Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Kadar nafkah untuk istri yang wajib diberikan suami itu tidak ditentukan dari “proposal” yang disodorkan oleh istri. Tapi ditentukan oleh dalil.
Berdasarkan dalil, nafkah wajib untuk istri itu hanya terbatas untuk membiayai 3 hal atau cabang dari 3 hal ini, yaitu
- Makanan
- Pakaian
- Tempat tinggal
Pentingnya membahas batasan wajib di sini adalah untuk kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukhrawi. Terkait maslahat duniawi, batasan ini penting untuk mengetahui pada hal-hal apa saja seorang istri bisa menuntut suami (sampai level pengadilan sekalipun). Sebab nafkah wajib itu konsep umumnya adalah harus disedikan suami. Jika suami tidak punya harta, maka dia semestinya berutang. Jika istri memakai hartanya untuk membantu suami dalam nafkah wajib ini, maka uang istri boleh dicatat sebagai utang suami. Terkait maslahat ukhrawi, batasan ini penting agar suami bisa maksimal dalam bertakwa sehingga tidak sampai melalaikan hal wajib dalam rumah tangganya sendiri.
Dalil yang menunjukkan bahwa suami wajib menyediakan makanan dan pakaian adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Kewajiban ayah (suami) adalah menanggung nafkah (makanan) dan pakaian mereka –ibu- (istri) dengan cara yang patut.”
Dalam ayat di atas cukup jelas Allah membebani para suami untuk menjamin nafkah makanan dan pakaian istri. Lafal “rizquhunna” dalam ayat di atas diterangkan para mufassir maknanya adalah “iṭ’āmuhunna” (memberi makan istri). Hukum kewajiban dipahami dari ḥarf ‘alā pada frasa “wa ‘alal mauluḍi” yang bermakna ‘alā isti‘lā’. Jadi ayat ini cukup lugas menunjukkan wajibnya suami menjamin makanan dan pakaian istri dengan cara yang makruf.
Yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Perhatikan: hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan (kepada) mereka.” (H.R. Al-Tirmiżī)
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ mengingatkan para suami bahwa hak istri itu adalah memperolah pakaian dan makanan dari suami. Sesuatu dikatakan hak berarti bisa dituntut. Jika diabaikan berarti menjadi dosa. Maknanya, menjamin makanan dan pakaian istri hukumnya wajib bagi suami.
Adapun dalil yang menunjukkan suami wajib menyediakan tempat tinggal untuk istri, maka itu didasarkan pada ayat berikut ini,
Artinya,
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan para suami yang mentalak istri supaya menyediakan tempat tinggal untuk istri yang telah ditalaknya dan menjalani masa idah. Jika istri yang ditalak saja diperintahkan supaya disedikaan tempat tinggal, maka tentu istri yang tidak ditalak lebih layak dan lebih utama lagi (min bābi aulā) untuk disediakan tempat tinggal. Jadi, ayat ini menunjukkan suami wajib mneyediakan tempat tinggal untuk istrinya.
Adalagi ayat dalam Al-Qur’an yang mengajarkan secara implisit bahwa tiga kebutuhan ini (yakni sandang, pangan dan papan) adalah kebutuhan primer yang pasti dibutuhkan oleh setiap manusia ketika hidup di dunia. Ayat ini secara implisit menguatkan keharusan menyediakan pemenuhan kebutuhan primer ini kepada para istri. Bahkan secara implisit juga mengajarkan kepada para penguasa supaya serius mengamankan tiga kebutuhan primer ini untuk rakyatnya. Ayat yang dimaksud adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Sungguh, ada (jaminan) untukmu (wahai Adam) di sana, engkau tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang. Sungguh, di sana engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari.”
Dalam ayat di atas Allah mengajarkan kepada Adam tentang kenikmatan di surga dan dibandingkan dengan kehidupan dunia. Di surga itu, siapapun yang ada di dalamnya
- Tidak akan merasa lapar dan haus (artinya terjamin kebutuhan makan)
- Tidak akan telanjang (artinya terjamin kebutuhan pakaian)
- Tidak akan terkena panas matahari (artinya terjamin rumah/tempat tinggal yang melindunginya dari panas dan hujan)
Berbeda dengan kehidupan di dunia. Jika Adam sampai tergoda iblis dan memakan buah larangan maka dia akan dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi. Dengan begitu, maka dia tidak dijamin selalu kenyang, selalu berpakaian dan selalu bisa berteduh. Jadi, ayat ini secara implisit mengajarkan 3 kebutuhan pokok/primer manusia yakni sandang, pangan dan papan.
Untuk rincian tiga macam nafkah ini, nantikan penjelasan detailnya dalam tulisan-tulisan berikutnya, insya Allah.
Adapun kosmetik/skin care/alat kecantikan, jika itu disediakan suami maka hal tersebut adalah kebaikan tambahan, tetapi statusnya tidak wajib. Tapi ada ketentuan khusus: Jika suami telah menyediakan alat-alat kecantikan, maka wajib hukumnya bagi istri untuk menggunakannya.
Adapun biaya pengobatan, jika itu disediakan suami maka hal tersebut adalah kebaikan dan kemuliaan. Akan tetapi jika suami tidak membiayainya, maka suami tidak berdosa karena hukum berobat dalam mazhab Al-Syāfi‘ī adalah sunah, bukan wajib.
Adapun biaya pendidikan formal istri, maka itu juga kebaikan tambahan tapi tidak bersifat wajib dipenuhi. Misalnya seorang lelaki menikahi wanita yang masih kuliah dan belum lulus. Jika suami bersedia membiayai, maka itu kebaikan, tapi jika menolak karena keuangannya tidak mencukupi maka tidak berdosa.
Kebutuhan yang tidak bersifat primer seperti rekreasi, perhiasan, tas branded, dan semisalnya juga jelas tidak wajib.
Terkait gagasan sebagian orang yang membedakan antara uang belanja dan uang nafkah, yakni mengatakan uang belanja itu uang makan, uang listrik dan lain-lain sementara uang nafkah itu uang jajan istri dan dua-duanya wajib disediakan suami, maka ini adalah kejahilan, tidak ada basis ilmunya, tidak berdalil, membuat syariat baru dan fatwa yang terbit tanpa dasar. Pemberi fatwa seperti itu seyogyanya diingatkan serius dan jika keras kepala sudah selayaknya di-taḥżīr agar tidak menyesatkan para awam.
***
18 Żulqa‘dah 1442 H