Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Ikhtilaf (perbedaan pendapat) fikih dalam kehidupan rumah tangga itu ada yang terkait dengan penyelenggaraan rumah tangga dan ada yang tidak terkait.
Ikhtilaf fikih yang terkait dengan penyelenggaraan rumah tangga berpotensi menimbulkan masalah, perselisihan, konflik, pengabaian hak, kekecewaan, ketidaksukaan, sampai pertengkaran dan kebencian. Adapun ikhtilaf fikih yang tidak memengaruhi interaksi suami-istri, maka perbedaan di antara pasangan suami-istri tidak menimbulkan problem apapun.
Contoh ikhtilaf fikih yang memengaruhi hubungan dan interaksi suami istri adalah terkait hukum melakukan pekerjaan rumah bagi istri. Jika istri mengikuti mazhab al-Syāfi‘ī, maka dia memandang aktivitas memasak, menyapu dan mencuci bukanlah kewajibannya. “Hanya” disunahkan saja. Suami lah yang punya tanggungan mengurus itu, baik di tangani sendiri maupun memerintahkan pembantunya untuk mengurusnya. Akan tetapi jika suami mengikuti mazhab Hanafi atau mengikuti pendapat salah satu ulama besar mazhab al-Syāfi‘ī yang bernama Abū Tsaur (meskipun ini bukan pendapat mu‘tamad), maka suami memandang bahwa pekerjaan rumah seperti memasak, menyapu dan mencuci adalah kewajiban istri. Jelas perbedaan pendapat ini akan menimbulkan masalah, karena suami memandang istri berdosa saat tidak melakukan aktivitas itu sementara istri memandang suami lah yang berdosa karena tidak melaksanakan aktivitas tersebut.
Contoh lain ikhtilaf fikih yang memengaruhi pergaulan pasangan suami istri adalah sikap terhadap cadar. Ambil contoh misalnya istri berpendapat cadar tidak wajib. Tapi suami berpendapat cadar itu wajib. Suami ingin istri memakai cadar setiap keluar rumah karena dia cemburu wajah cantik istrinya dinikmati lelaki lain. Istri merasa itu tidak wajib sehingga tidak mau. Akhirnya terjadilah konflik karena masing-masing merasa melaksanakan hukum Allah.
Contoh lain ikhtilaf fikih yang memengaruhi penyelenggaraan rumah tangga adalah hukum wanita haid membaca Al-Qur’an. Istri misalnya sangat pakar dalam tajwid dan berpendapat bahwa wanita haid haram membaca Al-Qur’an mengikuti mazhab al-Syāfi‘ī. Tapi suami mengikuti pendapat al-Bukhārī bahwa wanita haid mubah membaca Al-Qur’an. Ketika haid, istri tidak mau mengajar anaknya membaca Al-Qur’an dengan alasan haid. Suami jadi kecewa, karena anaknya jadi terlambat bisa membaca Al-Qur’an sementara dirinya tidak sebagus istrinya dalam membaca Al-Qur’an. Akhirnya timbul lah pertengkaran.
Anda bisa menambah sendiri contoh-contoh ikhtilaf fikih pasangan suami istri yang mempengaruhi pergaulan mereka.
Contoh ikhtilaf fikih yang tidak menimbulkan perselisihan misalnya masalah gerakan sujud apakah mendahulukan lutut ataukah tangan. Yang semacam ini tidak menimbulkan masalah karena suami sudah senang melihat istrinya salat dan istri juga sudah senang melihat suaminya salat. Demikian pula ikhtilaf semacam menggerakkan atau tidak menggerakkan telunjuk saat tasyahud, ikhtilaf bacaan doa iftitah, ikhtilaf bacaan doa saat rukuk dan sujud, dan semisalnya.
Terkait ikhtilaf yang tidak menimbulkan masalah, tentu saja pasangan suami istri berhak bertaklid kepada ulama mu’tabar siapapun yang dikehendakinya. Jika keduanya mujtahid (meskipun zaman sekarang ini hanya ada secara teoritis dan faktanya hampir mustahil), maka mereka juga berhak berijtihad berdasarkan ilmu masing-masing.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah, “Bagaimana menyikapi ikhtilaf fikih pada hal-hal yang bisa menimbukan masalah dalam rumah tangga? Pendapat siapa yang harus diikuti? Apakah istri yang harus ikut suami ataukah suami yang harus ikut istri? Ataukah masing-masing tetap berpegang pada pendapatnya meski rumah tangga berakhir dengan perceraian karena bertengkar terus menerus?”
PENYIKAPAN
Jawaban singkat dari pertanyaan di atas adalah “Istri wajib mengikuti pilihan fikih suami”
Ada beberapa argumentasi yang mendasari ketentuan ini.
PERTAMA,
Allah memerintahkan semua hamba-Nya (termasuk para istri) supaya taat kepada Allah Rasul-Nya kemudian kepada ulil amri. Suami termasuk ulil amri sebagaimana keterangan Abū Ḥayyān dalam tafsirnya. Penjelasan ini bisa diterima, sebab makna bahasa ulil amri adalah “orang yang punya otoritas memerintah” atau “orang yang punya otoritas dalam urusan tertentu”. Oleh karena itu, ulil amri mencakup penguasa, ulama, orang tua, majikan, pengurus anak yatim dan suami. Abū Ḥayyān berkata,
Artinya,
“Zahirnya, ulil amri adalah setiap orang yang mengurusi urusan tertentu dengan wewenang yang sah. Para ulama mengatakan, “Hingga istri pun wajib taat kepada suaminya, budak wajib taat kepada tuannya, anak wajib taat kepada orang tuanya, dan anak yatim wajib taat kepada pengasuhnya. Yakni terkait dengan hal yang membuat Allah rida dan mengandung kemaslahatan.” (al-Baḥru al-Muḥīṭ, juz 3 hlm 686)
Oleh karena suami adalah ulil amri, maka dia wajib ditaati sehingga pilihan fikihnya termasuk perkara yang juga wajib ditaati.
KEDUA,
Allah menegaskan bahwa posisi suami terhadap istrinya adalah sebagai qawwām. Allah berfirman,
Artinya,
“Laki-laki (suami) itu pengurus bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”
Suami diposisikan sebagai qawwām berarti beliau menjadi pemimpin, pengurus dan pengatur yang bertanggung jawab terhadap wanita. Seorang pemimpin tentu harus ditaati. Oleh karena itu, dalam perkara ikhtilaf fikih pilihan suami wajib ditaati karena beliau adalah pemimpin dan pengatur istri berdasarkan ayat ini pula.
KETIGA,
Rasulullah ﷺ memerintahkan para istri taat kepada suaminya dengan redaksi yang umum dan mutlak. Dalam hadis lainnya Rasulullah ﷺ juga menegaskan hak suami sangat besar. Keumuman taat itu mencakup dalam urusan ikhtilaf fikih. Jadi wajib hukumnya istri mengikuti pilihan fikih suami. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Dari Abdurrahman bin Auf berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila seorang istri melaksanakan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu inginkan’.” (H.R.Ahmad)
Ahmad meriwayatkan.
Artinya,
“Dari Al Hushain bin Mihshan bahwa bibinya pernah mendatangi Nabi ﷺ suatu keperluan. Setelah urusannya selesai, Nabi ﷺ pun bertanya kepadanya: “Apakah kamu mempunyai suami?” ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Bagaimanakah sikapmu terhadapnya?” ia menjawab, “Saya tidak pernah mengabaikannya, kecuali terhadap sesuatu yang memang aku tidak sanggup.” Beliau bersabda: “Camkanlah selalu, akan posisimu terhadapnya. Sesungguhnya yang menentukan surga dan nerakamu terdapat pada (sikapmu terhadap) suamimu.”
Al-Tirmiżī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari ‘Amr bin al Harits bin Al Mushthaliq ia berkata: “Disebutkan bahwa manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah dua orang: wanita yang durhaka kepada suaminya dan imam suatu kaum sedang mereka membencinya.”
Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, sungguh seorang isteri itu tidak dikatakan menunaikan hak Rabb-nya hingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk dilayani, sementara ia sedang berada di atas pelana kendaraan, maka ia tidak boleh menolaknya.”
KEEMPAT,
Rasulullah ﷺ memerintahkan istri taat kepada suami dalam urusan ranjang. Beliau mengabarkan bahwa para malaikat akan melaknat wanita jika sampai tidak menaati suami saat diajak berhubungan suami istri. Al-Bukhārī Meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya (untuk berhubungan suami istri), lalu istrinya menolaknya sehingga dia melalui malam itu dalam keadaan marah, maka malaikat melaknat istrinya itu hingga shubuh.”
Jika dalam urusan pelampiasan syahwat saja seorang istri dituntut untuk menaati suami, maka tentu lebih utama menaati suami dalam urusan din. Mentaati suami dalam pilihan fikihnya berarti menaati suami dalam urusan din, jadi wajib hukumnya istri menaati suami dalam hal ini.
KELIMA,
Seorang wanita jika berbeda pendapat dengan orang tuanya dalam urusan zanni, maka dia disyariatkan mengikuti pilihan fikih orang tuanya, karena berbakti kepada orang tua itu perintah yang qaṭ‘ī sementara pilihan fikih adalah perkara ẓanni. Tentu saja perkara qaṭ‘ī harus didahulukan daripada yang ẓannī. Jika seperti ini sikap terhadap orang tua, maka taat kepada suami dalam pilihan fikih lebih utama, sebab hak suami lebih besar daripada hak orang tua.
KEENAM,
Sudah umum dikenal bahwa dalam urusan ikhtilaf fikih, jika penguasa telah memilih satu pendapat fikih, maka rakyatnya wajib menaati penguasa tersebut berdasarkan kaidah “amrul imām yarfa‘ul khilāf” (perintah penguasa menyelesaikan perselisihan). Jika penguasa saja wajib ditaati dalam pilihan fikih, maka suami lebih utama ditaati karena hak suami lebih besar bagi istri dibandingkan penguasa. Buktinya, jika penguasa memaksakan talak secara zalim kepada suami, maka talak itu tidak sah dan istrinya tetap sah menjadi istrinya.
KETUJUH,
Ulama telah memyimpulkan berdasarkan kajian fikih dan usul fikih secara komprehensif, bahwa suami memang punya hak untuk mengatur istrinya dalam perkara ijtihadi meskipun pilihan fikih istri berbeda dengan suami. Al-Suyūṭī berkata,
Artinya,
“Sesuatu yang diperselisihkan tidak boleh dianggap mungkar. Tetapi yang boleh dianggap mungkar (sehingga berlaku hukum amar makruf nahi mungkar) adalah perkara ijmak. Tetapi ada beberapa kasus yang dikecualikan. Ketiga: Orang yang melakukan melakukan nahi mungkar punya hak dalam topik yang diperselisihkan, misalnya suami yang melarang istrinya minum nabīż, yakni jika istri meyakini kemubahannya (sementara suami meyakini keharamannya). Demikian pula suami berhak melarang istri żimmi-nya berdasarkan pendapat yang kuat.” (al-Asybāh wa al-Naẓā’ir, hlm 158)
BANTAHAN PENDAPAT YANG BERBEDA
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa istri tidak wajib menaati pilihan fikih suami jika terkait maksiat dengan alasan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat, maka pendpaat ini tidak bisa diterima.
Misalnya, kasus suami mengikuti pendapat bahwa cadar tidak wajib. Istri mengikuti pendapat bahwa memakai cadar itu wajib. Tidak bisa dalam kasus ini kita mengajari istri untuk membangkang suaminya dengan alasan istri melaksanakan kewajiban dan suami memerintahkan maksiat jika minta cadar dilepas. Tidak bisa dikatakan demikian. Sebab wajibnya cadar adalah perkara ijtihadi, bukan perkara qaṭ‘i.
Makna perkara ijtihadi adalah perkara tersebut DIDUGA sebagai hukum Allah oleh mujtahid yang menelurkannya. Bukan DIPASTIKAN sebagai hukum Allah. Seorang mujtahid ketika berpendapat bahwa cadar itu wajib bagi wanita, maka itu bermakna beliau MENDUGA kuat bahwa Allah memerintahkan dengan perintah kuat bahwa wanita mestinya pakai cadar, bukan memastikan bahwa Allah memang memerintahkan demikian. Sebaliknya seorang mujtahid ketika berpendapat wanita memakai cadar itu hukumnya mubah, berarti beliau MENDUGA kuat bahwa Allah memberi pilihan wanita untuk memakai cadar ataukah tidak. Jadi dua-duanya “hanya” DUGAAN, bukan kepastian. Jadi tidak ada yang bisa dipatikan mana yang benar-benar maksiat di sisi Allah.
Berdasarkan hadis Nabi ﷺ, semua ijtihad itu terpuji, meski salah sekalipun! Jika ijtihadnya benar maka pahalanya dua sementara jika ijtihadnya salah maka pahalanya satu. Bagimana mungkin perkara yang diberi pahala lalu divonis sebagai maksiat?!
Jadi, kaidah “Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam perkara maksiat” itu kaidah benar, tapi tidak boleh diterapkan pada perkara ijtihadi atau pilihan fikih. Itu hanya bisa diterapkan pada perkara qaṭ’ī, seperti haramnya zina, mencuri, membunuh, berbohong dan semisalnya. Yakni perkara-perkara yang bisa dipertanggungjawabkan benar-benar maksiat di sisi Allah dan kita punya hujah bahwa Allah pasti marah besar jika sampai dilanggar dan mengancam pelanggarnya dengan siksa.
Jadi, saat istri menaati suami, maka dia menaati sesuatu yang berpahala meskipun dalam pandangan fikih pilihannya sesuatu tersebut haram. Sebab haram di sini adalah dalam dugaan mujtahid yang diikuti istri, bukan dalam dugaan mujtahid yang diikut suami. Kita pun juga tidak tahu apakah di sisi Allah yang benar itu haram ataukah tidak. Tapi yang jelas berdasarkan hadis adalah, upaya mencari tahu kehendak Allah oleh mujtahid itu semua dihargai Allah dan diberi pahala. Jadi, jelas itu bukan kemaksiatan yang dimaksud dalam hadis. Perkara maksiat yang sifatnya ijtihadi itu hanya menjadi maksiat bagi mujtahid yang menelurkannya atau muqallid yang mengikuti pendapat tersebut. Inipun sifatnya maksiat “dugaan” alias maksiat ẓannī. Bukan maksiat qaṭ‘ī yang dipastikan Allah pasti murka jika dilanggar. Perkara haram yang sifatnya ijtihadi adalah praktek ketakwaan dalam konteks individu, yang tidak bisa dipaksakan dalam kasus perbedaan pendapat dengan ijtihad lain.
Adapun kasus perselisihan pasangan suami istri di zaman Rasulullah ﷺ yang tidak langsung ikut pendapat suami seperti kisah Khaulah binti Tsa‘labah dengan Aus bin al-Tsāmit, maka hal itu dikarenakan Rasulullah ﷺ masih hidup dan mudah diakses. Keputusan hukum Rasulullah ﷺ bagi sahabat yang mendengar langsung dari lisan Rasulullah ﷺ adalah qot’i dan tentu saja yang qaṭ‘ī harus didahulukan daripada yang zanni. Berbeda jika Rasulullah ﷺ sudah wafat atau beliau masih hidup tapi jauh dan susah diakses (seperti kasus sahabat yang ditugasi menjadi hakim di berbagai negeri). Dalam kondisi seperti itu, ijtihad sahabat yang harus dipakai karena akan sangat menyulitkan jika harus menunggu keputusan Rasulullah ﷺ dalam setiap masalah. Jadi, ijtihad Sahabat meski żannī dipakai. Termasuk di zaman yang sudah jauh dari zaman Rasulullah ﷺ. Ijtihad mujtahidin-lah yang dipakai. Jika ijtihad ini berbeda maka harus ditarjih dan untuk pasangan suami istri, pilihan suami lah yang ditarjih dan diikuti berdasarkan dalil-dalil hak besar suami.
KASUS KHUSUS
Semua penjelasan di atas mengasumsikan dua ikhtilaf fikihn antara pasangan suami istri bersifat mu’tabar, artinya sama-sama diakui dan terbit dari mujtahid yang otoritatif.
Adapun jika pilihan fikih istri adalah adalah paham menyimpang atau syāẓ atau ajaran organisasi menyimpang yang diikutinya atau minimal syāẓ yang bukan tergolong pilihan fikih mu’tabar maka ketaatan ke suami lebih kuat lagi kewajibannya. Ketaatan kepada suami dalam hal ini lebih kuat kewajibannya dari dua sisi. Pertama; Hukum taat suami secara umum. Kedua; kewajiban berlepas diri dari kebatilan/penyimpangan.
Adapun jika kondisinya terbalik, yakni pilihan fikih suami adalah paham menyimpang atau syāẓ atau ajaran organisasi menyimpang yang diikutinya atau minimal syāẓ yang bukan tergolong pilihan fikih mu’tabar, maka pendapat fikihnya tidak wajib diikuti, bahkan tidak boleh diikuti karena tidak bisa diduga sebagai hukum Allah sehingga tidak mendapatkan kehormatan masuk dalam ikhtilaf mu’tabar. Ketidaktaatan istri dalam pilihan fikih menyimpang seperti itu bisa dibenarkan karena paham suami bisa digolongkan sebagai kemungkaran sebagaimana dijelaskan al-Suyuṭī dalam kitab al-Asybāh wa al-Naẓā’ir. Beliau mengatakan bahwa semua ikhtlaf mu’tabar tidak boleh dianggap sebagai kemungkaran. Tetapi pendapat syāẓ (apalagi menyimpang), boleh diingkari dan diperlakukan sebagai kemungkaran. Saat beliau menerangkan hal-hal ijtihadi yang boleh diingkari, pada poin pertama beliau menulis,
Artinya,
“(pendapat fikih yang boleh “dimungkarkan” adalah jika) Pendapat tersebut jauh kualitas istidlalnya sampai level direndahkan. Oleh karena itu, wajib dihukum ḥadd (rajam atau cambuk) orang yang menerima barang gadaian lalu menyetubuhi budak wanita yang digadaikan. Ijtihad ’Aṭā’ dalam hal ini tidak dipertimbangkan. (al-Asybāh wa al-Naẓā’ir, hlm 158)
***
24 Żulqa‘dah 1442 H