Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Salah satu potensi dosa poligami yang lain adalah melalaikan nafkah anak. Dosa jenis ini secara umum dalil-dalil dan argumentasinya hampir sama dengan dosa melalaikan nafkah istri seperti yang saya tulis dalam artikel berjudul “BERPOLIGAMI TAPI TIDAK MENAFKAHI ISTRI ITU DOSA!”.
Bentuk melalaikan nafkah anak ini di lapangan bisa bermacam-macam. Ada yang tidak menafkahi sama sekali karena memang tidak peduli. Dia tidak mau kerja dan justru malah menghisap harta dari istrinya! Biasanya lelaki tipe seperti ini suka berpoligami dengan memburu janda-janda kaya atau wanita-wanita yang mandiri secara finansial. Jadi, dia bisa menikmati wanita yang dinikahinya itu tanpa perlu berpayah-payah memikirkan nafkah anak yang menjadi tanggungannya. Malah ada yang lebih tidak bermartabat dari itu, yakni menghisap uang dari istri barunya untuk menafkahi istri dan anak lamanya sambil dipakai sebagai modal untuk mencari “mangsa” baru sambil siap-siap membuang yang lama. Melalaikan nafkah anak seperti ini adalah dosa.
Termasuk dosa juga para lelaki yang menafkahi anaknya tapi tidak mencukupi. Termasuk dosa juga lelaki yang menafkahi anak tapi caranya suka-suka dia. Jika punya uang dia menafkahi sekedarnya, tapi jika tidak punya uang maka dia tidak menafkahi dan tidak berusaha mencari uang dengan bekerja.
Termasuk dosa juga adalah menafkahi anak hanya dari istri pertama, sementara anak dari istri yang lain nafkahnya dibebankan kepada ibu anak tersebut. Termasuk dosa juga menafkahi anak hanya dari istri yang belum dicerai, sementara anak dari istri yang sudah cerai tidak dinafkahi karena mengaggap istrinya bisa menanggung nafkah anaknya.
Termasuk dosa juga menafkahi anak hanya dari istri yang belum dicerai sementara anak dari istri yang sudah cerai tidak dinafkahi dengan alasan istrinya sudah menikah lagi dan berharap ayah sambungnya lah yang menanggung nafkah anaknya. Bentuk pelalaian nafkah seperti ini juga menjatuhkan martabat selain berdosa. Karena dia yang “membuat” anak tapi orang lain yang disuruh menanggung bebannya.
Termasuk dosa juga tidak menafkahi anak karena bertengkar dengan ibu dari anaknya itu.
Termasuk dosa juga mengabaikan nafkah anak dari istri “tua” karena sudah dianggap mampu dan mandiri lalu memperhatikan istri barunya, karena dirasakan bisa memberikan kesenangan baru dan dianggap lebih layak dapat perhatian. Lelaki jenis ini biasanya suka menuruti keinginan istri baru, tapi permintaan istri lama terkait nafkah anak selalu diabaikan atau tidak diprioritskan.
Semua perliaku lelaki seperti di atas terhitung dosa dan bukan akhlak mulia karena menafkahi anak itu hukumnya wajib.
Dalil yang menunjukkan wajibnya menafkahi anak adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Kewajiban ayah adalah menjamin nafkah makan dan pakaian untuk ibu secara makruf.” (Q.S.al-Baqarah: 233)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan ayah (yakni suami) menafkahi ibu (yakni istri) dengan cara yang makruf. Nafkah itu mencakup makanan dan pakaiannya. Konteks istri yang wajib dinafkahi dalam ayat di atas adalah istri yang menyusui anaknya. Jika Allah mewajibkan menafkahi istri yang sedang menyusui anak, sementara anak tidak bisa hidup jika tidak disusui ibu, maka secara tidak langsung ayat ini juga menjadi dalil wajibnya menafkahi anak untuk menjaga mereka tetap hidup.
Dalil lain yang menguatkan adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Jika mantan-mantan istrimu itu menyusui anakmu maka berilah upah mereka.” (Q.S.al-Ṭalāq: 6)
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan memberi upah kepada para wanita yang menyusui anaknya. Hampir sama dengan ayat sebelumnya, kewajiban memberi upah adalah karena wanita tersebut menyusui anak. Sementara anak hanya bisa hidup jika disusui.
Jadi, secara implisit ayat ini menunjukkan kewajiban menjaga hidup anak dengan cara menafkahi mereka meskipun caranya adalah melewati seorang ibu susu.
Dalil lain yang menguatkan adalah sabda Rasulullah ﷺ terhadap Hindun berikut ini,
Artinya,
“Ambillah (Wahai Hindun) dari hartanya (Abū Sufyān, suamimu) secara makruf yang mencukupimu dan anak-anakmu.” (H.R.Muslim)
Konteks hadis di atas adalah Hindun mengeluhkan suaminya (Abū Sufyān) yang punya sifat kikir yang membuat dia dan anaknya tidak bisa makan dengan layak. Lalu Hindun bertanya apakah boleh mengambil uang suaminya diam-diam tanpa sepengatahuannya? Ternyata Rasulullah ﷺ mengizinkan dan memerintahkan mengambil harta suami yang cukup untuk memberi makan Hindun dan anaknya. Ini menunjukkan wajib ayah itu menafkahi anak.
Bahkan, selain dalil-dalil di atas, ada hadis lugas yang menyebut lelaki berdosa besar jika sampai meyia-nyiakan nafkah orang yang ditanggungnya. Abū Dāwūd meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang ada dalam tanggungannya.” (H.R.Abū Dāwūd)
Makna hadis di atas adalah, seorang lelaki itu andai saja dia tidak punya dosa selain dosa menyia-nyiakan nafkah orang yang ditanggung, maka itu sudah cukup sebagai dosa yang menjerumuskannya ke neraka. Menafkahi anak termasuk menafkahi orang yang ditanggung. Jadi menyia-nyiakan nafkah anak sudah cukup untuk membuat seseorang masuk neraka.
Begitulah.
Jadi menafkahi anak itu hukum wajib, tidak peduli Anda monogami ataukah berpoligami. Nafkah anak juga tetap wajib, tidak peduli apakah Anda masih terikat pernikahan dengan ibu anak tersebut ataukah sudah bercerai. Nafkah anak wajib terus disediakan ayah sampai anak bisa mandiri dan bisa bekerja sendiri atau menikah sehingga ditanggung suaminya. Menafkahi anak adalah konsekuensi logis saat Anda memutuskan untuk berumah tangga.
Jika Anda tidak punya uang untuk menafkahi anak, tetapi Anda bisa bekerja mencari uang, maka wajib bagi Anda untuk bekerja mencari uang agar bisa menafkahi anak.
Jika Anda tidak punya uang, dan tidak bisa bekerja tapi Anda punya barang yang bisa dijual, misalnya sepeda motor atau HP, atau laptop, atau tanah atau properti lainnya, maka benda tersebut wajib dijual agar bisa memberi nafkah anak.
Jika Anda kikir dan tidak mau menafkahi anak, maka ibu anak tersebut berhak mengambil paksa harta Anda sekedar mencukupi nafkah anaknya. Ibu dari anak tersebut juga boleh berutang atas nama Anda tersebut agar Anda nanti yang melunasinya. Syaratnya ibunya kompeten mengelola harta dan bisa dipercaya mengelola harta benar-benar untuk kemaslahatan anak.
Ada lagi jenis melalaikan nafkah anak karena menyembunyikan poligaminya dari istri pertama. Ini lebih banyak lagi potensi dosanya. Contoh potensi dosa menyembunyikan anak adalah dalam kaitannya dengan warisan. Jika ayah wafat, maka ahli waris itu bukan hanya anak dari istri pertama, tapi juga anak-anak dari istri yang lain. Semua istrinya yang disembunyikan juga berhak warisan. Jika ini tidak diketahui, maka itu jelas akan menzalimi hak waris anak-anak dan istri yang disembunyikannya.
Potensi dosa yang lain adalah terkait kewajiban silaturahmi. Seorang muslim hukumnya fardu ain melakukan silaturahmi. Termasuk yang wajib disambung silaturahmi adalah saudara seayah. Jika ini disembunyikan, maka ayah sama saja menjadi penyebab maksiat anak-anaknya dan itu adalah bentuk dosa.
Potensi dosa yang lain adalah menyembunyikan status anak sebagai āqilah bagi saudaranya yang lain. Dalam hukum fikih, ada ketentuan kerabat yang berperan sebagai ‘āqilah. Makna ‘āqilah adalah kerabat laki-laki yang wajib menanggung diat dalam kondisi kerabatnya melakukan pembunuhan tidak disengaja.
Saudara seayah termasuk ‘āqilah. Jika ini disembunyikan, maka hal itu bisa mengakibatkan kezaliman terhadap harta, karena membuat orang lain punya tanggungan wajib tapi tidak dilaksanakan gara-gara dosa menyembunyikan anak yang dilakukan ayah.
Nah, sampai di sini apakah sudah tergambar seperti apa beban dan tanggung jawab lelaki yang berpoligami dan punya anak?
***
22 Zulhijah 1442 H/31 Juli 2021