Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Allah memerintahkan suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi istri. Allah berfirman,
Artinya,
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”
Konteks ayat di atas sebenarnya menyediakan tempat tinggal bagi istri dalam masa idah. Tapi justru dari situ dipahami wajibnya menyediakan tempat tinggal untuk istri yang tidak menjalani masa idah. Sebab, istri yang sudah ditalak dan menjalani masa idah saja wajib disediakan tempat tinggal, apalagi istri yang masih dimiliki sempurna, tentu lebih utama (min bāb aulā).
Oleh karena menyediakan tempat tinggal adalah kewajiban suami, berarti mendapatkan tempat tinggal adalah hak istri. Sesuatu jika dikatakan hak, berarti istri diizinkan menuntutnya sampai ke level pengadilan sekalipun. Hanya saja, jika sesuatu dikatakan hak, bukan berarti istri wajib menuntutnya. Tidak. Bahkan sunah menuntutnya saja juga tidak. Menuntut hak itu diizinkan statusnya, alias mubah. Bukan wajib dan bukan sunah.
Malahan, sebagaimana umumnya ḥaqqun ādamī (hak manusia, bukan hak Allah), semua ḥaqqun ādamī bisa digugurkan asalkan yang punya hak sukarela menggugurkan. Lebih dari itu, hal tersebut tercatat sebagai amal saleh, bahkan amal saleh besar karena bisa memutihkan dosa wanita di hari kiamat. Sebab ada hadis yang mana Allah memuji orang yang memutihkan piutang kepada orang yang kesulitan membayar utang. Pahala saat memutihkan piutang ini sifatnya umum, mencakup piutang yang ada pada orang lain termasuk piutang yang ada pada suami. Malahan, kebaikan kepada suami layak diutamakan mengingat hak suami snagat besar yang melalui dia seorang istri banyak mendapatkan kenikmatan dari Allah.
Terkait status nafkah tempat tinggal, yang wajib bagi suami adalah menyediakan tempat tinggal untuk istri sebagai imtā‘ bukan tamlīk. Penjelasan lebih detail konsepsi nafkah imtā’ dan tamlīk silakan baca artikel saya yang berjudul “BEDANYA NAFKAH TAMLĪK DENGAN NAFKAH IMTĀ‘.”
Jadi, hak istri istri saat bertempat tinggal di lokasi yang ditunjuk suami hanyalah menikmati tempat tinggal tersebut, bukan memilikinya. Kecuali suami lugas mengatakan, “Rumah itu saya berikan kepadamu,” lalu dijawab istri, “Oke” atau “Iya” atau “Terima kasih sayang” atau kalimat-kaimat lain yang menunjukkan afirmasi. Selama tidak ada lafal hibah, maka hak istri hanyalah menikmatinya, bukan memilikinya meskipun suami berkali-kali mengatakan “rumah kita”.
Patut dicatat, rumah tempat tinggal yang disediaan suami untuk istri itu tidak harus milik suami pribadi. Rumah siapapun, boleh dijadikan nafkah tempat tinggal untuk istri selama suami mendapatkannya dengan cara yang benar. Misalnya,
- Rumah orang tua suami (setelah suami minta izin kepada orang tuanya dan diizinkan tinggal di situ)
- Rumah orang tua istri (setelah suami minta izin kepada mertuanya dan diizinkan tinggal di situ)
- Rumah dinas/rumah negara
- Rumah dermawan (misalnya ada orang kaya mengizinkan rumahnya ditinggali agar sekalian ada yang merawat, atau agar sekalian bisa dipakai untuk kegiatan pendidikan islami)
- Rumah wakaf (karena suami misalnya ditunjuk sekalian sebagai nāẓir atau termasuk orang yang berhak menempati rumah wakaf itu sesuai syarat wakif)
- Rumah yang dibangun bersama oleh pasangan suami istri
- Rumah kontrak
- Apartemen
- Kamar kos
- Dan lain-lain
Semua jenis tempat tinggal ini sah sebagai nafkah tempat tinggal sebab Allah memerintahkan memberi nafkah tempat tinggal sesuai kemampuan suami. Artinya, Allah tidak menuntut tempat tinggal itu harus dimiliki suami. Jika mampunya baru sewa, maka tidak mengapa. Jika mampunya baru pinjam juga tidak mengapa. Jika mampunya baru kamar kos juga tidak tercela. Ibnu al-Mulaqqin berkata,
Artinya,
“Tidak disyaratkan tempat tinggal itu dimiliki suami. Artinya, bahkan boleh jika tempat tinggal itu hasil pinjaman atau kontrakan karena target (menyediakan tempat tinggal)-nya telah terpenuhi.” (‘Ujālatu al-Muḥtāj juz 4 hlm 1480 )
Adapun kualitas tempat tinggal, maka yang penting layak huni. Kualitas tempat tinggal disesuaikan dengan kondisi istri, sebab istri tidak kuasa pindah dari tempat tinggal yang disediakan suami, jadi suami harus memperhatikan kebutuhan istri. Dalam tempat tinggal itu suami wajib menyediakan alat pembersih rumah yang menjamin istri tidak terganggu karena kotornya rumah.
Jika suami miskin, dan istri yang malah kaya sehingga yang punya rumah pribadi justru istri, bukan suami lalu istri mengizinkan suami tinggal bersamanya, maka gugurlah hak tempat tinggal dan istri tidak berhak menuntut nafkah tempat tinggal atau meminta sewa tempat tinggal pada suami. Sebab izin mutlak tanpa ada pembicaraan kompensasi dihukumi bermakna i‘ārah atau ibāḥah. Ibnu al-Mulaqqin berkata,
Artinya,
“Seandainya istri tinggal bersama suami di rumah istri selama beberapa waktu, maka gugurlah hak tempat tinggal untuk istri. Sang istri tidak berhak menuntut suami uang sewa tempat tinggal di rumahnya, jika istri mengizinkan suami tinggal bersamanya. Sebab izin mutlak yang tidak mengandung pembicaraan kompensasi diperlakukan seperti i’ārah (pinjam barang) dan ibāḥah (izin menikmati). Ibnu al-Ṣalāḥ memfatwkan demikian.” (‘Ujālatu al-Muḥtāj juz 4 hlm 1480 )
***
22 Żulqa‘dah 1442 H