Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Ringkasnya, perjanjian pranikah yang sah adalah yang sejalan dengan muqtaḍā al-nikāḥ (مقتضى النكاح)/-konsekuensi hukum pernikahan- sementara perjanjian pranikah yang tidak sah adalah yang bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāḥ.
Contoh perjanjian pranikah yang sah karena sesuai dan memperkuat muqtaḍā al-nikāh misalnya,
- Suami wajib mempergauli istri dengan makruf
- Suami wajib menafkahi istri dalam urusan makanan, pakaian dan tempat tinggal
- Suami wajib membayar dan menyerahkan mahar langsung seteleh akad nikah
- Suami wajib menyetubuhi istri minimal sekali dalam 4 bulan
- Suami boleh berpoligami
- Suami wajib adil jika berpoligami
- Jika suami berpoligami, dia tidak boleh menghimpun istri dalam satu rumah
- Suami tidak wajib adil dalam dua hal yakni urusan cinta dan urusan setubuh
- Suami tidak wajib memberikan uang jajan untuk istri
- Suami tidak wajib menanggung biaya pengobatan istri
- Suami tidak wajib menanggung biaya pendidikan istri
- Istri wajib taat kepada suami
- Istri wajib berdandan jika dibelikan kosmetik suami
- Istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami
- Istri tidak boleh bekerja kecuali diizinkan suami
- Istri tidak boleh menerima tamu siapapun meskipun di kalangan kerabat tanpa seizin suami
- Istri tidak boleh puasa sunah kecuali atas seizin suami
- Istri tidak boleh ikut organisasi apapun kecuali diizinkan suami
- Suami wajib membiayai nafkah anak baik makanan, pakaian maupun pendidikan
- Suami dan istri wajib bersama-sama mengasuh dan mendidik anak dengan makruf agar menjadi hamba Allah yang saleh
- Jika terjadi perceraian, maka nafkah anak tetap ditanggung suami sampai anak mampu
- Jika terjadi perceraian, maka hak asuh anak sampai usia mumayiz di tangan istri. Jika istri menikah, maka hak asuh anak jatuh di tangan suami. Jika anak sudah besar maka mereka di-takhyīr (diberi pilihan) apakah ikut ayahnya ataukah ibunya.
Termasuk yang semakna dengan ini adalah semua syarat mubah/jaiz/halal yang tidak terkait dengan muqtaḍā al-nikāḥ. Perjanjian pra nikah jenis ini statusnya sah, mengikat dan wajib dipenuhi. Contoh perjanjian jenis ini misalnya,
- Suami bersedia menafkahi orang tua istri sampai wafat (sebab, sebelumnya istri bekerja dan menafkahi orang tuanya. Saat istri menerima pinangan lalu menikah, maka dia tidak bekerja dan tidak ada lagi yang bisa menafkahi orang tuanya)
- Suami bersedia membiaya sekolah adik-adiknya (sebab, sebelumnya istri bekerja dan membiayai adik-adiknya. Saat istri menerima pinangan lalu menikah, maka dia tidak bekerja dan tidak ada lagi yang bisa mmebiauyai adik-adiknya)
- Harta suami dan istri statusnya dipisah dan tidak dicampur dengan cara apapun, baik harta itu diperoleh, baik bekerja, bisnis, hibah, warisan atau yang lainnya
- Harta suami dan istri statusnya dicampur baik harta itu diperoleh, baik bekerja, bisnis, hibah, warisan atau apapun. Jika salah satu wafat maka hak milik salah satu pasangan adalah 50%
- Masing-masing pasangan tidak boleh menggunakan/mengelola/mentasarrufkan harta pasangan (baik dijadikan modal, dihibahkan, diwakafkan, dll) tanpa izin
- Utang masing-masing pihak menjadi tanggungan masing-masing (sendiri-sendiri)
Semua jenis perjanjian di atas (baik yang sejalan dan berhubungan dengan muqtaḍā al-nikāḥ maupun yang tidak terkait dengan muqtaḍā al-nikāḥ), selama syarat yang diajukan mubah (bukan syarat haram) maka perjanjian itu wajib dipenuhi, bahkan kata Nabi ﷺ termasuk jenis syarat yang paling berhak untuk dipenuhi. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Uqbah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah, syarat pernikahan.” (H.R.al-Bukhārī)
Adapun perjanjian pra nikah yang tidak sah, maka ia mencakup semua jenis perjanjian yang bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāḥ tanpa membedakan apakah sifat penentangannya “ringan” maupun “berat”.
Contoh perjanjian pranikah yang bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāḥ tapi sifatnya “ringan” misalnya,
- Suami berjanji kepada istri tidak akan berpoligami
- Suami berjanji kepada istri tidak akan melakukan tasarrī (mengambil sariyyah/budak wanita)
- Suami berjanji tidak akan mentalak istri
- Suami berjanji tidak akan mengajak istri pergi dari rumah orang tuanya, atau pergi dari kampung halamannya atau pergi untuk melakukan safar/perjalanan
- Suami mengizinkan istri boleh keluar rumah kapanpun ia kehendaki
- Suami harus menceraikan istrinya yang lain maksimal satu bulan setelah akad nikah dengan istri baru
- Suami tidak usah membagi jatah bermalam untuk istri-istrinya
- Suami punya wewenang menghimpun istri-istrinya dalam satu rumah jika dia mau
- Suami tidak wajib menafkahi istri
- Suami hanya memberi nafkah istri sebesar 50% dari seharusnya
- Istri tidak boleh berbicara dengan orang tuanya sendiri atau saudaranya sendiri
- Suami istri tidak saling mewarisi
- Kewajiban nafkah ditanggung selain suami
- Dan lain sebagainya
Perjanjian seperti ini dan semisalnya tidak sah karena bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāh. Jadi meskipun sudah pernah diucapkan, maka ia tidak berlaku dan tidak wajib dilaksanakan. Tetapi status penentangan perjanjian jenis ini adalah “ringan”. Dikatakan ringan karena tidak menghalangi suami untuk menyetubuhi istri (lā yukhillu bil maqṣūd al-aṣlī minan nikāḥ wahuwa al-istimtā‘/al-waṭ’u). Konsekuensi penentangan “ringan” adalah jika perjanjian ini diucapkan saat akad nikah, maka akad nikahnya sah tapi perjanjiannya fāsid/rusak sehingga merusak mahar juga. Jika mahar rusak, maka kadar mahar yang disepakati tidak berlaku dan wanita berhak mahar mistli.
Contoh perjanjian pranikah yang bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāḥ yang sifat penentangannya “berat” adalah,
- Suami harus langsung mencerai istri setelah akad nikah sah. Atau, suami harus mencerai istri setelah bersetubuh satu kali. Atau, Suami harus mencerai istri setelah bersetubuh 10 kali. Atau, Suami memberikan hak talak kepada istri sehingga kapan pun istri mau lepas dari suami maka dia berhak melakukannya.
- Suami tidak boleh menyetubuhi istri selama pernikahan
- Suami atau istri punya hak khiyār yakni bisa memilih sewaktu-waktu membubarkan pernikahan
Perjanjian seperti ini dan semisalnya tidak sah karena bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāh. Jadi meskipun sudah pernah diucapkan, maka ia tidak berlaku dan tidak wajib dilaksanakan. Status penentangan perjanjian jenis ini adalah “berat”. Dikatakan berat karena menghalangi suami untuk menyetubuhi istri (yukhillu bil maqṣūd al-aṣlī minan nikāḥ wahuwa al-istimtā‘/al-waṭ’u). Konsekuensi penentangan “berat” adalah jika perjanjian ini diucapkan saat akad nikah, maka akad nikahnya tidak sah/sah, perjanjiannya tidak sah dan maharnya juga fāsid/rusak.
Khusus untuk syarat “tidak ada persetubuhan”, dikecualikan jika suami impoten atau mamsūḥ atau majbūb, atau istri memiliki kelainan vagina sehingga tidak bisa disetubuhi, lalu di awal nikah sudah memberitahukan aib tersebut dan mensyaratkan tidak ada persetubuhan. Nikah seperti ini sah tapi syaratnya tetap fāsid sehingga maharnya juga fāsid.
Termasuk yang semakna dengan ini (syarat yang bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāḥ) adalah semua syarat haram, seperti syarat minum khamr, syarat membunuh orang yang tidak bersalah, syarat mencuri, syarat korupsi, syarat berzina, syarat murtad, syarat, melalukan kesyirikan, anak ikut agama ibu non muslim dan lain-lain. Semua syarat seperti ini tidak sah dan tidak berlaku. Syarat itu batil dan haram dilaksanakan.
Dalil yang menunjukkan perjanjian pra nikah yang haram atau bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāḥ itu tidak sah adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Barangsiapa menetapkan syarat yang tidak ada dalam kitabullah (bertentangan dengan kitabullah) maka itu batil/tidak berlaku.” (H.R. al-Bukhārī)
Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ menegskan semua syarat yang bertentangan dengan syariat adalah batil alias tidak berlaku. Semua perjanjian haram atau bertentangan dengan muqtaḍā al-nikāh jelas bertentangan dengan syariat. Jadi perjanjian jenis itu dihukumi batil dan tidak berlaku. Al-Nawawī berkata,
أَوْ كَانَ عَلَيْهَا، بِأَنْ شَرَطَ أَنْ لَا يَقْسِمَ لَهَا، أَوْ يَجْمَعَ بَيْنَ ضَرَّاتِهَا وَبَيْنَهَا فِي مَسْكَنٍ، أَوْ لَا يُنْفِقَ عَلَيْهَا. ثُمَّ فَسَادُ الشَّرْطِ لَا يُفْسِدُ النِّكَاحَ عَلَى الْمَشْهُورِ» روضة الطالبين وعمدة المفتين» (7/ 265)
Artinya:
“Jika lelaki menetapkan syarat yang bertentangan dengan tuntutan akad nikah maka itu ada dua macam. Pertama, syarat yang tidak merusak tujuan asli pernikahan. Syarat seperti ini rusak, sama saja apakah menguntungkan wanita seperti mempersyaratkan tidak akan berpoligami atau tidak mengambil budak perempuan atau menceraikannya atau tidak melakukan safar dengannya atau mengizinkan wanita keluar rumah kapan pun ia kehendaki atau menceraikan madunya, maupun syarat yang merugikannya seperti menetapkan syarat tidak membagi waktu bermalam untuknya atau membuatnya tinggal bersama madunya dalam satu tempat tinggal atau tidak menafkahinya. Kemudian rusaknya syarat tidak merusak keabsahan akad nikah berdasarkan pendapat yang paling kuat.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 7 hlm 265)
***
17 Zulhijah 1442 H