Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jangan pernah meminta mati, seberat apapun cobaan hidup yang dihadapi selama kesusahan itu bersifat duniawi. Apapun penyebab kesengsaraan itu, apakah karena penyakit, putus cinta, dikhianati, banyak masalah, tertekan, depresi, diancam orang zalim dan semisalnya jangan sekali-kali meminta mati. Ada beberapa alasan mengapa seberat apapun musibah duniawi itu jangan sampai mendorong seorang mukmin meminta mati:
PERTAMA, ada larangan dari Nabi ﷺ untuk meminta mati.
Kata Nabi ﷺ, seorang hamba itu jika masih diberi umur, maka umur tersebut pasti menambah kebaikan. Contoh kebaikan nyata untuknya adalah kesempatan beramal saleh. Jika orang mati, maka terputuslah amalnya karena dia tidak punya kesempatan lagi untuk beramal saleh. Makna implisitnya, jika sudah dihentikan umurnya, maka itu yang terbaik untuknya tanpa harus minta mati kepada Allah. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Hammam bin Munabbih dia berkata: ini adalah yang telah diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami dari Rasulullah ﷺ, -lalu dia menyebutkan beberapa Hadis di antaranya: – “Rasulullah ﷺ telah bersabda: ‘Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah meminta mati sebelum datang waktunya. Karena orang yang mati itu amalnya akan terputus, sedangkan umur seorang mukmin tidak akan bertambah melainkan menambah kebaikan.'” (H.R.Muslim)
KEDUA, Kita tidak tahu kejadian setelah mati.
Belum tentu kehidupan setelah mati untuk kita lebih membahagiakan daripada kehidupan di dunia. Seorang hamba itu kemungkinannya hanya dua: bertemu Allah dalam keadaan diridai atau bertemu Allah dalam keadaan dimurkai. Padahal, faktanya kita tidak tahu termasuk yang mana. Wahyu telah terputus dan tidak ada nabi yang bisa ditanyai. Maka sungguh tidak bijak meminta kematian sementara kita sendiri belum tahu bagaimana nasib kita di masa depan.
Sungguh tidak bijak meminta kematian sementara kita tidak tahu Allah rida kepada kita ataukah tidak.
Sungguh tidak bijak mempertaruhkan nasib hanya karena dugaan kita bahwa kematian lebih baik daripada hidup.
Tidak ada yang menjamin bahwa kematian lebih baik daripada hidup. Bisa jadi, kesusahan setelah mati lebih dahsyat daripada kesusahan hidup di dunia. Jika itu yang terjadi, maka penyesalan sudah terlambat karena dia tidak bisa kembali lagi ke dunia. Kata Ibnu Rajab, banyak orang-orang saleh di masa lalu yang mengharap mati, tapi begitu merasakan sendiri beratnya mati maka mereka jadi membenci kematian. Di antara mereka adalah Sahabat besar Abū al-Dardā’ dan tabi’in Sufyān al-Tsaurī.
KETIGA, kita semua pasti mati.
Jadi tidak usah minta mati pun pasti kita nanti juga akan mati. Perbedaannya, jika kita minta mati, maka kita bertumpu pada penilaian diri sendiri untuk menghukumi mana yang terbaik untuk kita. Jika tidak minta mati, berarti kita memasrahkan kepada Allah dan mempercayakan kepada-Nya apakah yang lebih baik untuk kita hidup ataukah mati. Sikap tawakal tentu jauh lebih baik daripada bertumpu pada diri sendiri, sebab Allah itu Maha Mengetahui hakikat segala sesuatu sementara pengetahuan kita sangat terbatas. Dalam satu doa Nabi ﷺ, beliau mengajarkan supaya mempercayakan segala sesuatu kepada Allah dan meminta Allah supaya tidak membuat kita bertumpu pada diri sendiri walau hanya sekejap mata. Doa yang dibaca Nabi ﷺ adalah “Allāhumma lā takilnī ilā nafsī ṭarfata ‘ain” (Ya Allah janganlah kau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau hanya sekejap mata”.
KEEMPAT, sikap terbaik saat ditimpa kesusahan duniawi adalah tabah.
Sikap itulah yang diperintahkan banyak dalil dengan janji pahala yang luar biasa. Jika belum diuji kesusahan, maka banyak-banyaklah meminta afiyah sebagaimana nasihat Ibnu Umar dan juga ajaran doa Nabi ﷺ kepada pamannya untuk banyak-banyak meminta afiyah di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itu, dalam mazhab Al-Syāfi‘ī ditegaskan, meminta mati karena kesususahan duniawi itu hukum makruh. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Dimakruhkan mengangankan kematian karena kesusahan (duniawi) yang menimpanya.” (Rauḍatu al-ṭālibīn, juz 2 hlm 98)
Jika kondisi benar-benar berat dan seakan tidak kuat hidup lagi, maka maksimal boleh berdoa yang isinya meminta agar Allah mencabut nyawanya jika kematian lebih baik untuknya dan membiarkan tetap hidup jika kehidupan lebih baik baginya. Doa dengan makna seperti ini diajarkan Rasulullah ﷺ dalam hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Anas dia berkata: “Rasulullah ﷺ telah bersabda: ‘Janganlah ada seseorang di antara kalian yang mengharapkan kematian karena tertimpa kesengsaraan. Kalau terpaksa ia harus berdoa, maka ucapkanlah: ‘Ya Allah, berilah aku kehidupan apabila kehidupan tersebut memang lebih baik bagiku dan matikanlah aku apabila kematian tersebut memang lebih baik untukku.'” (H.R. Muslim)
Adapun jika mengharap mati karena kuatir din terfitnah, maka itu tidak makruh. Dasarnya adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Mahmud bin Labid bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Dua hal yang dibenci oleh manusia: kematian padahal kematian itu lebih baik bagi orang mu`min dari pada fitnah dan benci sedikitnya harta padahal sedikitnya harta itu lebih ringan untuk hisab.” (h.R.Ahmad)
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ menyebut kematian lebih baik bagi seorang mukmin daripada fitnah dalam agamanya. Ini menunjukkan mengharap mati untuk menyelamatkan din tidak tercela dan tidak dimakruhkan.
Dalam hadis qudsi riwayat al-Tirmiżī, Allah mengajari Rasulullah ﷺ untuk berdoa supaya diwafatkan jika Allah hendak mengizinkan fitnah terjadi dimuka bumi. Ini menunjukkan mengharap kematian jika motovasinya untuk menjaga din agar tidak rusak hukumnya tidak makruh. al-Tirmiżī meriwayatkan doa yang ajarkan Allah kepada Rasulullah ﷺ sebagai berikut,
Artinya,
“Jika engkau menginginkan fitnah pada hamba-Mu, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terfitnah.” (H.R. al-Tirmiżī)
Umar juga pernah berdoa supaya diwafatkan dalam konteks seperti ini. Mālik meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Sa’id bin Musayyab bahwa ia mendengarnya berkata: “Ketika Umar bin Khattab tiba dari Mina, ia menderumkan untanya di Abtah. Umar kemudian mengumpulkan kerikil dan menumpuknya. Ia lalu menutupi kerikil-kerikil tersebut dengan jubahnya sambil berbaring, ia menjulurkan tangannya ke langit dan berkata: ‘Ya Allah, usiaku telah lanjut, kekuatanku telah melemah, dan rakyatku mulai bertebaran, maka jemputlah diriku ke hadirat-Mu tanpa menyia-nyiakan dan berlebih-lebihan.’” (H.R.Māliki)
Diriwayatkan Abū Hurairah juga meminta jenis kematian seperti ini. Dalam kitab al-Tsabāt ‘Inda al-Mamāt disebutkan sebagai berikut,
Artinya,
“Abū Hurairah berkata, ‘Barangsiapa melihat kematian dijual maka belikankah untukku.”
Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Jika harapan kematian itu karena kuatir terfitnah dinnya, maka tidak mengapa.” (Rauḍatu al-ṭālibīn, juz 2 hlm 98)
Bahkan mengharap kematian seperti ini hukumnya disunahkan sebagaimana disebutkan al-Nawawī dalam fatwanya dan dinukil dari Al-Syāfi‘ī serta Umar bin Abdul Aziz.
Ada lagi jenis mengharap kematian yang sunah, yakni mengharap mati untuk kebaikan akhirat seperti mengharap mati syahid. Rasulullah ﷺ pernah mengharap mati syahid berkali-kali. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Kalau seandainya tidak memberatkan umatku, tentu aku tidak akan duduk tinggal diam di belakang sariyyah (pasukan khusus) dan tentu aku ingin sekali bila aku terbunuh di jalan Allah lalu aku dihidupkan lagi kemudian terbunuh lagi lalu aku dihidupkan kembali kemudian terbunuh lagi.”
Rasulullah ﷺ juga memuji orang yang mengharapkan mati syahid dan menjanjikan, siapapun yang ingin mati syahid maka akan mendapatkan pahala mati syahid meski wafat di tempat tidurnya. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada’ meski ia meninggal dunia di atas tempat tidur.” (H.R.Muslim)
Diriwayatkan Umar bin al-Khaṭṭāb juga pernah mengharap mati syahid. Mu’āż bin Jabal juga berharap mati syahid dalam wabah ‘Amawās. Semua dalil ini menguatkan bahwa mengharap mati syahid itu disunahkan dan tidak dicela.
***
13 Dzulhijjah 1442 H