Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Satu lagi kekeliruan yang menyebar melalui media sosial, yakni ajaran yang berbunyi “Mahar itu simbol nafkah wajib suami tiap bulan. Jika maharnya Rp 20.000.000,00, berarti tiap bulan suami wajib menafkahi Rp 20.000.000,00. Jika tidak, maka itu dosa!”
Ini ajaran yang juga berpotensi membuat wanita besar kepala dan merasa di atas angin. Lebih jauh dari itu, ajaran ini berpotensi membuat istri tidak qanā’ah, lalu sering bertengkar dengan suami dan bisa jadi berakhir dengan perceraian.
Tidak ada ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa mahar adalah simbol nafkah, baik secara eksplisit maupun secara implisit.
Tidak ada pula hadis Nabi ﷺ yang menunjukkan bahwa mahar adalah simbol nafkah, baik secara eksplisit maupun secara implisit.
Tidak ada pula pernyataan ulama dalam kitab-kitab fikih yang menunjukkan bahwa mahar adalah simbol nafkah, baik secara eksplisit maupun secara implisit.
Mahar adalah harta yang wajib diberikan suami kepada istri sebagai atsar (konsekuensi) akad nikah. Bukan simbol nafkah suami dan tidak ada hubungannya dengan kewajiban suami dalam memberi nafkah.
Mahar dalam bahasa Arab itu di antaranya diistilahkan dengan sebutan ṣadāq (الصَّدَاقُ). Lafal ini adalah pecahan kata ṣidq (الصدق) yang bermakna jujur, tulus, sungguh-sungguh dan serius. Jadi, jika mau dikatakan mahar sebagai simbol, maka mahar sesungguhnya adalah simbol keseriusan lelaki, kejujurannya, ketulusannya dan kesungguhannya untuk menikahi wanita dan mengajaknya menempuh hidup baru dalam bahtera rumah tangga. Ibnu Ḥajar al-Haitamī berkata,
Artinya,
“Mahar/ṣadāq adalah pecahan kata ṣidq karena memberi makna kesungguhan/kejujuran/keseriusan orang yang membayarnya bahwa dia berminat menikah.” (Tuḥfatu al-Muḥtāj, juz 7 hlm 375)
Dengan kata lain, mahar adalah simbol agungnya pernikahan, pemuliaan terhadap wanita, dan bukti keseriusan dan kesungguhan niat lelaki untuk membangun rumah tangga.
Mahar tidak harus mahal. Malahan ada hadis Nabi ﷺ yang memuji wanita jika meminta mahar yang mudah didapatkan lelaki. Memahalkan mahar justru bertentangan dengan prinsip dalam din yang memudahkan pernikahan demi mencegah perzinaan.
Lagipula, fakta mahar Rasulullah ﷺ menunjukan bahwa mahar yang beliau bayarkan sama sekali tidak bermakna simbol nafkah tiap bulan. Dalam Ṣaḥīḥ Muslim diriwayatkan bahwa mahar Rasulullah ﷺ kepada istrinya adalah sebesar 500 dirham. Jika 1 dirham secara kasar setara dengan Rp 100.000,00, berarti mahar yang diberikan Rasulullah ﷺ kepada istri-istrinya adalah sekitar Rp 50.000.000,00. Jika 1 dirham dianggap setara dengan Rp 50.000,00, berarti mahar Nabi ﷺ kepada istrinya minimal kira-kira separuhnya yaitu Rp 25.000.000,00.
Apakah faktanya Rasulullah ﷺ setelah itu menafkahi istrinya sebesar nilai maharnya tiap bulan, dengan istri berjumlah sembilan? Jelas tidak. Bahkan ada riwayat Rasulullah ﷺ sampai harus berhutang kepada orang Yahudi hanya untuk memberi makan istrinya! Apakah kita hendak menuduh Rasulullah ﷺ berdosa karena tidak menafkahi istrinya sebesar mahar yang beliau berikan? Sungguh, terbersit pikiran seperti ini saja berpotensi menjatuhkan kita dalam kekufuran. Na’użu billāhi minżālik.
Lagipula mahar itu sah meski hanya dengan sepasang sandal jepit. Apa iya istri mau diberi nafkah sandal jepit setiap bulan jika mahar itu simbol nafkah?
Di zaman Nabi ﷺ, mahar itu sah meski hanya dengan cincin yang terbuat dari besi. Apa iya istri mau diberi nafkah cincin besi tiap bulan jika mahar itu simbol nafkah?
Lagipula mahar juga sah berupa jasa, misalnya mengajarkan hafalan Al-Qur’an. Apa iya suami hanya memberi nafkah hafalan Al-Qur’an tiap bulan?
Lagipula nikah tanpa mahar itu sah. Misalnya Seorang wanita berkata,
“Mas, aku ini mendapatkan dirimu sudah luar biasa. Jadi aku menggugurkan hak maharku.”
Yang semacam ini boleh dan akad nikahnya sah. Sebab mahar adalah ḥaqqun ādamī yang bisa digugurkan sebagaimana hak-hak manusia yang lain.
Jika sebuah pernikahan sah tanpa mahar, apa iya setelah itu istri tidak diberi nafkah sama sekali? Kan, maharnya 0 berarti?
Semua kenyataan ini membuktikan bahwa ajaran mahar itu simbol nafkah adalah ajaran batil, tidak berdasar, tanpa ilmu, fatwa tanpa dalil dan keberanian terhadap agama.
Besarnya nafkah suami itu justru disesuaikan dengan kondisi keuangan suami. Bukan disesuaikan dengan nilai mahar dan juga bukan disesuaikan dengan kondisi keuangan istri. Jika ingin mengetahui dalilnya lebih detail, silakan baca catatan saya yang berjudul “RINCIAN HUKUM NAFKAH MAKANAN UNTUK ISTRI.”
Para wanita maupun laki-laki hendaknya benar-benar berhati-hati memberi fatwa atau menyebar fatwa dalam urusan agama jika bukan ahlinya. Jika sampai ada yang salah dan menyesatkan, itu bisa menjadi dosa yang terus mengalir meski Anda sudah wafat.
***
6 Zulhijjah 1442 H