Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Haram hukumnya seorang lelaki yang berpoligami menghimpun istri-istrinya dalam satu rumah. Meskipun hanya tinggal satu malam, menghimpun istri dalam satu rumah tetap haram.
Dalil yang menunjukkan haramnya menggabung istri dalam satu rumah adalah perbuatan Rasulullah ﷺ. Ketika Rasulullah ﷺ berpoligami, setiap istri diberi satu rumah terpisah, lengkap dengan peralatan rumah tangga yang dibutuhkan. Padahal Rasulullah ﷺ mampu menghimpun mereka dalam satu rumah. Perbuatan Rasulullah ﷺ menyendirikan tiap istri dengan satu rumah menunjukkan nafkah wajib untuk istri berupa rumah itu hukum asalnya sendiri-sendiri.
Dalil lain yang menguatkan adalah peristiwa marahnya Ḥafṣah. Suatu saat Rasulullah ﷺ datang ke rumah Ḥafṣah karena waktu itu adalah hari yang menjadi jatah Ḥafṣah. Ternyata Ḥafṣah sedang keluar rumah untuk suatu keperluan. Lalu Rasulullah ﷺ memanggil budak beliau yang bernama Māriyah al-Qibṭiyyah ke rumah Ḥafṣah dan digauli di sana. Kebetulan pada momen itu Ḥafṣah pulang. Lalu Ḥafṣah menjadi marah dan Rasulullah ﷺ membujuk hatinya dengan cara bersumpah tidak akan menggauli Māriyah lagi. Kemarahan Ḥafṣah yang diakui Rasulullah ﷺ ini menunjukkan kemarahan itu menjadi hak Ḥafṣah. Mengingat penyebab marahnya Ḥafṣah adalah saat Rasulullah ﷺ menggauli Māriyah di rumahnya dan itu membangkitkan cemburu, maka peristiwa ini secara implisit menunjukkan istri punya hak untuk menolak tinggal bersama madu yang lain dalam satu rumah karena hal itu bisa memicu cemburu dan emosinya. Jadi, berdasarkan peristiwa kemarahan Ḥafṣah ini, seorang suami diharamkan menghimpun istri dalam satu rumah. Sa‘īd bin Manṣūr menceritakan peristiwa ini dengan redaksi sebagai berikut,
Artinya,
“Dari al-Ḍaḥḥāk bahwasanya suatu hari Ḥafṣah Ummul Mukminin mengunjungi ayahnya di hari jatahnya. Tatkala Rasulullah ﷺ datang dan beliau tidak melihat Ḥafṣah, maka beliau memanggil budak perempuannya yang bernama Māriyah al-Qibṭiyyah kemudian menggaulinya di rumah Ḥafṣah. Lalu Ḥafṣah datang pada momen itu. Diapun berkata (dengan marah), ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau melakukan hal ini di rumahku dan pada hari jatahku?’ Rasulullah pun bersabda, ‘Kalau begitu dia haram bagiku dan jangan kau memberitahu siapapun terkait hal ini’. Lalu Ḥafṣah pergi ke Aisyah radhiyallahu anha dan memberitahukan hal itu. Kemudian Allah menurunkan ayat, ‘Wahai Nabi, kenapa engkau mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah?’ sampai firman Allah, ‘Waṣāliḥul mu’minīn”. Lalu Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk menebus sumpahnya dan menggauli budaknya.” (H.R.Sa‘īd bin Manṣūr)
Lagipula, menghimpun seluruh istri dalam satu rumah bukanlah bentuk mu‘āsyarah bil ma‘rūf (pergaulan yang baik), sebab sama saja meletakkan bara api dalam rumah dan mengkondisikan mereka untuk seling membenci, saling mendiamkan dan bertengkar karena kecemburuan. Padahal Allah memerintahkan suami agar menggauli istri dengan baik. Jadi, menghimpun istri dalam satu rumah haram karena termasuk pergaulan yang buruk dari suami.
Dikecualikan jika seluruh istri rida diajak tinggal serumah. Dalam kondisi ini menghimpun istri-istri dalam satu rumah menjadi mubah. Sebab, tinggal di rumah sendiri-sendiri adalah hak istri. Jika semua istri menggugurkan haknya, maka itu dibolehkan sebagaimana bolehnya menggugurkan hak bermalam atau hak-hak lainnya. Dalil yang menunjukkan bolehnya istri menggugurkan hak adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Aisyah berkata, “Tatkala sakit Nabi ﷺ semakin berat, beliau minta izin kepada isteri-isterinya agar beliau dirawat di rumahku, lalu mereka pun mengizinkannya.” (H.R.al-Bukhārī)
Dalam hadis di atas, diriwayatkan Rasulullah ﷺ meminta izin kepada istri-istrinya untuk dirawat di rumah Aisyah. Lalu semua istri beliau mengizinkan. Hal ini menunjukkan bahwa terkait hak istri itu, jika semua mengizinkan maka sesuatu yang awalnya haram (yakni menginap di rumah Aisyah padahal bukan jatah harinya) menjadi boleh. Sebab semua istri punya hak bermalam, jika semua rida menggugurkan, maka boleh. Istri juga punya hak tempat tinggal. Jika mereka rida dijadikan satu maka juga tidak mengapa. Jika setelah rida itupun mereka mencabut rida itu, maka itu juga hak mereka. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Diharamkan menghimpun dua istri atau para istri dalam satu tempat tinggal meskipun hanya semalam kecuali dengan rida mereka.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 7 hlm 348)
Dikecualikan juga jika semua istri dihimpun dalam satu rumah, tetapi masing-masing ditempatkan di sebuah kamar yang mirip dengan apartemen. Yakni, tiap kamar disediakan kamar mandi dalam, WC sendiri, dapur sendiri, sumber air sendiri, lemari pakaian sendiri dan semisalnya. Dengan kata lain, boleh menghimpun istri-istri dalam satu rumah jika terealisasi infiṣalul marāfiq (انفصال المرافق) yakni terpisahnya sumber daya utama yang dibutuhkan dalam rumah tangga. Keharusan terpisahnya marāfiq (sumber daya utama yang dibutuhkan dalam rumah tangga) adalah karena marāfiq ini bisa menjadi wasilah pemicu pertengkaran di antara para istri yang sebenarnya sebab utamanya adalah cemburu. Oleh karena itu, jika tiap istri ditempatkan dalam kamar sendiri-sendiri dengan marāfiq masing-masing, yang seperti ini boleh karena serupa dengan memberikan rumah sendiri-sendiri dan karena sudah menghilangkan potensi pertengkaran saat dihimpun dalam satu rumah.
Termasuk dibolehkan dihimpun dalam stau rumah adalah jika satu istri diletakkan di lantai satu semnetara istri lainnya diletakkan di lantai atas dengan marāfiq maisng-masing.
Dikecualikan juga dalam kondisi istri-istri ikut suami dalam safar. Dalam kondisi tersebut, boleh menggabung istri dalam satu tempat tinggal misalnya dalam satu kemah atau satu kamar hotel. Sebab, keharusan menyediakan tempat itnggal yang berbeda menimbulkan masyaqah (beban berat/kesusahan) bagi suami padahal safar sifatnya sementara.
***
20 Zulhijah 1442 H