Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Jika lelaki yang berpoligami memutuskan tidur bermalam bersama istri, maka dia wajib melakukan qasm (pembagian jatah bermalam) untuk semua istrinya dalam rangka merealisasikan perintah adil kepada istri-istrinya. Jika suami tidak adil dalam urusan qasm ini, maka dia berdosa, zalim terhadap istri dan terancam datang menghadap Allah pada hari kiamat dalam keadaan tubuh copot separuh.
Adapun cinta, maka disunahkan juga memberikan cinta yang sama rata kepada seluruh istri-istrinya. Cinta suami yang sama rata kepada istri-istrinya akan meminimalisasi perasaan cemburu istri satu sama lain.
Disunahkan juga menyamakan intensitas jimak kepada seluruh istri-istrinya. Jika satu istri disetubuhi 3 kali dalam sepekan, seyogyanya istri yang lain juga dikumpuli 3 kali dalam sepekan. Jika suami menyetubuhi istrinya satu kali setiap bermalam dengan salah satu istri, maka dianjurkan juga semua istrinya diperlakukan sama. Demikian pula semua jenis istimtā’ (bersenang-senang) selain jimak seperti ciuman, cumbuan pelukan dan semisalnya. Semua jenis istimtā‘ disunahkan suami juga menyama ratakan untuk semua istri-istrinya.
Hanya saja, suami tidak wajib menyama ratakan istri dalam cinta dan jimak. Dengan kata lain, suami tidak wajib adil kepada istri-istrinya dalam urusan cinta dan jimak. Status hukum menyamakan kadar cinta dan jimak adalah sunah. Jika suami tidak menyamakan dan cenderung kepada istri tertentu dalam dua hal tersebut, maka suami tidak berdosa.
Urusan cinta adalah urusan hati. Kecenderungan hati dan cinta kepada orang tertentu itu susah dikendalikan. Apalagi berusaha menyamakan kadar cinta untuk beberapa wanita, hal itu sungguh sulit bagi lelaki. Jadi wajar saja jika suami lebih cinta kepada salah satu istrinya yang barangkali punya kelebihan yang tidak dimiliki istri lainnya misalnya dalam hal kecantikan, kecerdasan, kedalaman ilmu, kelembutan, kesabaran, pelayanan, kesalihan dan lain sebagainya.
Demikian pula dalam hal jimak. Menyamakan intensitas jimak itu perkara yang sulit. Sebab jimak itu terkait dengan kemampuan ereksi suami dan syahwatnya. Bisa jadi ada istri tertentu yang memiliki bentuk tubuh, atau warna kulit, atau organ tubuh tertentu yang jauh lebih cepat memicu syahwat suami daripada istri yang lain. Sangat biasa lelaki langsung bernafsu melihat wanita dengan tipe tertentu tapi syahwatnya sama sekali tidak bangkit dengan wanita tertentu.
Jadi, jika tidak ada tuntutan adil dalam perkara cinta dan jimak, maka secara fakta itu memang bisa dimengerti.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa suami yang berpoligami tidak wajib adil dalam urusan cinta dan jimak, maka itu didasarkan pada ayat berikut ini,
Artinya,
“Kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.“ (Q.S.al-Nisā’; 129)
Dalam ayat di atas Allah menegaskan bahwa para suami tidak akan bisa bersikap adil kepada para wanita. Yang dimaksud tidak bisa adil itu bukan dalam segala hal, tetapi dalam hal tertentu saja yaitu cinta dan jimak. Sebab seorang lelaki tetap bisa berbuat adil dalam hal-hal manusiawi dan berada dalam wilayah kemampuannya seperti adil dalam hal jatah tidur bermalam, pemberian nafkah, uang jajan, uang kosmetik, mengajak istri saat safar dan semisalnya. Tetapi, terkait cinta dan jimak, ini sudah di luar kuasa suami. Jadi, walaupun sekuat tenaga suami berusaha adil dalam dua hal ini, maka itu tidak akan pernah bisa mencapai keadilan hakiki. Inilah yang dijelaskan oleh Sahabat besar yang bernam Ibnu ‘Abbās. Al-Baihaqī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Ibnu ‘Abbās r.a. terkait firman Allah, “Kalan tidak akan mampu berbuat adil kepada istri-istri kalian walaupun sangat menginginkan”. Ibnu ‘Abbās berkata; dalam urusan cinta dan jimak.” (H.R. al-Baihaqī)
Oleh karena itu, ketika Allah sudah tahu manusia tidak akan bisa berbuat adil dalam urusan cinta dan jimak, Allah melarang jika kecenderungan kepada salah satu istri itu sifatnya berlebihan sampai level membuat istrinya yang lain terlantar. Kata Allah, jangan kau buat istrimu seperti mu’allaqah. Makna mu’allaqah adalah tergantung. Wanita dikatakan tergantung jika dia diabaikan. Dikatakan ditalak faktanya tidak ditalak, tapi dikatakan istri faktanya juga tidak disentuh. Pergaulan seperti ini dicela dalam Al-Qur’an. Jadi, seorang suami boleh mencintai salah stau istrinya melebihi yang lain, tapi tidak boleh berlebihan dan keterlalun sampai membuat istri-istri lainnya seperti “terlantar”.
Rasulullah ﷺ sendiri telah mencontohkan, beliau berbuat adil dalam segala kepada istri-istrinya. Dalam nafkah, giliran saat diajak safar, jatah waktu bermalam dan lain sebagainya beliau selalu adil. Akan tetapi sudah diketahui bahwa Rasulullah ﷺ lebih mencintai Aisyah daripada istri-istrinya yang lain. Yang seperti ini tidak mengapa karena memang di luar kuasa manusia. Karena itulah, Rasulullah ﷺ berdoa kepada Allah supaya Allah memaafkan ketidakmampuan beliau untuk menyamaratakan istri-istrinya dalam urusan hati itu. Abū Dāwūd meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah ﷺ memberikan pembagian dan berbuat adil dalam membagi, dan beliau berkata: “Ya Allah, inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku pada sesuatu yang Engkau mampu dan tidak aku mampu.” (H.R.Abū Dāwūd)
Kesimpulannya, suami tidak wajib adil dalam hal cinta dan jimak, tetapi disunahkan untuk menyamakan hal itu untuk seluruh istri-istrinya semampu dia. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Jika suami telah menyamakan istri-istrinya secara lahir, maka dia tidak dihukum karena tambahan kecenderungan hatinya kepada sebagian istrinya. Tidak wajib juga menyamaratakan dalam urusan jimak. Akan tetapi disunahkan menyamakan dalam urusan jimak dan semua istimtā‘ lainnya.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 7 hlm 345)
***
19 Zulhijah 1442 H