Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Nusyūz istri makna mudahnya adalah pembangkangan seorang istri terhadap suaminya. Tapi tidak semua jenis pembangkangan disebut nusyūz, oleh karena itu menjadi penting untuk membahas batasannya.
Pengetahuan batasan nusyūz itu penting bagi suami. Sebab nusyūz istri itu berkonsekuensi berat, yakni gugurnya hak nafkah. Artinya, istri yang sudah melakukan nusyūz, hak nafkahnya gugur sehingga suami boleh menyetop nafkah rutin yang diberikannya. Pengetahuan batasan nusyūz juga penting bagi istri, karena dengan begitu dia bisa berhati-hati agar tidak melakukan dosa besar seperti itu dan tidak menuntut sesuatu yang bukan haknya.
PERBUATAN ISTRI YANG TERMASUK NUSYUZ
Ada empat perbuatan istri yang tergolong nusyūz.
Pertama, keluar rumah tanpa izin.
Seorang istri wajib minta izin kepada suaminya jika hendak keluar rumah. Tidak dibedakan apakah untuk melaksanakan kegiatan wajib seperti silaturahmi, sunah seperti mengunjungi orang sakit, maupun mubah seperti bekerja, berorganisasi atau bertamasya. Ada kondisi khusus terkait keluar rumah untuk haji pertama kali. Akan tetapi, prinsip umumnya, seorang istri wajib minta izin untuk semua aktivitas keluar rumah. Jika diizinkan maka silakan keluar, jika dilarang maka wajib taat. Jika sudah dilarang lalu tetap keluar, maka istri tersebut telah melakukan perbuatan nusyūz.
Kedua, menolak tinggal bersama suami.
Seorang istri wajib ikut suaminya di manapun diajak tinggal. Entah itu rumah orang tua suami, rumah kontrak, kamar kos, rumah sendiri, rumah yang jauh dari kampung halaman istri, luar negeri, lokasi panas, lokasi dingin dan lain sebagainya. Jika seorang istri menolak pindah rumah mengikuti suami dengan alasan misalnya tidak mau jauh-jauh dari orang tuanya, atau alasan yang lain, berarti wanita tersebut telah melakukan perbuatan nusyūz.
Ketiga, menolak saat diajak berhubungan badan
Seorang istri wajib mneyambut jika diajak bersetubuh suami. Tidak boleh menolak dengan alasan capek, malas, ngantuk, tidak mood dan lain sebagainya. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa wanita yang menolak diajak berhubungan badan suaminya di malam hari, lalu suaminya marah, maka malaikat akan melaknat wanita itu sampai subuh. Ini menunjukkan istri wajib taat kepada suami saat diajak berhubungan badan. Penolakan dalam hal ini terhitung dosa besar yang diancam laknat. Oleh karena itu, perbuatan seperti ini tergolong nusyūz.
Keempat, tidak menolak diajak setubuh tetapi menolak semua jenis istimtā‘ lainnya.
Maksud istimtā’ adalah bersenang-senang. Seorang suami yang melakukan istimtā’ kepada istri misalnya melakukan cumbuan, pelukan, ciuman, dan semisalnya. Jika seorang istri selalu taat saat diajak berhubungan badan, tetapi menolak dicium, menolak dicumbu, menolak dipeluk dan semua jenis istimtā’ lainnya, maka perbuatan seperti itu juga tergolong nusyūz.
Adapun jika nada bicara istri menjadi kasar padahal sebelumnya lembut, atau wajahnya masam padahal sebelumnya manis nan ramah, maka ini belum dihukumi nusyūz karena masih berupa tanda-tanda nusyūz, bukan nusyūz itu sendiri. Jadi, suami masih wajib memberi nafkah dan istri juga masih berhak menuntut nafkah.
Termasuk juga kata-kata tajam dari istri, ucapan buruk, makian, cacian, ucapan yang merendahkan kehormatan suami, ucapan yang menyinggung dan semisalnya, maka ini terhitung dosa, akan tetapi tidak termasuk definisi nusyūz. Suami boleh menghukum istri dengan ta’dīb, tetapi tetap wajib menafkahi. al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Makian dan lisan kotor tidak termasuk nusyūz, tetapi istri berdosa karena menyakiti suaminya dan istri tersebut layak mendapatkan hukuman ta’dīb.” (Rauḍatu al-ṭālibīn, juz 7 hlm 369)
Pembangkangan-pembangkangan “kecil” seorang istri seperti diminta membuatkan teh lalu menolak, diminta memijit lalu menolak, diminta mengambilkan barang lalu menolak, dan semisalnya juga tidak termasuk nusyūz meskipun itu tetap disebut perlakuan buruk seorang istri terhadap suaminya.
Wallāhu a‘lam.
***
9 Żulqa‘dah 1442 H