Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Suami tidak wajib menanggung biaya pendidikan istri tanpa membedakan apakah pendidikan itu untuk belajar ilmu agama maupun ilmu umum. Jadi, suami tidak wajib menanggung biaya pendidikan istri untuk kuliah pada jurusan syariah misalnya, atau kursus fikih, biaya transport mendatangi pengajian, kuota internet untuk mendengarkan video ceramah ulama dan semua bentuk pembiayaan pendidikan agama lainnya, baik formal maupun informal. Suami juga tidak wajib mengkuliahkan istri pada strata S1, melanjutkan biaya kuliah yang sebelumnya ditanggung orang tua istri, menyekolahkan istri sampai S3, kursus ketrampilan, kursus bisnis dan semua bentuk pembiayaan pendidikan umum lainnya, baik formal maupun informal.
Nafkah istri yang wajib disediakan suami terbatas pada tiga hal atau cabang dari 3 hal ini yakni makanan, pakaian dan tempat tinggal. Kewajiban menyediakan pembantu yang merupakan tambahan dari 3 macam nafkah tadi berlaku khusus dan hanya untuk wanita khusus, bukan berlaku untuk seluruh rumah tangga.
Adapun biaya pendidikan, maka tidak ada dalil apapun dalam Al-Qur’an maupun hadis yang menunjukkan suami wajib menanggungnya. Jadi, suami tidak wajib menanggung biaya pendidikan istri apapun bentuknya. Jangankan biaya pendidikan yang mungkin dibagi-bagi statusnya antara pendidikan untuk memperoleh ilmu yang statusnya fardu ain bagi istri, fardu kifayah, atau mubah. Untuk hal-hal yang jelas fardu ain bagi istri saja, tidak ada dalil yang mewajibkan suami untuk menanggungnya. Misalnya membayar utang istri, membayar zakat, membiayai haji, menafkahi orang tua istri, membiayai kegiatan silaturahim dan semua kewajiban-kewaiban pribadi istri. Jadi, semua kewajiban tersebut adalah tanggungan istri dan harus dibiayai dari harta pribadi istri. Dengan kata lain, hukum asalnya istri lah yang membiayainya, bukan suami. Jika istri tidak punya harta, maka gugurlah kewajiban tersebut karena tidak ada istiṭā‘ah/qudrah/kemampuan. Jika terkait hak hamba yang harus ditunaikan, maka ahli warisnya atau kerabat atau negara atau kaum muslimin lah yang wajib menunaikannya.
Sampai di sini mungkin ada pertanyaan,
“Bukankah suami diperintahkan menjaga keluarganya dari api neraka? Bukankah suami diperintahkan mendakwahi keluarga? Bukankah suami bertanggung jawab terhadap istrinya dan dia akan dimintai pertanggungjawabaan terhadap yang diurusnya itu? Bukankah cara terbaik untuk melindungi istri adalah dengan mendidiknya dengan ilmu-ilmu agama? Apakah tidak bisa disimpulkan dari sini bahwa suami wajib menangggung nafkah pendidikan istrinya demi menyelematkannya dari neraka?”
Jawaban dari pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Memang benar, ada dalil yang menunjukkan suami dituntut menjaga keluarganya (terutama istri) dari api neraka dan dituntut mendakwahi keluarga. Misalnya ayat “Qū anfusakum wa ahlīkum nārā” (jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka), “wa anżir ‘asyīratakal aqrabīn” (berilah peringatan kerabatmu yang terdekat), “warrajulu rā‘in fī ahlihī wahuwa mas’ūlun ‘an ra‘iyyatihī” (seorang suami bertanggung jawab terhadap istrinya dan dia akan ditanya terkait tanggungjawabnya tersebut) dan lain-lain.
Memang benar ada dalil-dalil seperti itu, dan memang benar bentuk terbaik menjaga keluarga dari api neraka adalah mendidiknya dengan ilmu dan melakukan amar makruf nahi mungkar di dalam rumah. Hanya saja, dalil-dalil ini tidak bisa dipakai untuk mewajibkan suami membiayai pendidikan istri berdasarkan 4 alasan.
Pertama, perintah syara’ adalah menjaga keluarga dari api neraka. Bukan membiayai dan tidak ada lafal apapun dalam dalil-dalil tersebut yang bisa ditafsirkan wajibnya pembiayaan pendidikan, baik eksplisit, implisist, secara dalālah maupun secara iltizām.
Kedua, pendidikan untuk wanita sebelum menikah adalah kewajiban ayahnya. Suami berkewajiban menjaga. Jadi, idealnya wanita sebelum menikah sudah beres pendidikan yang diperlukannya untuk menjalankan kewajiban.
Ketiga, menuntut ilmu, belajar din dan menyelamatkan diri dari neraka adalah kewajiban istri juga, bukan hanya kewajiban suami. Jadi, tidak bisa hal ini dibebankan semua kepada suami. Seandainya seorang wanita tidak menikah, maka dia tetap terkena kewajiban menuntut ilmu dan menjaga diri dari neraka. Jadi, membebankan biaya pendidikan dalam aspek ini kepada suami semata tidak bisa diterima. Oleh karena itu, wajib bagi istri mengalokasikan hartanya untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Keempat, tidak ada riwayat dari zaman Nabi ﷺ, Sahabat, Tabi’in maupun Tabiut Tabi’in yang menunjukkan suami wajib membiayai pendidikan istri. Padahal aktivitas belajar wanita sejak zaman Nabi ﷺ sudah ada baik dalam ilmu din maupun ilmu umum. Tidak adanya riwayat seperti ini menunjukkan pembiayaan hal itu memang tidak wajib.
Kalau begitu bagaimana cara suami melindungi istrinya dari api neraka?
Perlu dibedakan dua kondisi, yakni suami berilmu dan suami tidak berilmu.
Jika suami berilmu, maka fardu ain hukumnya mengajari istrinya ilmu-ilmu agama yang akan menyelamatkan istrinya dari neraka.
Jika suami tidak berilmu maka dia wajib bertanya kepada ulama terkait ilmu yang dibutuhkan istri, kemudian menyampaikan fatwa ulama tersebut kepada istrinya. Opsi yang lain; Suami mengizinkan istri keluar untuk menuntut ilmu wajib yang dibutuhkannya kepada ulama yang adil, kredibel dan bisa dipercaya.
Jika salah satu dari dua hal ini dilakukan lalu dikombinasi dengan amar makruf nahi mungkar dalam rumah tangga, maka suami dikatakan telah memenuhi kewajibannya meskpun tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk pembiayaan pendidikan istrinya. Dengan kata lain, jika suami sudah tidak menghalangi istri untuk belajar din, maka suami sudah menunaikan kewajibannya dan tidak harus dituntut membiayai semua kegiatan belajar istri. Jika dua-duanya melalaikan kewajiban ini dan hanya sibuk urusan dunia saja, maka dua-duanya berdosa. Al-Gazzālī berkata,
Artinya,
“Jika seorang suami mengajari sendiri istrinya, maka tidak boleh istrinya keluar untuk bertanya kepada ulama. Jika suaminya kurang ilmunya, akan tetapi dia bisa mewakili istrinya untuk bertanya sehingga bisa memberitahu jawaban Mufti, maka istrinya juga tidak boleh keluar. Tetapi jika yang demikian tidak bisa dilakukan, maka istri boleh keluar untuk bertanya bahkan wajib baginya untuk keluar rumah dan suami berdosa kalau mencegahnya. Jika istri sudah mempelajari hal-hal yang wajib maka tidak boleh dia keluar ke sebuah forum dan tidak boleh pula mempelajari ilmu yang tidak wajib kecuali dengan izin suaminya. Jika istri mengabaikan hukum haid dan istihadah dan suami tidak mengajarinya maka suami istri itu bermaksiat dan keduanya berserikat dalam dosa tersebut.” (Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn, juz 2 hlm 48)
Jadi, membiayai pendidikan istri, baik ilmu agama maupun dunia bukan tanggungan suami. Semua itu tidak wajib, tapi menjadi kebaikan tambahan suami, akhlak mulia, dan amal saleh suami jika bersedia menanggungnya. Itu akan menambah cinta dan kasih sayang selama suami mampu.
Tapi ada dua kondisi di mana biaya pendidikan istri bisa menjadi wajib bagi suami,
Pertama: Itu dijadikan mahar
Kedua: itu dijadikan syarat pernikahan
Contoh kasus pertama begini: Jika seorang wanita mau menikah dengan lelaki dengan mahar minta diajari ilmu waris atau ilmu marketing online misalnya, lalu calon suami setuju, maka mengajari ilmu waris atau ilmu marketing online itu menjadi wajib bagi suami. Jika suami tidak mampu, maka wajib bagi suami membiayai kegiatan istri belajar kepada orang lain untuk memperoleh ilmu tersebut.
Contoh kasus kedua begini: Jika istri mengajukan syarat sbelum akad nikah misalnya mengatakan,
“Saya mau menikah denganmu asal aku nanti engkau biayai sekolahku S1 (atau S2 atau S3) sampai lulus.”
Lalu calon suami mengatakan, “oke”. Dalam kondisi ini menjadi wajib bagi suami untuk membiayai pendidikan istri.
***
5 Żulḥijjah 1442 H