Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika seorang wanita mau dinikahi seorang lelaki tapi dengan syarat dia tidak dipoligami, maka syarat ini fāsid (rusak), tidak berlaku dan tidak wajib dipenuhi. Jika keduanya melangsungkan akad nikah, maka akad nikah itu sah, tetapi syarat tidak dipoligami itu tidak berlaku dan tidak wajib dipenuhi.
Dalil yang menunjukkan bahwa syarat tidak dipoligami itu syarat fāsid/rusak adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Nikahilah wanita-wanita yang kalian sukai dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat.” (Q.S.al-Nisā’: 3)
Dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa lelaki boleh menikahi wanita lebih dari satu, yakni menikahi dua wanita atau tiga wanita atau empat wanita. Jika wanita mensyaratkan tidak dipoligami berarti dia melarang yang dibolehkan oleh Allah. Syarat seperti itu adalah syarat fāsid karena melarang lelaki melakukan sesuatu yang menjadi haknya dan mubah bagi dia melakukannya sehingga syarat seperti itu batil dan tidak berlaku.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Barangsiapa menetapkan syarat yang tidak ada dalam kitabullah (bertentangan dengan kitabullah) maka itu batil/tidak berlaku.” (H.R.al-Bukhārī)
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa semua syarat yang bertentangan dengan syariat adalah syarat batil yang tidak berlaku. Mempersyaratkan tidak dipoligami adalah syarat yang bertentangan dengan syariat, jadi itu adalah syarat batil sehingga tidak berlaku.
Dikatakan syarat batil, karena menuntut tidak dipoligami itu bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāḥ/mūjibul ‘aqdi (tuntutan akad nikah). Pasalnya, jika seorang lelaki menikah dengan satu wanita, maka muqtaḍā al-nikāḥ adalah menghalalkan lelaki tersebut untuk menikah lagi dengan wanita ke-2, ke-3 dan ke-4. Penjelasannya: Jika seorang lelaki telah menikahi seorang wanita, maka persepsi umum orang adalah lelaki itu menjadi “milik” wanita tersebut satu-satunya. Dugaan ini dikoreksi syariat dengan ayat poligami untuk menegaskan bahwa halal hukumnya lelaki yang sudah beristri satu untuk menikah lagi sampai maksimal empat. Jadi, kehalalan poligami dihukumi sebagai tawābi‘ (hukum cabang yang mengikuti) dan ātsār (konsekuensi) akad nikah sehingga disebut sebagai muqtaḍā al-nikāḥ. Jika ini dilarang oleh istri, maka ini mengharamkan yang dihalalkan Allah sehingga dihukumi bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāḥ. Jadi syarat ini adalah syarat batil sehingga tidak berlaku. Inilah pendapat mu’atamad mazhab Al-Syāfi‘ī. Al-Nawawī berkata,
أَوْ كَانَ عَلَيْهَا، بِأَنْ شَرَطَ أَنْ لَا يَقْسِمَ لَهَا، أَوْ يَجْمَعَ بَيْنَ ضَرَّاتِهَا وَبَيْنَهَا فِي مَسْكَنٍ، أَوْ لَا يُنْفِقَ عَلَيْهَا. ثُمَّ فَسَادُ الشَّرْطِ لَا يُفْسِدُ النِّكَاحَ عَلَى الْمَشْهُورِ» روضة الطالبين وعمدة المفتين» (7/ 265)
Artinya:
“Jika lelaki menetapkan syarat yang bertentangan dengan tuntutan akad nikah maka itu ada dua macam. Pertama, syarat yang tidak merusak tujuan asli pernikahan. Syarat seperti ini rusak, sama saja apakah menguntungkan wanita seperti mempersyaratkan tidak akan berpoligami atau tidak mengambil budak perempuan atau menceraikannya atau tidak melakukan safar dengannya atau mengizinkan wanita keluar rumah kapan pun ia kehendaki atau menceraikan madunya, maupun syarat yang merugikannya seperti menetapkan syarat tidak membagi waktu bermalam untuknya atau membuatnya tinggal bersama madunya dalam satu tempat tinggal atau tidak menafkahinya. Kemudian rusaknya syarat tidak merusak keabsahan akad nikah berdasarkan pendapat yang paling kuat.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 7 hlm 265)
Adapun jika lelaki mengikuti mazhab Hambali, lalu calon istrinya mensyaratkan tidak dipoligami sebelum menikah, maka syarat tersebut wajib dipenuhi. Sebab, mazhab Hambali memandang syarat tidak dipoligami adalah syarat yang sah karena manfaatnya kembali pada wanita sebagaimana sahnya syarat tidak dipisahkan dari orang tuanya, atau tidak keluar dari kampungnya, atau tidak mau pindah rumah, tidak dibawa safar dan semisalnya. Suami bermazhab Hambali wajib memenuhi syarat tersebut dan jika dia melanggar (misalnya poligami diam-diam) maka istri berhak khiyār, yakni bisa membubarkan pernikahan jika mau.
***
16 Zulhijah 1442 H