Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Pembahasan hukum menyediakan pembantu untuk istri dalam mazhab al-Syāfi‘ī itu bukan dalam rangka membantu istri mengerjakan aktivitas rumahan. Sebab aktivitas memasak, menyapu, mencuci dalam mazhab al-Syāfi‘ī bukan kewajiban istri! Alasan ijtihad ini adalah, obyek akad (ma‘qūd ‘alaih) dalam akad nikah itu istimtā’ (bersenang-senang dengan istri), bukan manāfi‘ (jasa istri) untuk mengerjakan urusan rumah tangga. Jadi, yang wajib bagi istri dalam mazhab al-Syāfi‘ī hanyalah taat dalam urusan ranjang atau yang terkait dengan itu seperti wajibnya minta izin jika hendak keluar rumah, wajibnya minta izin jika hendak puasa sunah, wajibnya taat jika diajak pindah rumah dan semisalnya. Semua urusan rumah yang tidak terkait istimtā’ dipandang tidak wajib dikerjakan istri. Semua riwayat yang menunjukkan wanita di zaman Nabi ﷺ melakukan pekerjaan rumah ditafsirkan sebagai perbuatan sukarela yang menunjukkan kemuliaan istri, bukan kewajibannya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Adapun memasak, menyapu dan mencuci maka semua itu tidak wajib bagi istri.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 9 hlm 45)
Jadi, sekali lagi, pembahasan hukum menyediakan pembantu untuk istri dalam mazhab al-Syāfi‘ī itu bukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi semata-mata untuk melayani istri!
Oleh karena itu, bagi para istri yang suaminya mengambil pendapat mazhab al-Syāfi‘ī, tidak perlu berpikir menuntut pembantu karena memang aktivitas memasak, menyapu dan mencuci itu memang bukan kewajibannya. Yang insya Allah saya bahas terkait hukum menyediakan pembantu ini adalah khusus pembantu yang diadakan untuk melayani istri, bukan melayani suami atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Hanya saja, masalah jangkauan pelayanan suami ini memang ada ikhtilaf. Mazhab al-Syāfi‘ī membatasi kewajiban istri hanya dalam urusan ranjang atau yang terkait dengannya. Mazhab Hanafi berpendapat istri wajib melayani suami secara mutlak, termasuk memasak, menyapu dan mencuci atau aktifitas pelayanan mubah lainnya. Salah seorang ulama besar mazhab al-Syāfi‘ī yang bernama Abū Tsaur, juga berpendapat seperti ini. Yakni, istri wajib melakukan pekerjaan rumah dan melayani suaminya dalam segala hal, tidak terbatas dalam urusan ranjang saja. Ibnul Qayyim menukil pendapat Abū Tsaur ini sebagai berikut,
Artinya,
“Abū Tsaur berkata, ‘Istri wajib melayani suaminya dalam segala hal.” (Zādu al-Ma‘ād, juz 5 hlm 263)
Timbul pertanyaan sekarang, “Bagaimana jika pilihan fikih antara suami dengan istri berbeda? Pendapat siapa yang diterapkan dalam rumah tangga?”
Jawaban singkatnya adalah pilihan suami yang diterapkan.
Jadi, jika suami punya pendapat mewajibkan istri melayaninya dalam segala urusan rumah sementara istri mengikuti pendapat mazhab al-Syāfi‘ī yang tidak mewajibkan istri memasak, menyapu dan mencuci, maka istri wajib mengikuti pendapat suami. Demikian pula sebaliknya.
Alasannya, suami adalah pemimpin istri, jadi istri wajib mengikuti suami dalam perkara zanni. Dalam urusan ranjang saja Allah memerintahkan taat suami dan mengancam istri dengan laknat jika menolak ajakan suami, padahal itu urusan pelampiasan syahwat, maka menaati suami dalam urusan din (yakni pilihan fikih) lebih utama ditaati. Suami dalam hal ini termasuk definisi ulil amri yang wajib ditaati istri setelah Allah dan Rasul-Nya sebagaimana diterangkan Abū Ḥayyan dalam tafsirnya; Al-Baḥru al-Muḥīṭ. Al-Suyūṭi dalam kitab al-Asybāh wa al-Naẓā’ir juga menegaskan prinsip ini, yakni hak suami untuk ditaati istri dalam perkara ikhtilaf. Al-Suyūṭī berkata,
Artinya,
“Sesuatu yang diperselisihkan tidak boleh dianggap mungkar. Tetapi yang boleh dianggap mungkar (sehingga berlaku hukum amar makruf nahi mungkar) adalah perkara ijmak. Tetapi ada beberapa kasus yang dikecualikan. Ketiga: Orang yang melakukan melakukan nahi mungkar punya hak dalam topik yang diperselisihkan, misalnya suami yang melarang istrinya minum nabīż, yakni jika istri meyakini kemubahannya (sementara suami meyakini keharamannya). Demikian pula suami berhak melarang istri żimmi-nya berdasarkan pendapat yang kuat.” (al-Asybāh wa al-Naẓā’ir, hlm 158)
Jadi, status istri terhadap suami dalam perkara ikhtilaf fikih adalah seperti rakyat terhadap penguasa (ulil amri dalam negara). Dalam perkara ikhtilaf, rakyat terikat pilihan fikih penguasa berdasarkan kaidah “amr al-imām yarfa’u al-khilāf” (perintah pemimpin menyelesaikan perselisihan).
Jika suami telah mengambil pendapat bahwa istri wajib melayani suami dalam segala urusan rumah, termasuk memasak, menyapu dan mencuci, maka sudah jelas istri tidak berhak menuntut pembantu sebab itu semua kewajibannya dan dia dituntut melakukan semua pekerjaan itu demi membuat Allah rida.
MENYEDIAKAN PEMBANTU UNTUK ISTRI DALAM MAZHAB AL-SYĀFI‘Ī
Menyediakan pembantu dalam rangka melayani istri seperti mencucikan bajunya, mengambilkan air untuknya, memasakkan untuknya, memijitinya, membantunya bersolek, membelikan kebutuhannya, mengantarnya ke mana-mana dan sebagainya itu dalam mazhab al-Syāfi‘ī bisa WAJIB bagi suami dan bisa juga TIDAK WAJIB.
KONDISI WAJIB MENYEDIAKAN PEMBANTU
Suami wajib menyediakan pembantu untuk istri jika sebelumnya istri terbiasa dilayani pembantu. Tidak peduli istri menuntut pembantu ataukah tidak, jika istri termasuk jenis wanita yang biasa dilayani pembantu, maka wajib suami menyediakannya karena ini bagian dari mu’āsyarah bil ma‘rūf (pergaulan yang makruf). Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Wanita itu ada dua macam. Pertama adalah golongan yang tidak melayani dirinya sendiri dalam tradisi negeri setempat. Malahan mereka punya pembantu yang melayani mereka. Istri yang termasuk golongan mereka, maka suami wajib menyediakan pembantu untuknya berdasarkan pendapat terkuat mazhab al-Syāfi‘ī. Inilah yang ditegaskan jumhur.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 9 hlm 45)
Jadi suami wajib menyediakan pembantu hanya untuk wanita spesial, tidak semua wanita. Yakni wanita yang memang tidak biasa melayani dirinya sendiri karena terbiasa dilayani.
Adapun standar untuk mengetahui apakah seorang wanita terbiasa dilayani ataukah tidak, maka hal itu diketahui dengan cara melihat kehidupannya sebelum menikah saat di rumah ayahnya. Di zaman dulu, wanita yang biasa dilayani adalah putri khalifah, putri menteri, putri pejabat negara, putri orang kaya dan semisal dengan mereka. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Yang dijadikan ukuran pada wanita adalah kebiasaannya di rumah ayahnya.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 9 hlm 44)
Ada sebagian ulama yang menambahkan standar, yakni kecantikannya. Jika wanita punya kecantikan di atas rata-rata dan kebiasaan wanita dengan level kecantikan seperti itu dilayani, maka suami wajib menyediakan pembantu untuknya.
Kewajiban menyediakan pembantu ini tidak dipedulikan apakah suami kondisi keuangannya termasuk kaya (mūsir) atau miskin (mu‘sir). Jadi, suami kaya wajib menyediakan pembantu, suami miskin juga wajib menyediakan pembatu. Oleh karena itu, para lelaki yang hendak menikahi “anak sultan” sebaiknya mempertimbangkan betul aspek hukum ini.
Kewajiban suami hanyalah menyediakan satu pembantu saja. Jika istri berinisiatif menyewa pembantu ke-3, ke-4 dan seterusnya, maka itu harus seizin suami. Jika suami melarangnya, maka tidak boleh menambah pembantu. Meskipun biaya sewa pembantu itu memakai uang istri, maka tetap harus seizin suami.
Jangankan memasukkan pembantu yang tidak diridai suami, memasukkan orang tua istri dalam rumah saja suami berhak melarang, meskipun ini status hukumnya makruh.
Penentuan siapa yang dijadikan pembantu adalah keputusan suami. Istri boleh mengusulkan, tetapi keputusan tetap di tangan suami. Hanya saja, jika istri selama ini sudah ditemani pembantu khusus dan sudah nyaman sekali dengan pembantu tersebut karena diasuh sejak kecil hingga usia menikah, maka istri berhak membawa pembantu tersebut ke rumah suaminya, dan suami tidak boleh memisah istri dengan pembantu kesayangannya kecuali ada tanda-tanda mencurigakan dan berbau pengkhianatan.
Nafkah berupa pembantu termasuk jenis nafkah imtā‘, bukan tamlīk. Jadi istri hanya berhak menggunakan tenaga pembantu itu. Seandainya pembantu tersebut budak wanita, maka hak kepemilikan tetap di tangan suami, bukan istri. Jika suami menghibahkan budak wanita tersebut kepada istri, barulah sah budak wanita itu menjadi miliknya.
Inilah beberapa ketentuan terpenting terkait kondisi suami wajib menyediakan pembantu untuk istri. Hanya saja, hak istri mendapatkan pembantu seperti ini termasuk ḥaqqun ādamī, artinya bisa digugurkan. Misalnya ada wanita anak orang kaya raya yang terbiasa dilayani pembantu. Lalu dia jatuh cinta dengan lelaki miskin yang saleh. Lalu mereka menikah. Seharusnya, meskipun suami miskin, dia tetap wajib menyediakan pembantu untuk istrinya. Tetapi karena sang istri tidak ingin menyusahkan suaminya, dia menggugurkan haknya tersebut. Yang seperti ini boleh dan suami tidak dibebani lagi menyediakan pembantu.
KONDISI TIDAK WAJIB MENYEDIAKAN PEMBANTU
Suami tidak wajib menyediakan pembantu untuk istri jika istrinya termasuk kelompok wanita yang terbiasa mengurusi dirinya sendiri tanpa bantuan pembantu. Dalam kondisi ini, meskipun suami kaya raya sekalipun, maka tidak wajib baginya menyediakan pembantu untuk istri.
Jika istri mengerjakan pekerjaan rumah sendiri dan melayani dirinya sendiri lalu meminta uang yang dialokasikan untuk pembantu, maka suami tidak wajib memberikan.
Tetapi, jika istri jatuh sakit atau diuji penyakit menahun yang membuatnya perlu pelayanan pembantu, maka suami wajib menyediakan pelayan tersebut. Jika satu orang pembantu tidak cukup, maka harus ditambah lagi sampai cukup.
***
23 Żulqa‘dah 1442 H