Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Di antara akhlak terpenting lelaki yang berpoligami adalah mubālagah fil irḍā’ (المبالغة في الارضاء). Makna mubālagah fil irḍā’ adalah bersungguh-sungguh membuat istri menjadi rida terutama pada situasi-situasi istri sakit hati karena sifat manusiawinya, yakni cemburu.
Saya akan menunjukkan bagaimana sifat luar biasa ini dicontohkan Rasulullah ﷺ dalam sebuah peristiwa. Sifat seperti ini sungguh layak diperhatikan dan dicontoh oleh para lelaki yang berpoligami.
Kisahnya begini.
Suatu saat Rasulullah ﷺ datang ke tempat tinggal Ḥafṣah. Waktu itu memang jatah hari Ḥafṣah. Lalu Ḥafṣah minta izin Rasulullah ﷺ untuk mengunjungi ayahnya. Rasulullah ﷺ pun mengizinkan. Karena Rasulullah ﷺ sedang butuh, beliau memanggil budak perempuannya yang bernama Māriyah al-Qibṭiyyah, kemudian digauli di kamar Ḥafṣah itu. Kebetulan saat itu Ḥafṣah pulang. Ternyata pintunya tertutup. Akhirnya Ḥafṣah menunggu di luar.
Tak lama kemudian, Rasulullah ﷺ keluar dan mendapati Ḥafṣah sudah menangis. Dengan marah yang bercampur dengan cemburu dan sedih, Ḥafṣah mengatakan, “Mengapa engkau melakukan ini kepadaku wahai Rasulullah ﷺ? Di hari giliranku dan di kamarku lagi!”
Begitu mengetahui bahwa hati Ḥafṣah sedang terluka karena cemburu, maka Rasulullah ﷺ segera menghibur dan melunakkkan hatinya. Rasulullah ﷺ mengatakan kepadanya bahwa mulai hari itu Māriyah beliau haramkan atas dirinya sendiri sehingga beliau tidak akan menggaulinya untuk seterusnya. Demi mendengar janji Rasulullah ﷺ itu, maka segera saja amarah dan kecemburuan Ḥafṣah menjadi reda. Tentu saja Ḥafṣah sangat bahagia dan tersanjung. Karena janji Rasulullah ﷺ untuk tidak menggauli Māriyah untuk seterusnya menunjukkan betapa berharganya Ḥafṣah di hati Rasulullah ﷺ dan betapa beliau dimuliakan oleh Nabi ﷺ.
Kisah ini diriwayatkan oleh Sa‘īd bin Manṣūr sebagai berikut,
Artinya,
“Dari al-Ḍaḥḥāk bahwasanya suatu hari Ḥafṣah Ummul Mukminin mengunjungi ayahnya di hari jatahnya. Tatkala Rasulullah ﷺ datang dan beliau tidak melihat Ḥafṣah, maka beliau memanggil budak perempuannya yang bernama Māriyah al-Qibṭiyyah kemudian menggaulinya di rumah Ḥafṣah. Lalu Ḥafṣah datang pada momen itu. Dia pun berkata (dengan marah), ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau melakukan hal ini di rumahku dan pada hari jatahku?’ Rasulullah pun bersabda, ‘Kalau begitu dia haram bagiku dan jangan kau memberitahu siapapun terkait hal ini’. Lalu Ḥafṣah pergi ke Aisyah radhiyallahu anha dan memberitahukan hal itu. Kemudian Allah menurunkan ayat, ‘Wahai Nabi, kenapa engkau mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah?’ sampai firman Allah, “Waṣāliḥul mu’minīn”. Lalu Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk menebus sumpahnya dan menggauli budaknya.” (H.R.Sa‘īd bin Manṣūr)
Mari kita renungkan dan kita hayati.
Perbuatan Rasulullah ﷺ menggauli Māriyah di rumah dan kamar Ḥafṣah saat Ḥafṣah tidak ada sebenarnya adalah hak beliau. Itu adalah perbuatan mubah dan tidak ada salahnya sama sekali. Paling tidak ada dua alasan yang melandasinya.
Pertama, status Māriyah adalah budak Rasulullah ﷺ. Budak wanita itu halal disetubuhi tuan laki-lakinya, tetapi statusnya bukan istri. Jadi tidak ada kewajiban membagi jatah waktu secara adil antara budak dengan istri. Dengan demikian, menjadi hak tuan untuk menggauli budak wanitanya di waktu apapun dan di tempat manapun, selama tertutup dan tidak diketahui oleh budak lainnya maupun istrinya. Konteks kejadian tersebut juga dalam kondisi Ḥafṣah tidak di rumah. Keluarnya Ḥafṣah ke rumah ayahnya pun juga atas kebaikan hati Rasulullah ﷺ. Sebab, sebenarnya seorang suami berhak melarang istrinya keluar rumah meskipun untuk kepentingan silaturahmi atau mengunjungi orang tuanya. Alasannya, hak suami memang lebih besar daripada hak orang tua.
Akan tetapi, kebaikan Rasulullah ﷺ membuat beliau tetap mengizinkan Ḥafṣah keluar untuk mengunjungi ayahnya, meskipun Rasulullah ﷺ sendiri sedang butuh. Akhirnya, Rasulullah ﷺ yang mengalah dan sebagai penggantinya, beliau memanggil Māriyah untuk digauli. Itupun tetap di rumah Ḥafṣah, tidak keluar dari tempat itu yang bermakna Rasulullah ﷺ tidak menzalimi hak waktu Ḥafṣah. Rasulullah ﷺ juga mungkin sudah memperkirakan hajatnya sudah selesai saat Ḥafṣah nanti pulang. Ini menunjukkan bahwa perbuatan Rasulullah ﷺ itu tidak ada yang patut diingkari secara hukum, sebab apa yang beliau lakukan memang hak beliau dan mubah dilakukan seorang lelaki yang berpoligami dan memiliki budak.
Kedua, seorang lelaki boleh menggauli istrinya di rumah madunya, asalkan tidak menimbulkan īhāsy (hubungan yang tidak baik). Sebab yang seperti ini tidak menzalimi hak waktu istri yang mendapat giliran hari. Jika menggauli istri di rumah madu saja tidak haram, maka menggauli budak lebih boleh lagi.
Jadi, berdasarkan dua alasan ini, bisa ditegaskan bahwa perbuatan Rasulullah ﷺ menggauli Māriyah di rumah Ḥafṣah sama sekali tidak salah. Itu bisa dibenarkan. Rasulullah ﷺ sendiri juga sudah berhati-hati agar haknya itu dilakukan dengan cara yang membuat tidak sampai menyakiti hati Ḥafṣah, yakni saat Ḥafṣah tidak ada. Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Mungkin Allah ingin menunjukkan keluhuran akhlak Nabi ﷺ, menjelaskan berbagai hukum dan membuat beragam hikmah sehingga Ḥafṣah dibuat selesai cepat urusannya dengan sang ayah, sampai akhirnya mengetahui jika Rasulullah ﷺ menggauli Māriyah di rumahnya.
Lihatlah, dalam kondisi Rasulullah ﷺ tidak salah saja beliau tetap menghargai perasaan istrinya sebagai manusia biasa yang sakit hati dan cemburu berat mengetahui suaminya menggauli budaknya di kasurnya.
Rasulullah ﷺ tidak berargumentasi dengan hukum hitam-putih misalnya mengatakan,
“Mengapa engkau marah? Bukankah aku tidak melakukan perbuatan haram?”
Rasulullah ﷺ juga tidak merespons dengan alasan yang malah memperpanjang pertengkaran atau menambah sakit hati Ḥafṣah, misalnya mengatakan,
“Lho, ini kan hakku? Kamu sendiri kan keluar rumah saat aku butuh dan kuizinkan. Jadi wajar dong jika aku cari solusi lain dari yang dihalalkan Allah untukku. Apa kamu tidak mau menganggap itu impas karena engkau kuizinkan keluar dan aku menggunakan tempatmu untuk memenuhi kebutuhanku?”
“Hei, wanita salehah ahli surga itu yang selalu meminta maaf kepada suaminya. Tidak peduli suaminya yang salah atau istri yang salah. Ayo, segera minta maaf kepadaku. Masalah begini saja kok dibesar-besarkan!”
Tidak.
Tidak.
Rasulullah ﷺ tidak mengucapkan kata-kata yang tidak bijaksana seperti itu (meskipun benar). Tetapi Rasulullah ﷺ, segera saja langsung berusaha mengobati problem itu dari pangkalnya yakni amarah karena rasa cemburu dan merasa tidak dihargai. Segera saja Rasulullah ﷺ membuat komitmen yang membuat Ḥafṣah tersanjung dan melambung. Rasulullah ﷺ seakan-akan mengatakan kepadanya dengan lembut,
“Sudah, sudah istriku. Jangan bersedih lagi. Engkau berharga kok di sisiku. Tidak ada maksud aku tidak menghargaimu. Kalau memang Māriyah yang membuatmu sakit hati, maka mulai hari ini dia haram bagiku. Aku tidak akan menggaulinya untuk seterusnya.”
Sungguh luar biasa!
Sungguh luar biasa kebaikan akhlak Nabi ﷺ dalam mengusahakan supaya hati istrinya menjadi rida. Beliau sangat menghargai istri, memuliakan istri dan memperhatikan betul perasaannya. Sampai-sampai beliau rela membuang sebagian haknya untuk selamanya demi membuat istri tersenyum lagi. Sampai-sampai Allah sendiri melonggarkan sikap mubālagah Nabi ﷺ ini dengan firman-Nya,
Artinya,
“Wahai Nabi (Muhammad), mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau bermaksud menyenangkan hati istri-istrimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Jadi, akhlak Rasulullah ﷺ saat mempergauli istri-istrinya yang dipoligami adalah membuat rida istrinya. Bukan malah menuntut para istrinya membuat rida Rasulullah ﷺ!
Adapun hadis yang menjelaskan bahwa wanita salihah calon penghuni surga itu adalah para istri yang selau meminta maaf kepada suami, tidak peduli apakah suami yang zalim ataukah istri yang zalim, maka hadis ini benar. Tapi ini hadis untuk amal para istri, bukan hadis yang boleh dijadikan alasan para suami untuk sewenang-wenang dan menindas wanita. Justru menjadi ciri suami yang zalim jika menggunakan hadis seperti ini untuk meremehkan hak istri atau tidak mempedulikan perasaan istri. Sebuah kezaliman, jika dilakukan suami, maka di sisi Allah tetap dihitung kezaiman. Meskipun istri meminta maaf, maka di sisi Allah tetap tercatat kezaliman. Jika istri dibuat takut lalu menyimpan sakit hati karena kezaliman tersebut, lalu secara zahir dia meminta maaf kepada suaminya maka istri tersebut justru yang akan masuk surga sementara suaminya yang bisa masuk neraka karena kezalimannya!
Tidak heran jika Rasulullah ﷺ disebut lelaki yang terbaik untuk keluarganya. Kata Nabi ﷺ , “Wa ana khairukum li ahli” (aku adalah yang terbaik di antara kalian untuk keluargaku). Maksud ucapan ini adalah, jika kalian ingin tahu bagaimana cara terbaik mempergauli keluarga, maka lihatlah bagaimana aku memperlakukan keluargaku.
Bisakah lelaki yang berpoligami meniru akhlak Rasulullah ﷺ yang ini?
***
25 Zulhijah 1442 H