Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Tidak disyaratkan meminta izin istri untuk berpoligami, sebab menikahi wanita lebih dari satu adalah hak lelaki sebagaimana disebutkan Allah dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
Artinya,
“Nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.” (Q.S.al-Nisā’: 3)
Praktek Rasulullah ﷺ saat berpoligami juga tidak pernah meminta izin istri. Bahkan meminta pertimbangan saja tidak. Beliau menikahi Saudah, Aisyah, Ḥafṣah, Ummu Salamah, Zainab binti Jaḥsy, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Ḥabībah, Ṣafiyyah binti Ḥuyai, dan Maimūnah binti al-Ḥāriṣ atas keputusan pribadi dan atas petunjuk Allah. Tidak ada yang melalui proses minta izin kepada istri tua, istri muda, istri senior, istri yunior, dan juga tidak melalui proses forum dengar pendapat atau majelis pertimbangan.
Hanya saja, tidak diwajibkannya minta izin atau memberitahu istri ini tidak bermakna suami tidak masalah melakukan poligami secara sembunyi-sembunyi. Sebab, poligami sembunyi-sembunyi itu berpotensi melakukan banyak dosa.
PERTAMA adalah dosa dusta.
Kebanyakan lelaki yang menyembunyian poligaminya dia harus sering berdusta. Istri melihat tanda-tanda bahwa suaminya memiliki istri lain, tetapi tidak punya bukti yang meyakinakan. Saat istri mengklarifikasi, suami berusaha menyembunyikan karena kuatir istrinya marah atau menimbulkan konflik atau memicu pertengkaran yang berakhir dengan perceraian. Akhirnya suami memilih berdusta. Bahkan dalam beberapa kasus ditambahi sumpah atas nama Allah segala. Dalam kondisi seperti ini, berarti menyembunyikan poligami jelas menyeret pada maksiat, sebab dusta termasuk dosa besar. Dalam hadis dikabarkan siksaan mengerikan seorang pendusta. Dia nanti akan digergaji sudut mulutnya sampai tembus ke arah tengkuk bergantian dari sudut mulut kanan ke kiri terus terusan. Saya telah membuat catatan khusus tentang azab pendusta ini dalam artikel berjudul “AZAB UNTUK PENDUSTA”.
Kalaupun suami tidak berdusta, minimal dia akan melakukan tauriyah (التورية) atau ta’rīḍ (التعريض). Makna tauriyah adalah mengucapkan satu kalimat yang punya makna ganda, yakni makna dekat dan makna jauh. Orang yang diajak bicara menyangka yang dimaksud adalah makna dekat padahal penutur memaksudkan makna jauh.
Contoh tauriyah misalnya begini. Seorang lelaki ditanya temannya, “Bisakah aku pinjam uang cash?” Lelaki itu kemudian menunjukkan telapak tangan kanannya sambil menjawab, “Wah maaf, saya gak bawa uang”. kalimat “saya gak bawa uang” ini punya dua makna yakni makna dekat dan makna jauh. Makna dekatnya adalah “Saya tidak punya uang cash sekarang” makna jauhnya adalah “Saat ini tangan saya tidak memegang uang, karena uang saya ada di dompet”. Nah penutur memaksudkan makna jauh sementara lawan bicaranya mengira makna dekat. Yang seperti ini adalah tauriyah dan tauriyah itu dekat dengan dusta.
Kata Al-Nawawī dalam al-Aẓkār, tauriyah itu jenis penipuan (ḍarbun min al-tagrīr wa al-khidā‘). Ia bukan dusta tapi sangat mendekati dusta. Tauriyah hanya boleh dipakai dalam kondisi terpaksa. Jika tidak mendesak, maka statusnya makruh. Jika mengantarkan kepada kebatilan atau kezaliman maka tauriyah menjadi haram.
KEDUA, menzalimi istri dalam hal nafkah.
Orang yang berpoligami dituntut untuk menafkahi istri baru disamping istri lama. Nafkah itu mencakup tempat tinggal, pakaian dan makanan. Jika istri layak mendapatkan pembantu, maka suami juga wajib menyediakan pembantu. Untuk menafkahi, tentu suami akhirnya harus membagi penghasillannya antara nafkah untuk istri lama dengan istri baru. Jika poligami disembunyikan, bagaimana cara suami menafkahi istri barunya? Apakah logis dan tidak menimbulkan masalah jika suami tiba-tiba keluar uang banyak tanpa kejelasan kemana larinya uang tersebut? Jika seperti ini kondisinya, maka kemungkinannya menjadi dua;
Pertama, suami tidak menafkahi istri barunya sama sekali atau menafkahinya tetapi tidak sempurna.
Kedua, suami akan berdusta kepada istri untuk mengalokasikan nafkah kepada istri baru tapi atas nama kebutuhan lain. Dua-duanya adalah dosa.
KETIGA, menzalimi istri dalam hal jatah waktu bersama istri.
Orang yang berpoligami dituntut adil dalam membagi waktu bersama istri. Dalam hal urutan bermalam saja suami tidak bisa menentukan sesukanya. Tidak boleh suami menetapkan langsung hari Senin untuk istri pertama lalu hari Selasa untuk istri kedua. Tidak bisa demikian. Dalam menentukan urutan bermalam pun suami harus adil. Caranya, urutan waktu bermalam harus ditentukan dengan undian. Nah, jika suami menyembunyikan poligaminya, bagaimana mungkin syariat mengundi urutan ini dilaksanakan?
Belum lagi dalam hal jumlah hari bersama. Lelaki yang berpoligami wajib membagi rata durasi waktu bersama istri. Jika suami tinggal bersama istri pertama selama satu hari, maka istri kedua juga berhak tinggal bersama suami selama satu hari. Jika suami tinggal bersama istri pertama selama 2 hari, maka istri kedua juga berhak tinggal bersama suami selama 2 hari. Jika suami tinggal bersama istri pertama selama 3 hari, maka istri kedua juga berhak tinggal bersama suami selama 3 hari. Jika poligami disembunyikan, bagaimana syariat keadilan pembagian hari ini dilaksanakan?
Belum lagi jika pebagian hari itu lebih dari 3 hari. Seorang suami yang memutuskan tinggal dengan istri lebih dari 3 hari misalnya sepekan untuk tiap istri atau 2 pekan atau sebulan dan seterusnya, maka dia wajib mengumpulkan seluruh istrinya untuk dimintai pertimbangan dan izin. Jika mereka semua mengizinkan dan rela maka baru boleh. Jika mereka tidak rela, maka hak suami hanya berhak menetapkan maksimal 3 hari saja. Jika suami dituntut supaya meminta izin dan kerelaan kepada seluruh istri untuk kasus bermalam lebih dari 3 hari, bagaimana mungkin syariat ini diterapkan untuk orang yang menyembunyikan poligaminya?
Belum lagi syariat-syariat yang lebih rumit dan ketat untuk merealisasikan keadilan dalam pembagian jatah waktu ini. Semua hal ini jika dirinci dan diteliti akan menunjukkan kepada kita betapa besarnya potensi zalim dan dosa yang dilakukan orang yang berpoligami secara sembunyi-sembunyi.
KEEMPAT, menzalimi istri dalam hal hak menemani suami dalam safar.
Rasulullah ﷺ jika hendak safar, beliau akan mengundi siapa di antara istri-istrinya yang berhak menemani beliau dalam safar. Hak menemani safar ini tidak mungkin dijadwal sesuai urutan, sebab safar itu sifatnya insidental dan tidak pasti. Jika istri diajak dengan mengikuti jadwal dan urutan, maka itu bisa berakibat menzalimi istri, karena bisa jadi suami sudah wafat sebelum mengajak safar semua istrinya. Oleh karena itu, cara paling adil dalam hal ini adalah mengundi. Jadi, siapapun nama yang keluar, maka dialah yang berhak menemani suaminya. Jika seorang istri sampai keluar namanya dalam undian lebih dari sekali, maka itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Nah, jika seorang lelaki menyembunyikan poligaminya, bagaimana mungkin bisa menerapkan syariat ini?
KELIMA, menzalimi istri dalam hak waktu “berbulan madu”.
Seorang suami yang menikah, tidak peduli monogami ataukah poligami dia wajib memberikan jatah waktu “bulan madu” kepada istrinya. Jika istrinya masih gadis, maka jatah hari “bulan madu” ini lamanya 7 hari. Jika istrinya sudah tidak perawan, maka jatah harinya 3 hari. Pemberian hari ini sifatnya wajib. Jika suami tidak melakukannya maka dia telah berbuat zalim dan dihukumi berdosa. Jika poligami dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bagaimana cara lelaki melaksanakan kewajiban ini? Mungkinkah dia tiba-tiba menghilang selama 7 hari atau 3 hari tanpa berita dan tidak menimbulkan masalah dengan istri yang selama ini dia tinggal bersamanya? Kalaupun bisa menyembunyikan maka kemungkinannya adalah dengan dusta atau sekurang-kurangnya dengan tauriyah.
KEENAM, menzalimi hak silaturahmi.
Orang yang menikah, maknanya dia membangun keluarga baru dan membuat koneksi-koneksi kekerabatan yang baru. Perbuatan ini punya konsekuensi, yakni kewajiban silaturahmi. Jika seorang lelaki berpoligami apalagi sampai punya anak, maka dia wajib mengajak keluarga dari istri pertama untuk menyambung silaturahmi dengan keluarga dari istri kedua. Anak harus saling dikenalkan dan harus tahu satu sama lain agar silaturahmi berjalan dengan sempurna. Jika poligami disembunyikan, bagaimana bisa syariat ini diterapkan? Suami yang terus-terusan menyembunyikan poligami mau tidak mau akan melanggar dosa memutus silaturahmi dan ini sudah cukup dihitung dosa besar.
KETUJUH, menzalimi hak waris.
Salah satu konsekuensi pernikahan adalah hak waris. Jika suami wafat maka seluruh anaknya berhak warisan, tidak peduli anak dari istri pertama, kedua, ketiga maupun keempat. Istri-istri juga berhak dapat warisan, tidak peduli istri pertama, kedua, ketiga maupun keempat. Bahkan istri yang sudah ditalak tapi masih di masa idah sekalipun masih tetap berhak dapat warisan. Seluruh cucu dan cicit sejauh apapun juga berhak mendapatkan warisan selama tidak ada ahli waris lain yang menggugurkan. Jika poligami disembunyikan, bagaimana bisa syariat pembagian waris ini diterapkan? Bukankah dari uraian ini bisa disimpulkan ada potensi kezaliman dalam hal pembagian harta waris sebagaimana potensi memakan harta haram gara-gara memakan harta warisan yang bukan haknya? Jadi, kezaliman jenis keenam ini bukan hanya berpotensi membuat dosa suami, tetapi juga berpotensi membuat berdosa istri-istri dan anak-anaknya juga.
Seperti inilah gambaran potensi dosa jika poligami disembunyikan. Jika seperti ini kondisinya, masihkah ada yang menyangka bahwa poligami itu mudah bagi orang-orang yang bertakwa?
***
24 Zulhijah 1442 H