Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Seorang suami tidak wajib tidur menginap dalam satu rumah bersama istrinya, tanpa membedakan apakah istrinya satu ataukah lebih dari satu. Jadi, jika seorang suami sudah memberikan nafkah wajib kepada istrinya yakni makanan, pakaian dan tempat tinggal, lalu memutuskan tinggal di rumah pribadinya misalnya atau di masjid, atau di perpustakaan, atau di kantor, atau di tempat penelitian, atau di ruang studi khusus atau di barak, atau tempat ber-khalwat dan semisalnya dan hanya mendatangi istrinya sesekali, maka yang demikian tidak berdosa.
Adapun alasan mengapa menginap (al-mabīt) di rumah bersama istri bukan kewajiban, maka hal itu dikarenakan menginap adalah hak suami, bukan beban kewajibn yang menjadi tuntutan akad nikah. Hal ini seperti seorang lelaki yang mengontrak rumah. Jika dia memutuskan untuk menempati rumah dalam waktu lama itu, maka itu haknya. Tetapi jika dia memutuskan untuk menempatinya sesekali saja, maka itu juga haknya. Lagipula, mewajibkan suami untuk menginap di rumah bersama istri bertentangan dengan kehidupan rumah tangga di zaman Nabi ﷺ, khulafaurrasyidin, dan generasi Sahabat. Sebab mayoritas lelaki melakukan kewajiban jihad, sementara jihad itu umumnya terjadi dalam waktu lama dan harus meninggalkan rumah. Bisa 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun bahkan lebih. Perintah Umar kepada para mujahid yang sudah berjihad selama 4 atau 6 bulan supaya pulang dulu memenuhi hak nafkah batin istri menunjukkan bahwa di zaman dulu memang sangat biasa suami tidak menginap di rumah istri dalam waktu yang lama. Jika menginap menjadi kewajiban, maka justru itu akan menghambat jihad dan banyak fardu kifayah lain dan itu tidak boleh.
Akan tetapi jika seorang lelaki berpoligami, lalu dia menginap di rumah dengan salah satu istrinya, maka seketika itu juga wajib baginya menginap di rumah dengan istri-istrinya yang lain sebagai realisasi perintah berbuat adil pada istri-istri. Jika setelah menggilir inap para istri-istrinya secara adil selama beberapa waktu (misalnya 3 bulan), lalu suami memutuskan tidak menginap lagi dengan semua istri-istrinya, maka ini dibolehkan sebagaimana hukum saat belum memutuskan menginap pada salah satu istri.
Jika hukum menginap saja tidak wajib, maka sudah tentu tidur satu kamar juga tidak wajib. Jika tidur satu kamar saja tidak wajib, maka tidur satu ranjang/kasur juga tidak wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa tidur satu ranjang/kasur tidak wajib adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Jabir bin ‘Abdullah: Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: “Satu kasur untuk suami, satu kasur untuk istrinya, kasur ketiga untuk tamu, dan kasur keempat untuk syetan.” (H.R.Muslim)
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ menyebut dalam rumah tangga itu boleh ada kasur untuk suami dan ada satu kasur untuk istri. Ini menunjukkan tidur satu kasur tidak wajib. Sebab tidak ada maknanya menyebut dua kasur untuk suami dan istri jika keduanya wajib tidur satu kasur karena kasur yang lainnya jadi tersia-siakan. Penyebutan dua kasur di sini menunjukkan hukum tidur satu kasur dengan istri memang tidak wajib. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Tidur bersama istri bukan kewajiban.” (Syarḥu Al-Nawawī ‘alā Muslim, juz 14 hlm 60)
Jadi, tidak masalah suami tidur di kasur yang berbeda dengan istri ketika ada uzur, misalnya sakit, ada bayi dan semisalnya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Adapun menyediakan kasur lebih dari satu untuk suami dan istri maka itu tidak mengapa karena terkadang masing-masing dari mereka butuh satu kasur saat sakit atau semisalnya dan lain-lain.” (Syarḥu Al-Nawawī ‘alā Muslim, juz 14 hlm 59-60)
Hanya saja, suami disunahkan selalu tidur bersama istri dalam satu kasur/ranjang selama tidak ada uzur, sebab ini adalah bentuk pergaulan terbaik, memberikan rasa nyaman untuk keduanya dan menguatkan rasa cinta di antara mereka. Seperti itulah Rasulullah ﷺ dalam mempergauli istrinya dan beliau tidak pergi dari kasur bersama istrinya kecuali untuk melakukan ibadah seperti salat, menerima wahyu atau ada kepentingan-kepentingan lainnya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Yang benar terkait tidur bersama istri adalah, jika salah satu di antara mereka tidak punya uzur untuk tidur sendirian maka tidur bersama dalam satu kasur lebih afdal dan itulah lahir perbuatan Rasulullah ﷺ yang terus-menerus dilakukan padahal Rasulullah ﷺ selalu melakukan salat malam. Rasulullah ﷺ tidur bersama istrinya dan jika beliau ingin melakukan salat malam, maka beliau akan bangkit dan meninggalkan istrinya di kasurnya. Jadi, beliau menggabungkan antara kebiasaannya salat malam dan menunaikan hak istrinya yang bersifat sunah dalam rangka mempergauli istri secara ma’ruf, lebih-lebih saat mengetahui kondisi istrinya yang sangat ingin tidur bersama suaminya. Patut di catat, sesungguhnya tidak menjadi kewajiban untuk menyetubuhi istri saat tidur bersamanya.” (Syarḥu Al-Nawawī ‘alā Muslim, juz 14 hlm 60)
***
8 Dzulhijjah 1442 H