Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Secara ringkas beberapa adab penting mengurus orang yang hendak wafat adalah,
- Dihadapkan kiblat
- Ditalkin kalimat syahadat
- Dibacakan Sūrah Yāsīn di dekatnya
- Diajari supaya berbaik sangka kepada Allah
Penjelasan detailnya sebagai berikut.
Orang yang diduga sudah dekat ajalnya disunahkan untuk dihadapkan kiblat. Caranya, dibuat berbaring memakai lambung kanan (atau lambung kiri jika pakai kanan tidak bisa) seperti posisi orang melakukan tidur sunah, atau posisi mayit yang diletakkan dalam liang lahad. Ini adalah cara menghadapkan ke arah kiblat terbaik karena lebih maksimal aspek menghadapnya.
Jika tidak mungkin dibaringkan seperti deskripsi di atas karena tempatnya sempit atau, atau lambungnya sakit atau sebab-sebab yang lain, maka dibuat berbaring terlentang dengan kepala diberi bantal agak tinggi dengan wajah dan kedua telapak kaki menghadap kiblat.
Dalil yang menunjukkan sunahnya orang mnejelang wafat dihadapkan ke arah kiblat adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Yahya bin Abdullah bin Abu Qatadah dari ayahnya bahwasanya Nabi ﷺ pada saat mendatangi Madinah beliau bertanya tentang siapa Bara’ bin Ma’rur. Maka orang-orang menjawab, “Dia sudah wafat dan berwasiat memberikan sepertiga hartanya untukmu wahai Rasulullah dan dia berwasiat supaya dia dihadapkan ke arah kiblat pada saat sekarat’. Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Dia sudah sesuai fitrah dan saya telah mengembalikan sepertiga hartanya untuk anaknya.’ Kemudian dia pergi lalu mensalatinya kemudian berdoa ya Allah ampunilah dia, rahmatilah dia, masukkan dia ke dalam surga dan sungguh engkau telah melakukannya” (H.R.Al Hakim)
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ memuji perbuatan menghadapkan si sakit ke arah kiblat saat mau wafat dengan sebutan aṣabal fiṭrah (sudah sesuai fitrah). Pujian Rasulullah ﷺ ini menunjukkan menghadapkan si sakit ke arah kiblat hukumnya sunah.
Disunahkan mentalkin orang menjelang wafat (mukallaf maupun bukan) dengan kalimat syahadat yakni ucapan Lā Ilāha Illallāh (لا إله إلا الله ), tanpa ucapan muhammadurrasūlullah. Jika ditambah muhammadurrasūlulah, maka itu tidak mengapa tetapi pendapat mua’tamad mazhab al-Syāfi‘ī cukup kalimat Lā Ilāha Illallāh saja. Tapi jika si sakit kafir, maka harus diajari lengkap “lā ilāha illallāh muḥammadurrasūlullāh” jika diduga kuat dia mau masuk Islam. Jika tidak, maka sunah saja.
Dalil sunahnya mentalkin dengan kalimat syahadat adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Tuntunlahlah orang yang hendak wafat di antaar kalian dengan kalimat LĀ ILĀHA ILLALLĀH“. (H.R.Muslim)
Hadis riwayat Abū Dāwud menunjukkan bahwa orang yang akhir ucapannya lā ilāha illallāh maka dijamin masuk surga. Abū Dāwūd meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH‘ maka ia akan masuk surga.” (H.R.Abū Dāwūd)
Jangan bersikap ilḥāḥ (إلحاح), yakni mendesak, “ngotot”, dan bersikeras yang membuat si sakit malah tidak suka dan terganggu. Kuatirnya justru muncul kata-kata buruk dari lisannya sehingga beliau wafat dengan kalimat terakhir yang buruk. Harus benar-benar lembut saat mentalkin sehingga ajaran zikir itu membuat disukai, dirindui dan bahkan menyegarkan. Termasuk adab yang buruk jika mengajari dengan gaya imperatif, merintah-merintah dan gaya komando seperti mengatakan, “Katakan Lā Ilāha Illallāh” atau “Ayo ucapkan Lā Ilāha Illallāh!”.
Cara terbaik adalah cukup mengucapkan Lā Ilāha Illallāh pada telinganya dengan lembut atau di depannya agar si sakit teringat lalu sukarela mengucapkan kalimat tauhid itu. Kalaupun mengajak hendaknya juga dengan ucapan lembut sekali misalanya mengatakan, “Berzikir mengingat Allah itu sungguh berkah, kita sama-sama mengingat Allah nggih, Lā Ilāha Illallāh” atau ditambahi “Subhānallah walhamdulillāh walā ilāha illallāh wallāhu akbar”. Kecuali yang si sakit kafir, maka talkin dengan ucapan perintah dibolehkan agar lebih jelas instruksinya.
Jika si sakit bisu atau tidak bisa berbicara atau lemah untuk berbicara, maka si sakit cukup mengucapkannya dalam hati. Orang yang mentalkin cukup memperkirakan saja bahwa si sakit sudah mengucapkannya dalam hati.
Jika si sakit sudah mengucapkan sekali, maka jangan diajari lagi. Tapi jika si sakit berbicara lagi dengan pembicaraan duniawi maka disunahkan lagi mengajari syahadat dengan cara lembut sampai kalimat syahadat menjadi kalimat terakhir beliau sbelum wafat.
Disunahkan yang mentalkin bukan ahli waris. Agar tidak ada yang suuzan bahwa dia mentalkin dengan maksud agar si sakit segera mati sehingga si ahli waris cepat mendapatkan warisan. Termasuk yang semisal dengan ahli waris adalah orang yang memusuhi, orang yang dengki atau semisalnya.
Jika tidak ada yang hadir kecuali ahli waris, disunahkan yang mentalkin adalah yang paling sayang terhadap si sakit, yang paling baik kepada si sakit, yang paling berbakti kepada si sakit dan yang paling disayang si sakit.
Waktu mentalkin adalah seblum si sakit dihadapkan ke kiblat karena talkin lebih penting daripada menghadapkan kiblat. Jika tidak sempat, maka talkin sesudah dihadapkan kiblat tidak mengapa.
Disunahkan membaca Sūrah Yasin di dekat si sakit. Seorang Tābi‘īn besar yang bernama Abū al-Sya‘syā’ juga mensunahkan membaca Surah al-Ra‘du selain Sūrah Yāsīn.
Orang yang menemani disunahkan untuk berhusnuzan terhadap Allah terkait nasib si sakit seberapa besarpun dosa yang dilakukan si sakit selama dia masih terhitung muslim. Jika dia memberi nasihat, isinya juga mengajak si sakit agar selalu berhusnuzan terhadap Allah dan selalu mengharap rahmat Allah di saat-saat terakhirnya. Caranya bisa menceritakan kisah orang-orang saleh, menyebut amal-amal besarnya dan semisalnya.
***
6 Zulhijah 1442 H