Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Salah satu adab terpenting saat mentalkin orang yang sudah mendekati ajalnya adalah bersikap lembut, menghargai, dan memuliakan martabatnya. Bukan termasuk adab yang baik jika mengajari talkin seperti menyuruh anak-anak, gaya imperatif dan perintah kasar. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Jangan mentalkinnya dengan ucapan, Katakan! Lā ilāha illallāh!” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 2 hlm 97)
Salah satu contoh indah yang mempraktekkan prinsip ini adalah kisah talkin ulama besar yang bernama Abū Zur’ah.
Nama asli ulama yang hendak kita ceritakan di sini adalah ‘Ubaidullah bin Abdul Karīm. Kuniahnya Abū Zur‘ah. Laqabnya al-Rāzī. Jadi jika ditulis lengkap nama beliau adalah Abū Zur‘ah Ubaidullah bin Abdul Karīm al-Rāzī. Hidupnya semasa dengan imam Muslim dan Imam Ahmad. Wafatnya tahun 264 H.
Abū Zur’ah ini seorang pakar hadis hebat. Jika kita menyebut seorang ulama zaman dulu sebagai pakar hadis atau ahli hadis, maka bayangkan kemampuannya komplit, baik sebagai penghafal hadis maupun sebagai kritikus hadis. Jadi hafalan hadisnya jelas lengkap beserta sanadnya. Jika beliau ditanya tentang biografi salah satu perawi dalam sebuah sanad hadis, maka beliau akan lancar menjelaskan tahun lahir, tahun wafat, asalnya, guru-gurunya, hadis-hadis yang diriwayatkannya, jarh dan ta’dil-nya dan seterusnya. Bayangkan jika dalam satu sanad rata-rata ada 5 atau 6 perawi lalu ulama ini menghafal 10.000 hadis misalnya. Artinya beliau secara kasar menghafal sekitar 50.000 biografi seorang perawi! Anda akan bisa membayangkan betapa luar biasanya kemampuan ini saat mengetahui pada zaman dahulu belum ada komputer, belum ada HP, belum ada percetakan dan sistem dokumentasi secanggih zaman sekarang. Padahal pekerjaan kritikus hadis bukan hanya menghafal perawi dan matan hadis, tetapi juga membandingkan, mengkritisi, mentarjih penilaian, memeriksa kejanggalan, memeriksa aspek kontradiksi dan banyak pekerjaan rumit lainnya.
Nah, Abū Zur’ah ini ilmu hadisnya luar biasa. Hafalan hadisnya bukan hanya seribu atau dua ribu, tapi ratusan ribu. Salah satu informasi terkenal tentang beliau adalah pernyataan bahwa beliau telah hafal 200.000 hadis sebagaimana orang menghafal Sūrah al-Ikhlas!
Suatu hari, Abū Zur’ah ini berada dalam kondisi menjelang wafat. Ada dua ulama besar yang menjenguknya. Namanya Abū Ḥātim dan Muḥammad bin Muslim. Tentu saja mereka sungkan mentalkin Abū Zur’ah dengan cara biasa mengingat kebesaran ilmu dan wibawanya. Akhirnya mereka mentalkin dengan cara yang unik. Mereka mendiskusikan hadis talkin, tapi hadis itu disebut dengan kacau. Lalu Abū Zur’ah terpicu untuk berbicara. Mulailah beliau dalam keadaan naza’ menyebut sanad lengkap hadis itu sampai ucapan Rasulullah ﷺ yang berbunyi,
Sampai pada kalimat ini, berhentilah Abū Zur’ah dan keluarlah ruh beliau sebelum sempurna menyebut lanjutan matan hadis yang berbunyi “dakhalal jannah”.
Dengan begitu sukseslah dua ulama tersebut mentalkin Abū Zur’ah dengan cara yang sangat cerdas yang mencerminkan ketinggian akhlak dan pemahaman yang tinggi terhadap adab-adab talkin. Al-Damīrī menceritakan kisah ini sebagai berikut,
Artinya,
“Alangkah indahnya peristiwa yang kebetulan terjadi pada Abū Zur‘ah al-Rāzī saat beliau menjelang wafat. Beliau dibesuk Abū ‘Ḥātim dan Muḥammad bin Muslim. Keduanya merasa sungkan mentalkin beliau. Kemudan keduanya mendiskusikan hadis talkin tapi kacau. Lalu Abū Zur‘ah (seakan mengoreksi) mulai menyebut sanad hadis itu dalam kondisi naza’ sampai ucapan, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,’Barang siapa yang ucapan terakhirnya lā ilāha illallāh’, lalu keluarlah ruhnya bersama dengan huruf hā’ sbelum mengucapkan ‘dakhalal jannah‘.” (al-Najmu al-Wahhāj, juz 3 hlm 11-12)
***
7 Zulhijjah 1442 H