Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Ada dua hal yang semestinya dilakukan penguasa saat mengetahui ada warga negaranya yang terkena penyakit menular dan membahayakan orang.
PERTAMA, orang tersebut diisolasi.
KEDUA, kebutuhan orang tersebut dipenuhi (jika dia bukan orang kaya).
Maksud diisolasi adalah dia diperintahkan tinggal di rumah, tidak boleh keluar ke mana-mana, dan tidak boleh melakukan kontak dengan orang lain. Sebab, Rasulullah ﷺ saja melarang orang yang mulutnya bau bawang untuk masuk masjid karena dia menyebabkan ḍarar bagi kaum muslimin, padahal ḍarar-nya “hanya” bau mulut. Apalagi penyakit menular. Ini jelas lebih berbahaya daripada bau mulut.
Rasulullah ﷺ juga melarang orang terkena kusta untuk bergaul dengan masyarakat karena bisa menulari mereka.
Umar juga memerintahkan wanita yang terkena kusta supaya tidak bertawaf di sekeliling Kakbah agar tidak berpotensi menulari dan membahayakan orang lain.
Rasulullah ﷺ juga memerintahkan agar hewan berpenyakit menular dipisahkan dari yang sehat.
Jadi, semua argumentasi ini memberi alasan kuat untuk mengisolasi warga negara yang terkena penyakit menular dan membahayakan sekitarnya.
Akan tetapi, isolasi semata tanpa memperhatikan kebutuhannya jelas tidak bijaksana. Sebab orang butuh makan. Jika dia miskin dan diisolasi saja tanpa dipenuhi kebutuhannya, maka dia bisa mati. Jadi semestinya penguasa memenuhi kebutuhan warganya yang diisolasi agar tidak binasa.
Yang semisal dengan penyakit berbahaya adalah orang yang bisa membahayakan orang lain dengan matanya, yakni yang disebut dalam hadis dengan istilah ‘ain. Al-Qāḍī ‘iYāḍ berkata,
Artinya,
“Dalam hadits ini terdapat ilmu fikih sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian ulama yakni, jika sudah diketahui ada orang yang punya potensi membuat sakit orang lain dengan matanya, maka seyogyanya dia dijauhi dan diwaspadai. Seyogyanya juga pemerintah mencegahnya untuk melakukan kontak dengan masyarakat dan memerintahkannya supaya tetap berada di rumahnya. Jika dia miskin, maka penguasa menjamin kebutuhannya dan mencegahnya untuk membahayakan masyarakat. Sebab, bahaya orang seperti ini lebih dahsyat daripada bahaya orang yang memakan bawang putih dan bawang merah yang dicegah Nabi ﷺ untuk memasuki masjid supaya tidak mengganggu kaum muslimin. Juga lebih berbahaya daripada orang sakit kusta yang dilarang Umar dan juga dilarang para ulama untuk melakukan kontak dengan masyarakat. Juga lebih berbahaya daripada hewan-hewan yang terkena penyakit menular yang diperintahkan supaya diisolasi agar tidak terkena bahayanya.” (Ikmālu al-Mu‘lim bi Fawā’idi Muslim, juz 7 hlm 85)
***
25 Zulhijah 1442/ 4 Agustus 2021 pukul 13.48