Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Tidak benar jika dikatakan bahwa hanya pelaku poligami yang layak atau berhak berbicara tentang fikih poligami. Ini adalah kaidah batil, menyesatkan dan bisa mengawetkan pelaku poligami dalam kejahilan.
Kaidah seperti itu sama saja dengan ucapan yang berbunyi,
“Hanya pedagang yang berhak bicara fikih jual beli.”
“Hanya penguasa yang berhak bicara fikih politik/siyāsah.”
“Hanya para bos berkaryawan yang berhak bicara fikih ijārah/perkontrakan.”
Padahal faktanya banyak pedagang yang jahil fikih jual beli, penguasa yang jahil fikih siyāsah dan bos yang jahil fikih ijārah. Jika kaidah itu diterima, maka alangkah berbahayanya keberadaan para juhala yang dijadikan rujukan. Bisa-bisa banyak praktisi tapi jahil fikih yang berani berfatwa masalah hukum dengan alasan dia praktisi. Padahal dia sama sekali tidak punya ilmu fikih terkait dunianya, atau punya sedikit-sedikit tapi belum matang. Mensyaratkan harus pelaku perbuatan untuk berbicara fikih perbuatan tersebut tidak ada dasarnya baik dalam dalil maupun realitas fikih.
Syarat bicara fikih adalah kepakaran, bukan praktisi perbuatan. Alangkah banyaknya dalam sejarah para ulama yang berbicara topik sesuatu meskipun bukan praktisi. Al-Nawawī contohnya. Beliau hidup membujang, tetapi jika bicara fikih pernikahan dan poligami, pengetahuannya luar biasa luas dan mendalam sehingga dirujuk oleh pelaku pernikahan dan poligami selama ratusan tahun hingga hari ini. Ada juga ulama yang berbicara fikih haji dengan detail dan terkesan sengat menguasai medan. Padahal beliau sama sekali tidak pernah berhaji sampai wafatnya. Ini menunjukkan sudah dikenal sejak zaman dulu, bahwa pengajaran fikih itu tidak disyaratkan pengajar harus menjadi praktisi dulu. Syarat utamanya hanyalah kepakaran. Jika sudah terbukti memang menguasai ilmu fikih yang dibicarakannya, maka beliau layak dirujuk tidak peduli apakah beliau praktisi ataukah bukan.
Pembahasan fikih itu memiliki dua sisi:
SATU, fahmul wāqi‘ yakni memahami realitas/fakta.
DUA, al-ḥukmu ‘alal wāqi‘ yakni menghukumi fakta.
Untuk memahami fakta, tidak disyaratkan seorang fakih menjadi praktisi dari fakta tersebut atau ahli dalam fakta yang hendak dihukumi. Sudah cukup baginya mendapatkan informasi dari ahli atau praktisi. Jadi untuk memberikan fatwa tentang hukum cloning misalnya, fukaha tidak dituntut menjadi profesor biologi molekuler dulu misalnya. Untuk memberikan fatwa hukum obat-obatan yang mengandung khamr dia tidak dituntut menjadi profesor kimia dulu misalmya. Untuk memberi fatwa hukum jual beli, dia tidak disyaratkan menjadi pedagang dulu misalnya, dan seterusnya.
Adapun untuk menghukumi fakta, nah ini yang membutuhkan syarat kepakaran. Agar seseorang bisa disebut pakar atau menguasai fikih yang diajarkan, dia bisa menjadi mujtahid, atau bukan mujtahid tetapi ulama yang mengusai ijtihad mujtahid dan bisa menyampaikan kepada umat hasil ijtihad tersebut.
MELENYAPKAN SYUBHAT
Adapun ayat berikut ini,
Artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S.al-Ṣaff: 2-3)
Ayat di atas tidak boleh dijadikan dasar untuk melarang mengajarkan fikih poligami bagi ulama yang tidak berpoligami atau belum berpoligami. Termasuk juga tidak boleh dijadikan dasar untuk melarang ulama mengajarkan fikih yang beliau tidak menjadi praktisi dalam tema yang beliau ajarkan. Alasannya, ayat ini sabab nuzulnya terkait jihad, jadi harus dibatasi hanya dalam topik jihad saja. Latar belakang turunnya ayat ini adalah, ada sejumlah Sahabat yang mengangan-angankan mengetahui amal apa yang paling disukai Allah. Sebab, mereka ingin mengamalkan amalan tersebut meskipun harus mengorbankan harta dan keluarga mereka.
Lalu turunlah ayat jihad. Tetapi ketika kaum muslimin diuji dengan perang Uhud, sebagian kaum muslimin malah lari. Dari situ Allah mencela mereka yang mengangankan mengetahui amal saleh yang membuat Allah rida, tapi setelah diberitahu malah tidak melaksanakan. Lanjutan ayat yang menyebut kecintan Allah terhadap jihad menguatkan makna ini. Yakni, ayat ini konteksnya memang terkait jihad bukan yang lain.
Kalaupun memakai kaidah “al-‘ibrah bi ‘umūmil lafẓi lā bikhuṣuṣis sabab” (pengertian yang diambil didasarkan pada umumnya lafal, bukan kehususuan sebab) sekalipun, maka maksimal ayat ini bermakna kewajiban memenuhi nazar kepada Allah. Itupun masih harus dirinci. Jika nazar yang diucapkan murni (misalnya mengatakan, “Aku bernazar berpuasa 3 hari”) maka wajib mutlak dipenuhi tanpa bisa dibatalkan. Adapun jika nazarnya karena ada keinginan duniawi (misalnya mengatakan, “Aku bernazar bersedekah 3 juta jika aku sembuh dari penyakit ini”) maka, nazar seperti ini tidak berdosa jika dilanggar asal bayar kafarat.
Sebagian ulama ada juga yang menafsirkan ayat ini sebagai dalil kewajiban memenuhi janji apapun secara umum. Tidak peduli apakah janji yang terkait hak hamba ataupun tidak. Jadi seorang ayah yang berjanji kepada anaknya, “Kalau kamu hafal 1 juz Al-Qur’an, nanti ayah belikan kamu sepeda angin”, berdasarkan ayat ini dia wajib memenuhi janjinya itu. Jika seseorang berjanji kepada tetangga yang mengutanginya dengan berkata, “Utang saya akan saya lunasi pekan depan”, maka dia juga wajib memenuhi janji itu berdasarkan ayat ini karena terkait hak orang lain. Akan tetapi jumhur ulama memfatwakan memenuhi janji yang tidak terkait hak hamba, seperti janji hadiah orang tua kepada anak itu sunah dipenuhi, bukan wajib. Hanya janji yang terkait hak hamba seperti janji pelunasan utang yang wajib dipenuhi.
Sebagian ulama yang lain ada juga menafsirkan ayat itu sebagai dalil haramnya berdusta. Misalnya mengaku ikut berperang padahal tidak ikut. Mengaku memmbunuh kafir fulan di medan laga padahal tidak dan semisalnya. Kalau haramnya dusta, maka tidak perlu ayat ini semua sudah sepakat bahwa dusta memang haram.
Begitulah. Intinya tafsir mufasir apapun yang dipakai, tidak ada ada makna kewajiban menjadi pelaku untuk setiap pembahasan fikih.
Oleh karena itu, dalam riwayat dikisahkan Rasulullah ﷺ pernah bersumpah lalu membatalkan sumpahnya karena mengetahui yang lebih baik dari sumpahnya. Perbuatan Rasulullah ﷺ ini tidak bisa dikatakan bentuk inkonsisten antara ucapan dengan perbuatan, sebab ini pembahasan hukum sumpah. Ada sumpah yang bisa dibatalkan dan ad asumpah yang tidak boleh dibatalkan. Tidak ada kaitan dengan ayat di atas.
Orang juga boleh membatalkan khitbah/lamaran. Sebab lamaran itu bukan berjanji menikahi, tetapi menawarkan untuk menikah. Lamaran adalah akad jaiz yang boleh dibatalkan sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Oleh karena itu, jika ada riwayat Ali pernah melamar seorang wanita tapi kemudian membatalkannya, jangan memvonis Ali ingkar janji atau melanggar ayat ini sebab membatalkan pernikahan memang hukumnya mubah.
Orang yang rencana membeli barang tertentu boleh juga membatalkan keinginanya dan itu tidak bisa disebut ingkar janji. Sebab rencana membeli bukan berjanji, sehingga pembatalan jual beli selama belum ada akad bisa dibenarkan.
Bahkan untuk mengajak menempuh jalan kesucian orang juga tidak harus suci dulu.
Untuk melakukan amar makruf nahi mungkar juga tidak disyaratkan orang harus suci dan bebas dari dosa atau melakukan semua yang ia serukan. Malahan, dia bisa berihtisab dengan ajakan kebaikan itu agar Allah memberi taufiq untuk bisa melaksanakannya.
Jadi boleh, bahkan menjadi kebaikan jika ada orang yang belum pernah sedekah lalu mengajak orang lain supaya bersedekah dengan harapan Allah memberinya taufik supaya mudah bersedekah.
Boleh, bahkan menjadi kebaikan jika ada orang yang tidak pernah bertahajud lalu dia mengajak orang lain rajin bertahajud dengan harapan Allah memberinya taufik supaya mudah berrtahajud.
Boleh, bahkan menjadi kebaikan jika ada orang yang tidak pernah berzikir lalu dia mengajak orang lain rajin berzikir dengan harapan Allah memberinya taufik supaya mudah berzikir.
Boleh, bahkan menjadi kebaikan jika ada orang yang hubungannya buruk dengan orang tua lalu dia mengajak orang lain supaya berbakti kepada orang tua dengan harapan Allah memperbaiki hubunganya dengan orang tua sehingga dia bisa berbakti kepada orang tua.
Dalam sebuah atsar yang dinisbahkan kepada Ali bin Abū Ṭālib, malah dianjurkan orang itu rajin menyerukan kebaikan agar dia bisa termasuk pelaku kebikan tersebut. Al-Suyūṭi meriwayatkan,
Artinya,
“Dakwahkan kebaikan/makruf niscaya Anda akan menjadi pelakunya.” (al-Jāmi’ al-kabīr, juz 18 hlm 20)
Yang tercela adalah jika orang berceramah, atau memberi nasihat, atau berdakwah tapi tujuannya populer, dapat amplop, dekat dengan penguasa, bisa menikahi wanita yang diinginkan, atau semua target duniawi yang lain sehingga dia melalaikan amal yang dia serukan itu dan tidak pernah mengerjakannya. Orang semacam ini jelas amalnya bukan karena Allah, tapi ingin mendapatkan dunia, sudah begitu diperparah dengan tidak mengamalkan yang ia serukan/ajarkan.
***
27 Zulhijah 1442/ 6 Agustus 2021