butuh tenaga. Bisa juga berupa sumbangan pikiran untuk memecahkan masalah yang dihadapi kerabat. khidmah adalah jenis (qaḍā’ul ḥājah) yang juga dipuji dalam sejumlah dalil umum. Termasuk khidmah adalah menghalau segala sesuatu yang membahayakan mereka (daf’ud ḍarar).
Biz Ziyārah (بالزيارة)
Jika khidmah dengan tenaga atau pikiran juga tidak mampu, maka silaturahmi bisa dilakukan dengan sekedar mengunjungi (ziyārah). Wajah ramah saat berkunjung (ṭalāqati al-wajhi), menyempatkan diri untuk duduk bersama (mujālasah), berbincang-bincang (mukālamah) dan bersikap lemah lembut (talaṭṭuf) sudah terhitung silaturahmi.
Kunjungan/ziarah tidak bisa diremehkan. Ia sangat penting karena tanda penghargaan, cinta kasih, dan perhatian. Terutama sekali kerabat yang berdomisili di area yang cukup dekat atau jarang bertemu. Jika tidak dikunjungi, maka bisa muncul dugaan dan buruk sangka yang bermacam-macam. Apalagi kerabat yang sudah berusia tua. Kunjungan kerabat lain itu benar-benar sangat berharga bagi mereka, karena biasanya orang di usia senja itu miskin teman dan banyak yang kesepian.
Termasuk semakna dengan kunjungan adalah memenuhi undangan, membesuk kerabat yang sakit, mengantar jenazah, mendamaikan kerabat yang bertengkar, membersamai saat mereka gembira atau susah, dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Tentang intensitasnya, maka itu disesuaikan dengan kemampuan, situasi dan kondisi masing-masing. Prinsipnya, jangan terlalu sering karena justru malah mengganggu dan membuat tidak nyaman. Justru yang jarang-jarang itu yang bisa menambah cinta sebagaimana pepatah arab “Zur gibban tazdad ḥubbā”. Jika mampu sepekan sekali maka lakukan sepekan sekali. Jika mampunya sebulan sekali maka lalukan sebulan sekali. Jika mampunya setahun sekali maka lakukan setahun sekali. Jika mampunya sekali seumur hidup maka lakukan sekali seumur hidup, dan seterusnya.
Abū al-Laits al-Samarqandī berkata,
Artinya,
“Jika tidak mampu silaturahmi dengan harta, maka hendaknya bersilaturahmi dengan mereka (para kerabat itu) dengan kunjungan dan membantu pekerjaan mereka jika mereka membutuhkan.” (Tanbīh al-Gāfilīn, hlm 138)
Bis Salām (بالسلام)
Jika orang tidak sanggup silaturahmi dengan harta, khidmat, maupun kunjungan, maka minimal dengan mengucapkan salam. Makna mengucapkan salam berarti orang sudah berniat tidak “nyatru”, tidak memutus hubungan, mau berhubungan baik dan bersedia berbincang dengannya. Al-Bazzār meriwayatkan hadis Nabi ﷺ yang menunjukkan bahwa salam termasuk jenis silaturahmi,
Artinya
“Dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sambunglah tali kekerabatanmu meski hanya dengan salam.” (H.R. al-Bazzār)
Jika tidak mampu mengucapkan salam secara langsung, maka minimal dengan menulis surat atau mengirim utusan untuk menyampaikan salam. Pada zaman sekarang, mengirim salam sangat mudah dilakukan dengan media internet seperti memakai WA, telegram, Instagram Facebook, Line, dan berbagai aplikasi lainnya.
Termasuk silaturahmi jenis ini adalah mendoakan kerabat. Malahan, menurut Ibnu Abū Jamrah, silaturahmi dengan doa ini tidak gugur meskipun kerabat tersebut ahli maksiat atau kafir sekalipun. Ibnu Abū Jamrah berkata,
Artinya,
“Silaturahmi dengan doa tanpa sepengetahuan kerabat tidak gugur (meski mereka kafir atau ahli maksit) dengan harapan mereka kembali ke jalan mulia.” (Fatḥu al-Bārī, juz 10 hlm 418)
Bi Tafaqqudi al-aḥwāl (بتفقد الأحوال)
Jika salam pun tidak bisa karena putus kontak atau dihalangi kontak misalnya, maka silaturahmi minimal dilakukan dengan tafaqqudul ahwāl, yakni mencari tahu kondisi kerabat. Dengan menanyakan kabar hingga akhirnya tahu apakah kerabat sedang butuh bantuan pengobatan, bantuan pendidikan/ biaya sekolah, bantuan membeli pakaian, bantuan untuk tempat tinggal, dan sebagainya. Jika kondisi kerabat diketahui, maka bisa diagendakan (saat sudah mampu di masa yang akan datang) melakukan silaturahmi dengan cara silaturahmi yang ideal.
Bi Kaffi al-ażā (كف الأذى)
Jika semua di atas pun tidak bisa dilakukan, maka minimal jangan mengganggu kerabat. Ini adalah jenis silaturahmi serendah-rendahnya, karena bersifat pasif dan tidak melakukan perbuatan aktif. Tidak mengganggu (kaffū al-ażā) sudah termasuk jenis kebaikan ke kerabat. Sebab, orang sering terkuras energi, pikiran, bahkan harta benda hanya untuk menghadapi sebagian kerabat yang jahat, tak mau tahu, egois, pendengki dan mau menang sendiri.
Al-Bujairimī (sebagaimana al-Qoḍī ‘iyāḍ sebelumnya ) menegaskan bahwa amal silaturahmi itu memang bertingkat-tingkat. Beliau berkata,
Artinya,
“Yang wajib adalah silaturahmi dengan cara mengunjungi dan memberi hadiah. Jika tidak mampu silaturahmi dengan harta, maka hendaklah silaturahmi dengan kunjungan dan membantu pekerjaan mereka jika mereka membutuhkan. Jika kerabat di lokasi jauh, maka hendaknya silaturahmi dengan mengirim surat. Jika mampu mendatangi mereka, maka itu yang lebih afdal.” (ḥāsyiyah al-Bujairimī, juz 3 hlm 272)
Hanya saja, urutan ini tidak bersifat kaku. Bisa berubah urutannya tergantung kondisi kerabat dari sisi kebutuhannya (ḥājah) dan dari sisi pelaku silaturahim dari sisi kemampuannya (qudrah). Al-Qāḍī, ‘Iyāḍ berkata,
Artinya,
“Silaturahmi itu bertingkat-tingkat. Yang paling rendah adalah tidak memutus hubungan dengan cara mengajak berbicara meski hanya salam. Tingkatan-tingkatan itu berbeda-beda tergantung perbedaan qudrah (kemampuan orang yang melakukan silaturahmi) dan perbedaan ḥājah (kebutuhan kerabat yang menjadi sasaran silaturahmi).” (‘Umdatu al-Qārī, juz 22 hlm 90)
***
26 Ramadan 1442 H