Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Nafkah untuk istri itu dari sisi status kepemilikan bisa dibagi menjadi dua yaitu nafkah imtā‘ (الامتاع) dan nafkah tamlīk (التمليك).
Makna nafkah imtā’ secara mudah adalah jenis nafkah yang mana seorang istri boleh menikmati nafkah tersebut, tetapi tidak berhak memilikinya. Status harta yang dinafkahkan itu tetap milik suami atau milik orang lain yang mengizinkan suami memakainya. Hak istri hanya memanfaatkan dan menikmatinya, tapi bukan memilikinya. Kata imtā‘ sendiri berasal dari kata amta‘a (أمتع) yang bermakna “memberi nikmat”. Jadi, ketika suami menafkahkan jenis nafkah imtā’ ini, maksud suami hanyalah mengizinkan harta tersebut dinikmati, dipakai, digunakan dan dimanfaatkan oleh istri, tapi bukan dimiliki dan dikuasai atas namanya.
Adapun makna nafkah tamlīk, makna mudahnya adalah jenis nafkah yang mana seorang istri bukan hanya boleh menikmati dan memanfaatkan nafkah tersebut, tetapi dia juga sekaligus memilikinya. Oleh karena dia memilikinya, maka berlaku hukum-hukum milkiyyah/kepemilikan. Sang istri boleh memakainya sampai habis/rusak, boleh juga menjualnya, mensedekahkannya, menghibahkannya, mewakafkannya dan semua jenis taṣarruf yang diizinkan syara’ terhadap orang yang memiliki harta tertentu secara sah.
Contoh nafkah imtā’ untuk istri adalah nafkah berupa tempat tinggal. Jika seorang suami menyediakan rumah untuk istrinya, maka itu tidak bermakna suami memberikan rumah itu untuk sang istri. Sebab tempat tinggal termasuk jenis nafkah imtā’. Jadi, status rumah itu tetap milik suami yang berhak dijual suami, disedekahkan, dihibahkan, diwakafkan atau taṣarruf mubah lain. Status istri hanya menikmati rumah itu untuk ditinggali sebagai nafkah wajib yang berhak diterimanya. Jika suami menjual rumah tersebut, maka keputusan tersebut menjadi haknya, tetapi suami wajib menyediakan tempat tinggal pengganti. Status nafkah imtā’ ini juga berlaku pada saat rumah yang disediakan suami bukan rumahnya sendiri, tetapi rumah kontrak, atau kamar kos, atau rumah orang tuanya, atau atau rumah wakaf, atau rumah dermawan yang mengizinkan untuk ditempati. Status rumah tersebut tetap milik empunya masing-masing dan tidak berpindah kepemilikan ke suami, apalagi ke istri.
Contoh lain nafkah imtā’ untuk istri adalah pembantu. Di zaman dulu, pembantu umumnya dari kalangan budak. Masih jarang pembantu dari kalangan wanita merdeka dengan gaji. Jika seorang wanita mendapatkan pembantu dari suami, maka hak istri hanyalah memanfaatkan tenaga sang pembantu untuk mengurus rumah. Istri tidak berhak memiliki pembantu budak tersebut kemudian menjualnya, misalnya. Jika pembantu itu wanita merdeka, misalnya, hak istri juga hanya memanfaatkan tenaganya. Istri tidak berhak menyewakan lagi pembantu tersebut atau “meminjamkan” pembantu itu untuk bekerja di rumah tetangganya, misalnya. Istri boleh melakukan itu hanya jika diizinkan suami.
Contoh lain jenis nafkah imtā’ adalah jika suami makan bersama-sama istri dalam satu rumah. Artinya, suami saat memberikan uang nafkah misalnya, uang tersebut dibelikan makanan untuk dimakan bersama-sama antara suami dengan istri. Yang seperti ini status nafkahnya adalah jenis nafkah imtā’. Status uang belanja yang diberikan suami kepada istri tetap milik suami, tetapi istri diberi kepercayaan untuk mengelola supaya dipakai membeli kebutuhan makan keluarga yang akan dimakan bersama-sama. Hak istri hanyalah ikut menikmati makanan tersebut, tapi tidak ikut memilikinya. Jadi dia tidak berhak menjual, menghibahkan, atau mensedekahkan makanan itu kecuali dengan izin suaminya. Istri juga tidak berhak memakai uang belanja tersebut untuk pembelian selain yang diizinkan suami. Misalnya istri ingin membeli tas memakai uang belanja yang diamanahkan suami untuk kebutuhan sehari-hari. Yang seperti ini tidak boleh, kecuali suami mengizinkannya.
Contoh lain imtā’ dalam kehidupan sehari-hari adalah makanan yang disuguhkan kepada tamu di rumah atau dalam acara walimah. Para tamu diizinkan menikmati makanan yang disuguhkan sampai taraf menghabiskan sekalipun, tapi tidak berhak membawa pulang ke rumah (kecuali yang diizinkan secara ma’ruf), menjual, mewariskan, melarang orang lain menikmatinya dan berbagai taṣarruf yang lain. Ini adalah contoh imtā’ atau yang disebut sebagian ulama lain dengan istilah ibāḥah (الإباحة).
Itu semua adalah contoh nafkah imtā’ untuk istri dan beberapa contoh lain dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun nafkah tamlīk untuk istri, maka itu mencakup nafkah berupa makanan dan pakaian. Artinya, jika suami memberikan beras 50 Kg untuk nafkah istri selama sebulan, atau suami memberi uang senilai itu, maka beras atau uang itu sah dimiliki istri sebagai harta miliknya. Dia bebas menjualnya jika mau, atau menghibahkannya, atau mensedekahkannya atau taṣarruf yang lain. Termasuk jika suami membelikan istri baju atau uang senilai baju, maka boleh bagi istri untuk menjualnya kembali atau menghibahkannya, atau mensedekahkannya atau mewakafkannya dan semua taṣarruf terhadap harta milik yang lain.
Al-Khaṭīb al-Syirbīnī berkata,
Artinya,
“Dalam urusan tempat tinggal dan pembantu yang wajib adalah imtā’, bukan tamlīk.” (al-Iqnā‘ fī ḥalli Alfāżi Abī Sujā‘, juz 2 hlm 487)
***
19 Żulqa‘dah 1442 H